MAKALAH HIV/AIDS
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
HIV adalah virus yang mengakibatkan AIDS. AIDS atau Sindrom
Kehilangan Kekebalan Tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang
tubuh manusia sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Akibat
kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena berbagai jenis infeksi
bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. Selain
itu penderiat aids sering kali menderita keganasan, khususnya sarkoma kaposi
dan limfoma yang hanya menyerang otak.
Dalam makalah ini kami akan memaparkan secara khusus tentang
pengertian AIDS, etiologi, cara penularan, gejala klinis dan cara penanganan.
B. Rumusan Masalah
Dalam
penulisan makalah ini kami akan memaparkan masalah mengenai:
a. Apa pengertian AIDS?
b. Bagaimana etiologi AIDS?
c. Bagaimana gejala klinis dan cara
penanganan AIDS?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah agar diketahui tentang
pengertian AIDS, etiologi, cara penularan, gejala klinis dan cara penanganan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
HIV adalah virus yang mengakibatkan
AIDS. AIDS atau Sindrom Kehilangan Kekebalan Tubuh adalah sekumpulan gejala
penyakit yang menyerang tubuh manusia sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh
virus HIV. Akibat kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena
berbagai jenis infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu yang
bersifat oportunistik. Selain itu penderiat aids sering kali menderita
keganasan, khususnya sarkoma kaposi dan limfoma yang hanya menyerang otak.
B.
Etiologi
HIV, yang dahulu disebut virus
limfotrofik sel-T manusia tipe III (HTLV-III) atau virus limfadenopati (LAV),
adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili lentivirus. Retrovirus mengubah
asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke
dalam sel pejamu. HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1
menjadi penyebab utama AIDS di seluruh dunia.
Genom HIV
mengode sembilan protein yang esensial untuk setiap aspek siklus hidup virus
(Gbr. 15-1). Dari segi struktur genomik, virus-virus memiliki perbedaan yaitu
bahwa protein HIV-1,Vpu, yang membantu pelepasan virus, tampaknya diganti oleh
protein Vpx pada HIV-2. Vpx meningkatkan infeksi-vitas (daya tular) dan mungkin
merupakan duplikasi dari protein lain, Vpr. Vpr diperkirakan meningkatkan
transkripsi virus. HIV-2, yang pertama kali diketahui dalam serum dari para
perempuan Afrika Barat (warga Senegal) pada tahun 1985, menyebabkan penyakit
klinis tampaknya kurang patogenik dibandingkan dengan HIV-1 (Marlink, 1994).
C.
Cara Penularan
1. Cara
penularan HIV ada tiga :
Hubungan seksual, baik secara
vaginal, oral, ataupun anal dengan seorang pengidap. Ini adalah cara yang
paling umum terjadi,. Lebih mudah terjadi penularan bila terdapat lesi penyakit
kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis,
sifilis, gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis. Resiko pada seks anal
lebih besar disbanding seks vaginal dan resiko juga lebih besar pada yang reseptive
dari pada yang insertive.
2. Kontak
langsung dengan darah / produk darah / jarum suntik.
a.
Transfusi darah yang tercemar HIV
b. Pemakaian
jarum tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik dan sempritnya pada para
pencandu narkotik suntik.
c.
Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan.
3. Secara
vertical dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik selam hamil, saat
melahirkan ataupun setelah melahirkan.
D.
Gejala klinis dan kriteria diagnosis
Gejala
penderita AIDS dapat ringan sampai berat. Pembagian tingkat klinis penyakit
infeksi HIV. Dibagi sebagai berikut:
1. Tingkat
klinis 1 (asimptomatik/Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP)).
a.
Tanpa gejala sama sekali.
b. LGP
Pada tingkat
ini penderita belum mengalami kelainan dan dapat melakukan aktivitas normal.
2. Tingkat klinis 2 (dini)
a.
Penurunan berat badan kurang dari 10%.
b. Kelainan
mulut dan kulit yang ringan, misalnya delmatitis seboroid, prurigo, onikomikosis,
ulkus pada mulut yang berulang dan keilitis angularis.
c.
Helpes zoster yang timbul pada 5
tahun terakhir.
d. Infeksi saluran bagian atas
berulang, misalnya sinositi
Pada tingkat ini penderita sudah
menunjukkan gejala, tetapi aktivitas tetap normal.
3. Tingkat
klinis 3 (menengah)
a.
Penurunan berat badan lebih dari 10 %.
b. Diare kronik
lebih dari 1 bulan, tanpa diketahui sebabnya.
c.
Demam yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan, hilang
timbul maupun terus menerus.
d. Kandidosis mulut.
e.
Bercak putih berambut di mulut
(Hairy Leukoplakia).
f.
Tuberkulosis paru setahun terakhir.
g. Infeksi bakterial berat, misalnya
Pneumonia.
4. Tingkat klinis 4 (lanjut)
a.
Badan menjadi kurus.
b. Pnemonia Pneumocystis carinii.
c.
Toksoplasmosis.
d. Kriptokokosis
dengan diare lebih dari 1 bulan.
e.
Kriptokokosis di luar paru.
f.
Infeksi sitomegalo virus pada organ
tubuh kecuali di limfa, hati atau kelenjar getah bening.
g. Infeksi virus herpes simpleks di
mukokutans lebih dari 1 bulan atau di alat dalam (viseral) lamanya tidak
dibatasi.
E.
Respon Imun Terhadap Infeksi HIV
Untuk mengetahui ringkasan respon
tubuh terhadap tantangan imunologik, lihat Bab 5. Pada infeksi HIV, baik
respons imun humoral maupun selular ikut berperan.
Segera setelah terpajan HIV,
individu akan melakukan perlawanan imun yang intensif. Sel-sel B
menghasilkan antibodi-antibodi spesifik terhadap berbagai protein virus.
Ditemukan antibodi netralisasi terhadap regio-regio di gp120 selubung virus dan
bagian eksternal gp41. Deteksi anti bodi adalah dasar bagi berbagai uji HIV
(misalnya, enzime-linked immunosorbent assay [ELISA]). Di
dalam darah dijumpai kelas antibodi imunoglobulin G (IgG) maupun imunoglobulin
M (IgM), tetapi seiring dengan menurunnya titer IgM, titer IgG (pada sebagian
besar kasus) tetap tinggi sepanjang infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi
utama yang digunakan dalam uji HIV. Antibodi terhadap HIV dapat muncul dalam 1
bulan setelah infeksi awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV
dalam 6 bulan setelah pajanan. Namun, antibodi HIV tidak menetralisasikan HIV
atau menimbulkan perlindungan terhadap infeksi lebih lanjut.
Produksi
imunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4+. Seperti dibahas dalam Bab 5,
limposit T CD+ diaktifkan oleh sel penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan
berbagai sitokin seperti interleukin-2 (IL-2), yang membantu merangsang sel B
untuk membelah dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel-sel plasma ini
kemudian menghasilkan imunoglobuin yang spesifik untuk antigen yang
merangsangnya. Sitokin IL-2 hanyalah salah satu dari banyak sitokin yang
memengaruhi respons imun baik humoral maupun selular. Walaupun tingkat kontrol,
ekspresi, dan potensi fungsi sitokin dalam infeksi HIV masih terus diteliti,
namun sitokin jelas penting dalam aktivitas intrasel. Sebagai contoh,
penambahan sitokin IL-12 (faktor stimulasi sel NK) tampaknya melawan penurunan
aktivitas dan fungsi sel NK seperti yang terjadi pada infeksi HIV. Sel-sel NK
adalah sel yang penting karena dalam keadaan normal sel-sel inilah yang
mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus dengan mengeluarkan
perforin yang serupa dengan yang dihasilkan oleh sel CD8.
Riset-riset
terakhir menunjang peran sitotoksik dan supresor sel CD8 dalam infeksi HIV.
Peran sitotoksik sel CD8 adalah mengikat sel yang terinfeksi oleh virus dan
mengeluarkan perforin, yang menyebabkan kematian sel. Aktivitas sitotosik sel
CD8 sangat hebat pada awal infeksi HIV. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi
HIV di dalam limfosit CD4+. Penekanan ini terbukti bervariasi tidak saja di
antara orang yang berbeda tetapi juga pada orang yang sama seiring dengan
perkembangan penyakit. Aktivitas antivirus sel CD8 menurun seiring dengan
perkembangannya penyakit. Dengan semakin beratnya penyakit, jumlah limfosit
CD4+ juga berkurang. Berbagai hipotesis tentang penyebab penurunan bertahap
tersebut akan dibahas berikut ini:
Fungsi
regulator esensial limfosit CD4+ dalam imunitas selular tidak terbantahkan.
Seperti dibahas sebelumnya dan di Bab 5, limfosit CD4+ mengeluarkan berbagai
sitokin yang memperlancar proses-proses misalnya produksi imunoglobulin dan
pengaktivan sel T tambahan dan makrofag. Dua sitokin spesifik yang dihasilkan
oleh limfosit CD4+-IL-2 dan interferon gama berperan penting dalam imunitas
selular. Pada kondisi normal, limfosit CD4+ mengeluarkan interferon gama yang
menarik makrofag dan mengintensifkan reaksi imun terhadap antigen. Namun,
apabila limfosit CD4+ tidak berfungsi dengan benar maka produksi interferon
gama akan menurun. IL-2 penting untuk memfasilitasi tidak saja produksi sel
plasma tetapi juga pertumbuhan dan aktivitas antivirus sel CD8 dan
replikasi-diri populasi limfosit CD4+.
Walaupun
mekanisme pasti sitopatogenisitas limfosit CD4+ belum diketahui, namun dapat
diajukan argumen-argumen untuk berbagai hipotesis seperti apoptosis, anergi,
pembentukan sinsitium, dan lisis sel.Antibodi-dependent, complement-mediated
cytotoxicity (ADCC, sitotoksisitas yang dependen antibodi dan
diperantarai oleh komplemen) mungkin salah satu efek imun humoral yang membantu
menyingkirkan limfosit CD4+ yang terinfeksi oleh HIV. Antibodi terhadap dua
glikoprotein, gp120 dan gp41, menginduksi ADCC. Sel-sel seperti sel NK kemudian
bertindak untuk mematikan sel yang terinfeksi.
Apoptosis
adalah salah satu dari beberapa teori yang diajukan untuk menjelaskan
berkurangnya secara mencolok limfosit CD4+ dalam darah sepanjang perjalanan
penyakit HIV. Banyak limfosit CD4+ tampaknya melakukan ‘bunuh diri’ saat
dirangsang oleh suatu bahan pengaktif atau oleh gangguan pada sinyal pengaktif
(Gougeon, Montagnier, 1993). Limfosit CD4+ juga mungkin tidak mampu
membelah diri sehingga timbul fenomena yang disebut anergi. Teori lain
menyatakan adanya peran pembentukan sinsitium. Pada pembentukan sinsitium
terinfeksi berfusi dengan sel-sel yang terinfeksi “the bystander
effect” (“efek peluru nyasar”; Weiss, 1993) sehingga
mengeliminasi banyak sel yang tidak terinfeksi. Akhirnya, menurunnya jumlah
limfosit CD4+ mungkin disebabkan oleh terbentuknya virus-virus baru melalui
proses pembentukan tunas; virus-virus tersebut menyebabkan rupturnya membran
limfosit CD4+, yang secara efektif mematikan sel tersebut.
Apapun teori
yang menjelaskan berkurangnya limfosit CD4+, gambaran utama pada infeksi
tetaplah deplesi sel-sel tersebut. Deplesi limfosit CD4+ tersebut bervariasi di
antara para pengidap infeksi HIV. Sebagian dari faktor yang memengaruhi variasi
ini adalah fungsi sistem imun penjamu, adanya faktor lain di pejamu (misal,
penyakit kongenital atau metabolik, defisiensi gizi, patogen lain), atau
perbedaan strain virus (Schattner, Laurence, 1994).
F.
PERKEMBANGAN KLINIS
1. Fase Infeksi
AIDS adalah
stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis kontinum yang dikenal
sebagai “spektrum infeksi HIV” (Gbr. 15-6, Tabel 15-2, Kotak 15-2). Perjalanan
penyakit dimulai saat terjadi penularan dan pasien terinfeksi. Tidak semua
orang yang terpajan akan terinfeksi (misalnya, homozigot dengan gen CCR5
mutan). Mungkin terdapat kofaktor lain dalam akuisisi yang perlu diidentifikasi
lebih lanjut. Setelah infeksi awal oleh HUV, pasien mungkin tetap seronegatif
selama beberapa bulan. Namun, pasien ini bersifat menular selama periode ini
dan dapat memindahkan virus ke orang lain. Fase ini disebut “window
period” (“masa jendela”). Manifestasi klinis pada orang yang
terinfeksi dapat timbul sedini 1 sampai 4 minggu setelah pajanan.
Infeksi
akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi
negatif menjadi positif. Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus
atau mirip mononukleosis infeksiosa yang berlangsung beberapa hari. Gejala
mungkin berupa malaise, demam, diare, limfadenopati, dan ruam makulopapular.
Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut, seperti meningitis dan
pneumonitis. Selama periode ini, dapat terdeteksi HIV dengan kadar tinggi di
darah perifer (Levy, 1994). Kadar limfosit CD4+ turun dan kemudian kembali ke
kadar sedikit di bawah kadar semula untuk pasien yang bersangkutan.
Dalam
beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase
asimtomatik. Pada awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah
kembali mendekati normal. Namun, kadar limfosit CD4+ menurun secar bertahap
seiring dengan waktu. Selama fase infeksi ini, baik virus maupun antibodi virus
ditemukan di dalam darah. Seperti dibahas sebelumnya, replikasi virus
berlangsung di jaringan limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam
periode laten walaupun fase infeksi klinisnya mungkin laten.
Pada fase
simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya
telah turun di bawah 300 sel /µl (Levy, 1994). Dijumpai gejala-gejala yang
menunjukkan imunosupresi dan gejala ini berlanjut sampai pasien memperlihatkan
penyakit-penyakit terkait AIDS . CDC telah mendefinisikan penyakit-penyakit
simtoatik untuk kategori klinis ini.
CDC telah
menambahkan hitung limfosit CD4+ yang kurang dari 200/µl sebagai kriteria
tunggal untuk diagnosis AIDS, apapun kategori klinisnya, asimtomatik atau
simtomatik. Adanya salah satu dari penyakit-penyakit indikator-AIDS, sesuai
definisi CDC, menunjukkan kasus AIDS yang harus dilaporkan. Saat CDC memperluas
definisi ini pada tahun 1993, tiga penyakit klinis ditambahkan : tuberkulosis
paru, pneumonia rekuren, dan kanker seviks invasif. Penyakit-penyakit ini
menyertai 23 penyakit lain yang termasuk dalam definisi kasus yang
dipublikasikan tahun 1987.
BACA JUGA : MAKALAH HIPERTENSI
BACA JUGA : MAKALAH HIPERTENSI
G.
Manifestasi Klinis
AIDS
memiliki beragam manifestasi klinis dalam bentuk keganasan dan infeksi
oportunistik yang khas.
H.
Pemeriksaan Laboratorium
Terdapat dua
uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV. Yang pertama, enzymelinked
immunosorbent assay(ELISA), bereaksi terhadap adanya antibodi dalam serum
dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi antibodi virus
dalam jumlah besar. Karena hasil positif-palsu dapat menimbulkan dampak
psikologis yang besar, maka hasil uji ELISA yang positif diulang, dan apabila
keduanya positif, maka dilakukan uji yang lebih spesifik,Western blot.
Uji Western blot juga dikonfirmasi dua kali. Uji ini lebih kecil kemungkinannya
memberi hasil positif-palsu atau negatif-palsu. Juga dapat terjadi hasil
uji yang tidak konklusif, misalnya saat ELISA atau Western blot bereaksi lemah
dan agak mencurigakan. Hal ini dapat terjadi pada awal infeksi HIV, pada
infeksi yang sedang berkembang (sampai semua pita penting pada uji Western blot
tersedia lengkap), atau pada reaktivitas-silang dengan titer retrovirus tinggi
lain, misalnya HIV-2 atau HTLV-1. Setelah konfirmasi, pasien dikatakan seropositif HIV.
Pada tahap ini, dilakukan pemeriksaan klinis dan imunologik lain untuk
mengevaluasi derajat penyakit dan dimulai usaha-usaha untuk mengendalikan
infeksi.
HIV juga
dapat dideteksi dengan uji lain, yang memeriksa ada tidaknya virus atau
komponen virus sebelum ELISA atau Western blot dapat mendeteksi antibodi.
Prosedur-prosedur ini mencakup biakan virus, pengukuran antigen p24, dan
pengukuran DNA dan RNA HIV yang menggunakan reaksi berantai polimerase
(PCR) dan RNA HIV-1 plasma. Uji-uji semacam ini bermanfaat dalam studi
mengenai imunopatogenesis, sebagai penanda penyakit, pada deteksi dini infeksi,
dan pada penularan neonatus. Bayi yang lahir dari ibu positif-HIV dapat
memiliki antibodi anti-HIV ibu dalam darah mereka sampai usia 18 bulan, tanpa
bergantung apakah mereka terinfeksi atau tidak.
I.
INTERVENSI TERAPETIKANTIRETROVIRUS
Uji-uji yang
lebih baru dan sensitif memperlihatkan bahwa replikasi virus HIV berlangsung
sepanjang perjalanan infeksi dan dengan tingkatan yang jauh lebih tinggi
daripada yang diperkirakan sebelumnya (CDC, 1998d). Banyak
peneliti percaya bahwa intervensi terapik dan terapi antiretrovirus (TAR) harus
dimulai sedini mungkin. Namun, waktu optimal untuk memulai TAR masih belum
diketahui. Terapi yang sekarang berlaku menghadapi masalah membidik berbagai
tahapan dalam proses masuknya virus ke dalam sel dan replikasi virus,
memanipulasi gen virus untuk mengendalikan produksi protein virus, membangun
kembali sistem imun, mengkombinasikan terapi, dan mencegah resistensi obat. Dua
pemeriksaan laboratorium, hitung sel T CD4+ dan kadar RNA HIV serum, digunakan
sebagai alat untuk memantau risiko perkembangan penyakit dan menentukan waktu
yang tepat untuk memulai atau memodifikasi regimen obat (Gbr. 15-10). Hitung
sel T CD4+ memberikan informasi mengenai status imunologik pasien yang
sekarang, sedangkan kadar RNA HIV serum (viral load) memperkirakan
prognosis klinis (status hitung sel T CD4+ dalam waktu dekat). Hitung RNA HIV
sebesar 20.000 salinan /ml (2 x 104) dianggap oleh banyak pakar
sebagai indikasi untuk memberikan terapi antiretrovirus berapa pun hasil hitung
sel T CD4+. Pengukuran serial kadar RNA HIV dan sel T CD4+ serum sangat
bermanfaat untuk mengetahui laju perkembangan penyakit, angka pergantian virus,
hubungan antara pengaktivan sistem imun dan replikasi virus, dan saat
terjadinya resistensi obat antiretrovirus. Semua bentuk efektif terapi
antiretrovirus disebabkan oleh penurunan kadar RNA HIV (Fauci, Lane, 1998).
Di Amerika
Serikat (2001), US Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui tiga
golongan obat untuk infeksi HIV : (1) inhibitor reverse transcriptase
nukleosida (NRTI); (2) inhibitor reverse transcriptase
nonnukleosida (NNRTI); dan (3) inhibitor protease (PI)
(Tabel 15-3). NRTI menghambat enzim DNA polimerase dependen RNA HIV (reverse
transcriptase) dan menghentikan pertumbuhan unti DNA. Contoh-contoh NRTI adalah
zidovudin, didanosin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, dan abakavir. NNRT
menghambat transkripsi RNA HIV-1 menjadi DNA, suatu langkah penting dalam
proses replikasi virus. Obat tipe ini menurunkan jumlah HIV dalam darah (viral
load) dan meningkatkan limfosit CD4+. Nevirapin, delaviridin, dan efavirenz
adalah contoh-contoh NNRTI. PI menghambat aktivitas protease HIV dan mencegah
pemutusan poliprotein HIV yang esensial untuk pematangan HIV. Yang akan
terbentuk bukan HIV matang tetapi partikel virus imatur yang tidak menular.
Indinavir, ritonavir, nelfinavir, sakuinavir, amprenavir, dan lopinavir adalah
contoh-contoh PI. Kelima belas obat antitrovirus ini diberikan dalam dua sampai
tiga kombinasi berbeda sesuai temuan riset dan petunjuk spesifik yang
dikembangkan oleh the Panel on Clinical Practice and Treatment of HIV Infection
yang dibuat oleh US Department of Health and Human Services (DHHS) dan Kaiser
Family Foundation (CDC, 1998b) tercantum di Kotak 15-3. Prinsip-prinsip HAART
yang sama juga berlaku bagi anak, remaja, atau orang dewasa yang terinfeksi HIV
faktor tumbuh kembang dan perubahan dalam parameter-parameter farmakokinetik
perlu dipertimbangkan. Pertimbangan lain adalah: (1) akuisisi infeksi melalui
pajanan perinatal dan perbedaan dalam evaluasi diagnostik, (2) pajanan ke
zidovudin dan obat antiretrovirus lain inutero, dan (3) perbedaan dalam penanda
imunologik (yaitu, hitung sel T CD4+ pada anak.
Pengembangan
vaksin HIV yang efektif merupakan tantangan yang besar karena HIV memiliki
karakteristik yang kompleks dan adanya mutasi genetik. Vaksin ideal seyogyanya
dapat memicu imunitas humoral dan selular. Saat ini sudah dimulai (Bolognesi,
1994) dan sedang (CDC, 2001e) dilakukan uji-uji klinis terhadap efektivitas
vaksin seiring dengan semakin banyaknya informasi mengenai HIV yang diketahui.
Namun, program pencegahan HIV yang terpadu mencakup tidak saja pengembangan
vaksin tetapi juga riset dan pendidikan yang ditujukan untuk mencegah penularan
virus
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Generasi
muda adalah generasi yang baru saja menginjakkan kakinya di dunia dewasa.Pada
umumnya mereka masih mencari jati diri sebagai manusia yang ingin
dianggapdewasa. Sehingga setiap langkah yang diambil pada umumnya cenderung
mencoba – coba karena sifat keingintahuan manusia terhadap hal – hal yang
dianggap baru. Jikaternyata langkah yang mereka ambil salah tentunya akan
berakibat sangat fatal.Hal-hal tersebut adalah masa-masa rawan yang merupakan
langkah awal yang sangatharus diwaspadai oleh generasi muda. Generasi muda juga
sangat mudah terbujuk olehhasutan orang-orang di sekitarnya. Selain itu
generasi muda adalah masa di mana persahabatan adalah segalanya, dan
melakukan sesuatu bersama, jadi apabila salah satudari mereka ada yang memakai
narkoba maka teman lainnya akan penasaran danakhirnya mereka mencoba juga.
Dimana narkoba sangatlah dekat kaitanya dengan miras,rokok, dan seks bebas yang
menyebabkan HIV/AIDS .Pada umumnya pengguna narkoba dengan jarum suntik adalah
jenis ketergantungan yang paling banyak digunakan oleh kaum muda. Dan cara
ini pulalah yang paling rentanterhadap penularan virus HIV/AIDS, sehingga
banyak tunas – tunas bangsa yang layusebelum berkembang dan akhirnya memudarkan
harapan untuk menjadi penerus bangsa.
B.
Saran
Seperti yang
telah penulis uraikan pada bab sebelumnya bahwa HIV/AIDS adalah penyakit
yang berbahaya karena virus tersebut menyerang sistim kekebalan tubuh kitadalam
melaan segala penyakit. Untuk menghindari hal tersebut dapat
penulis sarankanhal – hal sebagai berikut :
1. Bagi yang
belum terinfeksi virus HIV/AIDS sebaiknya :
a.
Belajar agar dapat mengendalikan diri;
b. Memiliki
prinsip hidup yang kuat untuk berkata “TIDAK” terhadap segala jenis
yangmengarah kepada narkoba dan psikotropika lainnya;
c.
Membentengi diri dengan agama;
d. Menjaga
keharmonisan keluarga karena pergaulan bebas sering kali menjadi pelarian bagi
anak – anak yang depresi.
2. Bagi penderita HIV/AIDS sebaiknya:
a.
Memberdayakan diri terhadap
HIV/AIDS;
b. Mencoba untuk hidup lebih lama;
c.
Mau berbaur dengan orang
disekitarnya/lingkungan;
d. Tabah dan
terus berdoa untuk memohon kesembuhan.
3. Bagi
keluarga penderita HIV/AIDS sebaiknya:
a.
Memotivasi penderita untuk terbiasa hidup dengan HIV/AIDS sehingga
bisamelakukan pola hidup sehat;
b. Memotivasi
penderita HIV/AIDS untuk mau beraktivitas dalam meneruskan hidupyang lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
1.http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS2.http://id.wikipedia.org/wiki/HIV3.hadesfromhell.blogspot.com/.../di-sekolah-gue-di-labschool-kalo-udah.html4.www.google.co.id5.http://iskandarnet.wordpress.com/2008/01/24/contoh-laporan-tentang-hivaids/31
0 Response to "MAKALAH HIV/AIDS"
Posting Komentar