MAKALAH KELAINAN SISTEM REPRODUKSI SALPINGITIS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tingkat
kesadaran masyarakat untuk hidup sehat masih sangat rendah. Tingginya angka
kematian itu menunjukkan kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan masih
kurang. Hal itu juga menunjukkan pelayanan kesehatan di Indonesia kurang
maksimal. Radang atau infeksi pada alat-alat genitaldapat timbul secara akut
dengan akibat meninggalnya penderita atau penyakit bisa sembuh sama sekali
tanpa bekas atau dapat meninggalkan bekas seperti penutupan lumen tuba.
Penyakit ini bisa juga menahun atau dari permulaan sudah menahun. Salah satu
dari infeksi tersebut adalah salpingitis.
Sebagian besar
wanita tidak menyadari bahwa dirinya menderita infeksi tersebut. Biasanya
sebagian besar wanita menyadari apabila infeksi telah menyebar dan menimbulkan
berbagai gejala yang mengganggu. Keterlabatan wanita memeriksakan dirinya
menyebabkan infeksi ini menyebar lebih luas dan akan sulit dalam penanganannya.
Penyakit Radang Panggul (Salpingitis, PID, Pelvic Inflammatory Disease)
adalah suatu peradangan pada tuba falopii (saluran
menghubungkan indung telur dengan rahim). Peradangan tuba falopii terutama
terjadi pada wanita yang secara seksuatif. Resiko tertama ditemukan pada wanita
yang memakai IUD. Oleh karena itu diharapkan mahasiswa mampu memahami apa itu
peradangan pada alat genitalia wanita. Dan pada makalah ini penulis membahas
mengenai salpingitis.
B. Tujuan
1.
Tujuan Umum
Setelah
dilakukan pembuatan makalah ini, mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan
yang dapat diberikan pada pasien dengan salpingitis
2.
Tujuan Khusus
a)
Mengetahui
definisi, etiologi, factor
resiko, patofisiolog salpingitis
b) Mengetahui
penatalaksanaan salpingitis
c)
Mengetahui
Asuhan Keperawatan Pasien salpingitis
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Salpingitis adalah terjadinya inflamasi pada
tuba fallopi. Tuba fallopi perpanjangan dari uterus, salpingitis adalah
salah satu penyebab umum terjadinya infertilitas pada wanita. Apabila salpingitis tidak ditangani dengan segera,
maka infeksi ini akan menyebabkan kerusakan pada tuba fallopi secara permanen
sehingga sel telur yang dikeluarkan dari ovarium tidak dapat bertemu dengan
sperma. Tanpa penanganan yang cepat infeksi bisa terjadi secara permanen
merusak tuba fallopi sehingga sel telur yang dikeluarkan pada proses
menstruasi tidak bisa bertemu dengan sperma (Prawirohardjo,
2007).
Ada
dua jenis dari salpingitis :
1.
Salpingitis
akut : pada salpingitis akut, tuba fallopi menjadi merah dan bengkak, dan
keluar cairan berlebih sehingga bagian dalam dinding tuba
sering menempel secara menyeluruh. Tuba
bisa juga menempel padabagian intestinal yang
terdekat.Kadang-kadang tuba fallopi penuh dengan pus. Hal yang
jarang terjadi, tuba rupture dan menyebabkan infeksi yang sangat berbahaya pada kavum
abdominal (Peritonitis).
2. Salpingitis Kronis
: Biasa nyamengikuti gejala akut.
Infeksi terjadi ringan, dalam waktu yang
panjang dantidak menunjukan banyak tanda dan gejala.
Salpingitis atau radang tuba fallopi
merupakan bagian dari penyakit radang panggul atau pelviksitis. Sejarah
salpingitis (radang tuba fallopi) adalah yang tertinggi terkait dengan relatif
risiko ketidaksuburan. Kira-kira satu sampai tiga perempuan menunjukkan hasil
evaluasi ketidaksuburan yang memperlihatkan tanda-tanda dan gejala bahwa
masalah itu disebabkan berkenaan dgn kandungan atau tuba fallopi yang abnormal.
Tuba fallopi yang mengalami penyumbatan atau menjadi rusak dapat mengurangi
kesuburan dengan mencegah sperma mencapai telur atau mencegah telur mencapai
rahim.
Ketidaksuburan pada tuba fallopi
juga dapat timbul setelah terjadinya infeksi keguguran, infeksi pada saat
melahirkan anak, radang selaput perut atau operasi. Kemandulan yang disebabkan
oleh beberapa faktor-faktor ini sebagian dapat dicegah. Ketidaksuburan pada
tuba fallopi kadang-kadang dapat ditindak dengan melakukan operasi, tetapi jika
hal ini tidak memungkinkan, atau jika operasi ini gagal, IVF (In Vitro
Fertilisation) atau program bayi tabung mungkin merupakan sebuah solusi. Operasi
tuba fallopi merupakan prosedur yang melibatkan anestesi secara umum dan
seringkali berlangsung selama beberapa jam. Operasi biasanya dilakukan dengan
bantuan mikroskop. Keberhasilan dari operasi sekitar 45% kalau masalahnya ada
pada akhir saluran tuba, tetapi hanya 20-25% bila masalahnya pada penyumbatan
fimbrial di ujung saluran tuba fallopi, dekat dengan ovaries.
Salpingitis akut dapat segera
didiagnosis jika semua tanda dan gejala objektif terdapat dan sesuai. Tetapi,
sejumlah keadaan lain dapat menyerupai keseluruhan atau sebagian spektrum
manifestasi yang biasa ditemui. Adalah kesalahan serius mendiagnosis
selpingitis pada wanita yang sebenarnya tidak menderitanya. Hal ini tidak hanya
menempatkan wanita pada regimen terapi antibiotik yang lama dengan resiko dan
biayanya, terapi memperlambat penemuan diagnosis yang sebenarnya dan
penatalaksanaanya. Selain itu, dokter cenderung menganggap tiap gangguan pelvis
di masa mendatang disebabkan karena infeksi ini. Carilah riwayat pemaparan
penyakit menular seksual yang terjadi sekarang atau di masa lampau terutama
infeksi gonokokus atau klamidia, penyakit peradangan pelvis yang tercatat baik,
penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim atau infeksi pasca abortus atau pasca
persalinan.
B. Insiden
Lebih dari satu juta kasus salpingitis akut dilaporkan setiap tahun di AS,
namun jumlah insiden ini mungkin lebih besar, karena metode pelaporan tidak
lengkap dan terlalu dini dan bahwa banyak kasus dilaporkan pertama ketika
penyakit itu telah pergi begitu jauh bahwa mereka telah mengembangkan kronis
komplikasi. Bagi wanita berusia 16-25, salpingitis adalah infeksi serius yang
paling umum.Ini mempengaruhi sekitar 11% dari wanita usia reproduktif.
Salpingitis memiliki insiden yang lebih tinggi di antara anggota kelas-kelas
sosial ekonomi rendah. Namun, hal ini dianggap sebagai akibat dari debut seks
sebelumnya, beberapa mitra dan kemampuan rendah untuk menerima perawatan
kesehatan yang layak bukan karena faktor resiko independen untuk salpingitis.
Sebagai akibat dari peningkatan risiko karena beberapa mitra, prevalensi
salpingitis tertinggi untuk orang yang berusia 15-24 tahun. Penurunan kesadaran
gejala dan kurang kemauan untuk menggunakan alat kontrasepsi juga umum dalam
kelompok ini, meningkatkan terjadinya salpingitis.
Organisasi
Kesehatan Dunia telah menerbitkan data tentang jumlah kasus tentang gonore dan
klamidia di seluruh dunia tahun 1995. Pada tahun itu, sekitar 31 juta kasus
infeksi gonore dan 22,5 juta kasus infeksi clamydia, merupakan organism
penyebab utama salpingitis dan terjadi pada wanita di seluruh dunia. Secara
geografis sebagian besar kasus ini berada di Negara berkembang. Prevalensi
tertinggi berada di sub-Sahara Afrika dan Asia Tenggara, dengan terendah di
Asia Timur dan Pasifik. Selain itu, komplikasi penyakit menular seksual,
termasuk salpingitis lebih umum di Negara-negara dengan sumber daya yang lebih
miskin.
C. Etiologi
Kondisi ini
tidak diketahui, kemungkinan penyebabnya adalah karena seperti proses
pasca-inflamasi distorsi dan adenomiosis (Green, 1989). Pemeriksaan mikroskopis
menunjukkan nodul tersebar kelenjar epitel tuba dikelilingi oleh area - area muskularis (Benjamin, 1989). Pada
hysterosalpingography, diagnosis mungkin bingung dengan endometriosis tuba,
bagaimanapun, adanya epitel tuba yang melapisi kelenjar pada aturan pemeriksaan
histopatologi yang keluar adalah endometriosis (McComb, 1989). Majumdar (1983) mengatakan hiperplasia
endometrium kompleks
terlihat pada kasus dapat yang dikaitkan
dengan pengobatan hormonal yang digunakanuntuk infertilitas. Komplikasi
salpingitis isthmica nodosa adalah infertilitas dan berulang kehamilan ektopik
dan karenanya, salpingitis isthmica nodosa merupakan penyebab penting untuk
dikesampingkan dalam kasus tersebut (Chawla, 2009).
Salpingitis disebabkan oleh bakteri penginfeksi. Jenis-jenis bakteri
yang biasanya menyebabkan Salpingitis
: Mycoplasma, staphylococcus, dan steptococus.
Selain itu
salpingitis bisa juga disebabkan penyakit menular seksual seperti
gonorrhea, Chlamydia, infeksi puerperal dan postabortum.
Kira-kira 10% infeksi disebabkan oleh tuberculosis. Selanjutnya biasa timbul
radang adneksa sebagai akibat tindakan (keroksn, laparatomi, pemasangan IUD,
dan sebagainya) dan perluasan radang dari alat yang letaknya tidak jauh seperti
appendiks.
D. Faktor Resiko
1.
Usia
Angka usia
spesifik lebih tinggi pada remaja wanita anatar usia 15 sampai 19 tahun.
2.
Jumlah pasanan
seksual
Wanita dengan
banyak pasangan 4,6 kali cenderung lebih banyak terkena PID.
3.
Pasien PID
sebelumnya
Pasien dengan
PID 2,5 kali cenderung lebih banyak memiliki riwayat PID sebelumnya dari pasien
tanpa PID.
4. Remaja
Melakukan hubungan seksual pada usia
muda
5.
Gonore pria
Pria yang tidak
diobati merupakan sumber infeksi berulang dan infeksi baru.
6.
Faktor
sosioekonomi yang
rendah
E. Komplikasi
Di antara
sebab-sebab yang paling banyak terdapat ialah infeksi gonorea dan infeksi
puerperal dan post abortum. Kira-kira 10% infeksi disebabkan oleh teberkulosis.
Selanjutnya bias timbul radang adneksa sebagai akibat tindakan (kerokan,
laparatomi, pemasangan IUD, dan sebagainya) dan perluasan radang dari alat yang
letaknya tidak jauh seperti appendiks.
Penanganan
yang tidak serius, salpingitis bisa menyebabkan beberapa komplikasi
meliputi :
1.
Kehamilan
ektopik.
2.
Infeksi yang
terjadi didaerah terdekat dengan tuba fallopi, seperti ovarium atau uterus.
3.
Infertilitas.
4.
Menginfeksi
orang yang diajak berhubungan seksual.
F. Patofisiologi
Infeksi biasanya
berawal pada bagian vagina, dan menyebar ke bagian tuba fallopi. Infeksi dapat
menyebar melalui pembuluh getah bening, infeksi pada salah satu tuba fallopi
biasanya menyebabkan infeksi yang lain. Pada beberapa kasus, salpingitis
disebabkan oleh infeksi bakteri seperti Mycoplasma, Staphylococcus, dan
Streptococcus. Selain itu salpingitis dapat disebabkan oleh penyakit menular
seksual seperti gonore dan kalmidia (Prawirohardjo, 2007).
G. Tanda dan Gejala
Ada pun tanda dan gejala dari salpingitis adalah
:
1.
Nyeri pada kedua sisi perut
2.
Demam
3.
Mual muntah
4.
Kelainan pada
vagina seperti perubahan warna yang tidak seperti orang normal
atau berbau.
5.
Nyeri selama ovulasi.
6.
Sering kencing
8.
Disminorhoe
9.
Nyeri Abdomen : nyeri andomen bagian
bawah merupakan gejala yang paling dapat dipercaya dari infeksi pelvis akut.
Pada mulanya rasa nyeri unilateral, bilateral, atau suprapubik, dan sering
berkembang sewaktu atau segera setelah suatu periode menstruasi. Keparahan
meningkat secara bertahap setelah beberapa jam sampai beberapa hari, rasa nyeri
cenderung menetap, bilateral pada abdomen bagian bawah, dan semakin berat
dengan adanya pergerakan
10. Perdarahan
pervaginam atau sekret vagina : perdarahan antar menstruasi atau meningkatnya
aliran menstruasi atau kedua-duanya dapat merupakan akibat langsung dari
endometritis atau pengaruh tidak langsung dari perubahan – perubahan hormonal
yang berkaitan dengan ooforitis. Sekret vagina dapat disebabkan oleh servitis.
11. Gejala – gejala penyerta : menggigil
dan demam lazim ditemukan. Anoreksia, nausea dan vomitus berkaitan dengan
iritasi peritoneum. Disuria dan sering kencing menunjukkan adanya keterkaitan
dengan uretritis dan sistitis. Nyeri bahu atau nyeri kuadrak kanan atas mungkin
merupakan gejala dari peripheral gonokokus.
12.
Riwayat menstruasi : menstruasi
dapat meningkat dalam jumlah dan lamanya, salpingitis dapat menjadi simptomatik
pada hari keempat atau kelima dari siklus menstruasi.
H. Tes Diagnostik
1. Pemeriksaan umum
a.
Suhu biasanya meningkat
b.
Tekanan darah normal
c.
Denyut nadi cepat
2. Pemeriksaan abdomen
a.
Nyeri perut bawah
b.
Nyeri lepas
c.
Rigiditas otot
d.
Bising usus menurun
e.
Distensi abdomen
3. Pemeriksaan inspekulo
Tampak sekret purulen di ostium
serviks
4. Pemeriksaan laboratorium
Leukosit cenderung meningkat.
Pemeriksaan fisik harus dilakukan
secara cermat untuk membantu membedakan diantara beberapa keadaan yang berbeda
yang diwakili oleh gambaran klinis. Tentukan dengan pemeriksaan abdomen apakah
terdapat tanda-tanda peritonitis, termasuk difans muskular (infoluntary
guarding), nyeri langsung, nyeri alih, dan nyeri lepas, tanda psoas yang
positif, dan nyeri pada sudut kostovertebral. Lakukan pemeriksaan pelvis yang
cermat dan hati-hati, termasuk pemeriksaan bimanual palpasi rektal dan vaginal,
carilah informasi untuk mendapatkan lokasi yang tepat dan sifat proses
penyakit, catatlah adanya rasa sakit pada palpasi juga dengan menggerakkam
serviks ke satu sisi atau sisi lainnya. Tentukan adanya massa atau penebalan
adneksa. Jika ditemukan massa dan konfirmasikan melalui pemeriksaan
ultrasonografi, pasien harus diperiksa untuk abses tubo-ovarium dan ditangani
dengan tepat.
Lakukan usaha untuk menunjukkan
penyebab nyeri pelvis tentukan apakah polanya rekuren, progresif dan
berhubungan dengan menstruasi, misalnya, sebagai kemungkinan tanda
endometriosis, atau akut, intermiten dan disertai dengan nyeri pinggang dan
disuria, yang menggambarkan pielitis, atau urolitiasis. Mungkin sulit untuk
membedakan pielonefritis dari salpingitis karena dapat terjadi iritasi uriter
jika tuba yang mengalami inflamasi terletak (atau menempel) pada tepi posterior
ligamentum latum dimana menyilang uriter. Carilah penjelasan laboratories
dengan melakukan sekurangnya hitung darah lengkap, hitung diferensial, laju
endap darah, dan urinalisis. Ingatlah bahwa beberapa proses peradangan
noninfeksius, seperti nekrosis jaringan avaskular yang berhubungan dengan
torsio atau infark adneksa, dapat menyebabkan efek sistemik yang diketahui dari
likositosis, pergeseran hitung diferensial, dan peningkatan laju endap darah.
Ingatlah juga bahwa petanda laboratorium untuk infeksi dapat timbul lebih
lambat pada kasus salpingitis; petanda tersebut dapat timbul beberapa jam
setelah gejala klinis (bahkan beberapa hari), sehingga memberikan banyak
keraguan. Konsentrasi serum C-protein fase akut seringkali sangat menolong
dalam keadaan ini. Perubahan menstruasi, tanda-tanda yang mengarahkan pada
kehamilan, nyeri bahu, atau tenesmus memerlukan pertimbangan yang serius adanya
kehamilan ektopik. Lakukan tes kehamilan, lebih disukai pengukuran human chronic
gonadotropin (hCG) subunit-beta, dan pemeriksaan ultrasonografi jelas
diperlukan pada keadaan ini.
I.
Pengobatan
Perawatan penyakit salpingitis dilakukan dengan pemberian
antibiotic (sesering
mungkin sampai beberapa minggu). Antibiotik dipilih sesuai dengan mikroorganismenya yang
menginfeksi. Pasangan yang diajak hubungan seksual harusdievaluasi, disekrining
dan bila perlu dirawat, untuk mencegah komplikasi sebaiknya tidak
melakukan hubungan seksual selama masih menjalani perawatan untuk mencegah
terjadinya infeksi kembali.
Perawatan dapat dilakukan dengan beberapacara yaitu
:
1.
Antibiotik untuk menghilangkan infeksi,
dengan tingkat keberhasilan 85% dari kasus.
2.
Perawatan di
rumah sakit memberikan obat antibiotic melalui intravena
(infuse).
3.
Pembedahan dilakukan jika pengobatan dengan
antibiotic menyebabkan terjadinya resistan pada bakteri.
4.
Berobat jalan
Jika keadaan umum baik, tidak demam.
Berikan antibiotic : Cefotaksitim 2 gr IM atau amoksisilin 3 gr peroral atau
ampisilin 3,5 per os atau prokain ampisilin G dalam aqua 4,8 juta unit IM pada
2 tempat. Masing-masing disertai dengan pemberian probenesid 1gr per os,
diikuti dengan dekoksisiklin 100 mg per os dua kali sehari selama 10-14 hari
serta tetrasiklin 500 mg per os 4 kali sehari (dekoksisilin dan tetrasiklin
tidak digunakan untuk ibu hamil).
5. Tirah baring
Kunjungan
ulang 2-3 hari atau jika keadaan memburuk.
6. Rawat inap : Jika terdapat
keadaan-keadaan yang mengancam jiwa ibu.
Untuk menekan kerusakan permanen
pada anatomi dan fungsi tuba, pasien dengan salpingitis akut harus diterapi
secepat mungkin dan agresif dengan regimen antibiotika yang sesuai. Lakukan
kultur terlebih dahulu, tetapi ketahuilah terdapat korelasi yang buruk antara
organisme yang ditemukan dari kultur serviks dan yang terdapat serta aktif di dalam
tuba. Salpingitis seringkali ditemukan berkaitan dengan organisme polimikroba
aerobik dan anaerobik, kemungkinan sebagai patogen sekunder. Pemilihan
antibiotik harus melihat hal tersebut. Diskusikan kemungkinan masalah yang
terjadi di masa mendatang seperti infertilitas, kehamilan ektopik, nyeri pelvis
kronis, rekurensi, dan pembentukan abses dengan tujuan memberitahukan pasien
bahwa ia sangat berperan mengenai keadaannya dan prognosisnya. Dengan cara ini,
pasien dapat melakukan tindakan untuk menghindarkan infeksi ulang dan
mengetahui serta sadar tentang kemungkinan komplikasi.
Pasien yang menderita salpingitis
periodik akhirnya akan timbul kerusakan juga yang tidak dapat diperbaiki lagi
dengan penutupan bagian distal dan proksimalnya, sehingga menyebabkan
hidrosalping, piosalping, atau abses tubo-ovarium. Pasien perlu diberitahu
mengenai keuntungan abstinensia seksual sebagai cara untuk membantu
mengoptimalkan penyembuhan atau penggunaan kontrasepsi barier untuk menekan
resiko infeksi ulang. Nyeri pelvis yang kronis terutama jika disertai dengan
piosalping rekuren, memerlukan intervensi bedah untuk mengangkat organ yang
rusak. Waktu yang terbaik untuk pembedahan adalah saat proses inflamasi
menghilang secara maksimal di antara rekurensi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Salphingitis adalah inflamasi pada uterus, tuba fallopi, dan
ovarium yang mengarah ke perlukaan dengan perlengketan pada jaringan dan organ
sekitar. Yang disebabkan oleh wanita dengan IUD asimptomatik, nyeri abdominal
kuadran bawah, dispareunia, perdarahan vagina abnormal, dan vaginal discharge.
Langkah pertama yang dilakukan ialah sediakan analgesic,
bila pasien menggunaan IUD maka harus dihentikan. Dengan catata pasien dapat
mencegah kehamilan meski tanpa alat kontrasepsi minimal 7 hari, dan segera
rujuk ke bagian genitourinaria, untuk pasien dengan riwayat STD agar menjalani
skrining dan terapi untuk pasangan seksual pasien.
B.
Saran
Kejadian salpingitis sangat menbahayakan bagi wanita karena
dapat menyebabkan kehamilan ektopik. Untuk itu diharapkan pada wanita untuk
menjga kesehatan terutama organ reproduksinya yang rentan terhadap kejadian
infeksi dan melakukan pemeriksaan secara dini kepada tenaga kesehatan agar
apabila terjadi infeksi terutama salpingitis dapat segera diatasi.
Tenaga kesehatan berupaya untuk memberikan penyuluhan atau
pendidikan khususnya kesehatan reproduksi pada wanita dan pemerintah mampu
memberikan kebijakan – kebijakan yang mendukung terhadap pemeliharaan
kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges,
Marilynn E. 1999. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta : EGC.
Doenges, Marilynn E and Marry
Franches Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal atau Bayi Pedoman
untuk Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan Klien. Jakarta: EGC.
Hanifa, Winkosastro. 2002. Ilmu
Kebidanan YBP-SP Edisi ketiga cetakan ke enam. Jakarta : FKUI
0 Response to "MAKALAH KELAINAN SISTEM REPRODUKSI SALPINGITIS"
Posting Komentar