MAKALAH KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang
berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan
perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan
organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang
memimpin keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga
terdiri dari Ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki
hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian
dalam hubungan timbal balik antar semua anggota/individu dalam keluarga. Sebuah
keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang
ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan
terhadap keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga.
Keluarga disebut disharmonis apabila terjadi sebaliknya.
Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun
orang tua dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah
tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam
rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah
mengalaminya. Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan
menyelesaikan hal tersebut.
Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya
masing-masing. Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap
anggota keluarga akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan
mengerti perasaan, kepribadian dan pengendalian emosi tiap anggota keluarga
sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam keluarga. Penyelesaian konflik secara
sehat terjadi bila masing-masing anggota keluarga tidak mengedepankan
kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang
sama-sama menguntungkan anggota keluarga melalui komunikasi yang baik dan
lancar. Disisi lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka
konflik akan semakin sering terjadi dalam keluarga.
Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah yang
berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan,
teriakan dan makian maupun ekspresi wajah menyeramkan. Terkadang muncul
perilaku seperti menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik.
Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) yang diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah di atas adalah
1. Apa yang dimaksud dengan Kekerasan
dalam Rumah Tangga ?
2. Apa saja bentuk-bentuk Kekerasan
dalam Rumah Tangga ?
3. Apakah faktor-faktor penyebab
Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
4. Bagaimana cara penanggulangan
Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
5. Apakah perlindungan bagi korban KDRT?
C.
TUJUAN
Tujuan
dari rumusan masalah di atas yaitu
1. Menjelaskan yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
2. Menjelaskan apa saja bentuk-bentuk
Kekerasan dalam Rumah Tangga.
3. Menjelaskan faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
4. Menjelaskan cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
5. Menjekaskan perlindungan bagi korban KDRT.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti
yang tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga
telah mendapatkan perlindungan hukum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004
yang antara lain menegaskan bahwa:
a.
Bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala bentuk kekerasan sesuai
dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945.
b.
Bahwa segala bentuk kekerasan,
terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia,
dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang
harus dihapus.
c.
Bahwa korban kekerasan dalam rumah
tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan
dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau
ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan
martabat kemanusiaan.
d.
Bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk
Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri
sebenarnya merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya
adalah KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis
besar isi pasal yang berbunyi: “Barang siapa yang melakukan penganiayaan
terhadap ayah, ibu, isteri atau anak diancam hukuman pidana”
B. Bentuk-bentuk
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Menurut
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam
rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik
adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar,
memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan
rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini
akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka
lainnya.
2. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan
psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku
kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan,
komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir
istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan
kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis
ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa
melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan
kepuasan pihak istri.
Kekerasan seksual berat, berupa:
a.
Pelecehan seksual dengan kontak
fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul
serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan
merasa dikendalikan.
b.
Pemaksaan hubungan seksual tanpa
persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki.
c.
Pemaksaan hubungan seksual dengan
cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.
d.
Pemaksaan hubungan seksual dengan
orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.
e.
Terjadinya hubungan seksual dimana
pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
f.
Tindakan seksual dengan kekerasan
fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
Kekerasan Seksual Ringan, berupa
pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan,
ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan
tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak
dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban. Melakukan
repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan
seksual berat.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan
orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis
ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan
eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
-
Memaksa korban bekerja dengan cara
eksploitatif termasuk pelacuran.
-
Melarang korban bekerja tetapi
menelantarkannya.
-
Mengambi l tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas
dan atau memanipulasi harta benda korban.
Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa
melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak
berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
C. Faktor-faktor
penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Strauss A.
Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan
keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital
violence) sebagai berikut:
1. Pembelaan atas
kekuasaan laki-laki
Laki-laki
dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga
mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
2. Diskriminasi
dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi
dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita
(istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan
maka istri mengalami tindakan kekerasan.
3. Beban
pengasuhan anak
Istri yang
tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.
Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan
menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
4. Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita
sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-luasaan
laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban
wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai
seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
5. Orientasi
peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita
sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya,
diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering
ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum
yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang
bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
D. Cara
Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Untuk menghindari terjadinya
Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan
dalam Rumah Tangga, antara lain:
1. Perlunya keimanan yang kuat dan
akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam
rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
2. Harus tercipta kerukunan dan
kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama itu mengajarkan
tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga
antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.
3. Harus adanya komunikasi yang baik
antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan
harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan
kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya
kekerasan dalam rumah tangga.
4. Butuh rasa saling percaya,
pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga
rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling
percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa
kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa
curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
5. Seorang istri harus mampu
mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang
istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga
kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
E.
Perlindungan bagi Korban
KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta
dan relita dalam kehidupan rumah tangga. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maka
persoalan KDRT ini menjadi domain publik. Sebagian besar korban KDRT adalah
kaum perempuan dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru
sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu.
Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah
tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh
si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang
belum dipahami. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk
memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.
UU PKDRT secara substanstif
memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan agar mudah diakses oleh
korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya,baik perlindungan sementara maupun
berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga
pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi
termasuk juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak lainnya.
Peran pihak lainnya lebih bersifat
individual. Peran itu diperlukan karena luasnya ruang dan gerak tindak KDRT,
sementara institusi dan lembaga resmi yang menangani perlindungan korban KDRT
sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu adalah setiap orang yang mendengar,
melihat, atau mengetahui terjadinya tindak KDRT. Mereka diwajibkan mengupayakan
pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu pengajuan
permohonan penetapan perlindungan baik langsung maupun melalui institusi dan
lembaga resmi yang ada.Dilihat dari stelsel hukum pidana, tindak KDRT ini
adalah tindak kekerasan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yakni tindak pidana penganiayaan, kesusilaan, serta penelantaran
orang yang perlu diberi nafkah dan kehidupan. Lalu mengapa masih diperlukan UU
PKDRT?
Memang, tindak kekerasan yang diatur
dalam PKDRT ini mempunyai sifat khas/spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi
di dalam rumah tangga, korban dan pelakunya terikat hubungan kekerasan atau
hubungan hukum tertentu lainnya, serta berpotensi dilakukan secara berulang
(pengulangan) dengan penyebab (causa) yang lebih kompleks dari tindak kekerasan
pada umumnya. Itu sebabnya, tindak kekerasan ini lebih merupakan persoalan
sosial yang tidak hanya dilihat dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus
dilakukan secara komprehensif, melalui proses sosial, hukum, psikologi,
kesehatan, dan agama, dengan melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi dan
lembaga.
Bagaimanakah bentuk dan cara
perlindungan itu, serta bagaimanakah hubungan masing-masing institusi dan
lembaga pemberi perlindungan itu secara konkret dan faktual di lapangan? Itulah
pokok persoalan yang perlu dibahas lebih lanjut.
Yang lebih penting lagi adalah
bagaimana persoalan itu dipahami oleh masyarakat luas sehingga cita-cita yang
hendak dicapai oleh legislator yang terkandung dalam UU PKDRT dapat terwujud
sesuai harapan.
Bentuk perlindungan Korban KDRT atau
bahkan lembaga pemberi perlindungan itu sendiri belum tentu memahami bagaimana
perlindungan itu didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang status
soseknya lebih tinggi atau institusi dan lembaga yang tugas dan fungsinya
selaku penegak hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan
perlindungan itu bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar
itu, perlu mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi
selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.
UU PKDRT secara selektif membedakan
fungsi perlindungan dengan fungsi pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan
lembaga itu dapat memberikan perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum
dalam rangka pemberian sanksi kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan
lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi,
mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi.
Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah
penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.
Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi
perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan
pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi
dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing:
a. Perlindungan oleh kepolisian berupa
perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dalam
waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara oleh
kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan, sosial,
relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan
terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang pelayanan khusus di kantor
kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah
diakses oleh korban.Pemerintah dan masyarakat perlu segera membangun rumah aman
(shelter) untuk menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT.
Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya dapat melakukan
penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup dan
disertai dengan perintah penahanan terhadap pelaku KDRT. Bahkan kepolisian
dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat perintah terhadap
pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat penangkapan dan penahanan itu
dapat diberikan setelah 1 X 24 jam.
b. Perlindungan oleh advokat diberikan
dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi di antara pihak
termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan mendampingi korban
di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan
(litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial(kerja sama dan kemitraan).
c. Perlindungan dengan penetapan
pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang diberikan selama
1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan
dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh)
hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang
ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan
dari pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan perlindungan tambahan atas
pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban.
d. Pelayanan tenaga kesehatan penting
sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT.
Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil
pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik
kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan
hukum sebagai alat bukti.
e. Pelayanan pekerja sosial diberikan
dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban,
memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan,
serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.
f. Pelayanan relawan pendamping
diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan seorang atau
beberapa relawan pendamping, mendampingi korban memaparkan secara objektif
tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secara psikologis dan fisik
kepada korban.
g. Pelayanan oleh pembimbing rohani
diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan
penguatan iman dan takwa kepada korban.
Bentuk perlindungan dan pelayanan ini masih besifat
normatif, belum implementatif dan teknis oparasional yang mudah dipahami, mampu
dijalankan dan diakses oleh korban KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk
merumuskan kembali pola dan strategi pelaksanaan perlindungan dan pelayanan dan
mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya sungguh-sungguh dari
pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat sulit dan mustahil dapat mencegah
apalagi menghapus tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena berbagai
faktor pemicu terjadinya KDRT di negeri ini amatlah subur.
Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari
suatu sebab konvensional seperti disharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi
yang rendah, perangai dan tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier
dan pekerjaan ternyata tidaklah sepenuhnya benar, karena KDRT justru acapkali
dilakukan oleh mereka yang kondisi sosial ekonominya baik, sukses karier dan
pekerjaannya, bahkan berpendidikan tinggi.
KDRT merupakan multi persoalan, termasuk persoalan sosial,
ekonomi, budaya, hukum, agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus KDRT di
muka bumi Indonesia adalah perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum
perempuan yang rentan menjadi korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan
dapat mempengaruhi struktur dan karakteristik multi persoalan tadi menjadi
nilai yang diyakini benar dan dapat memberi rasa aman, tenteram, adil dan
bermartabat bagi keluarga dan bangsa Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Seharusnya seorang suami dan istri
harus banyak bertanya dan belajar, seperti membaca buku yang memang isi bukunya
itu bercerita tentang bagaimana cara menerapkan sebuah keluarga yang sakinah,
mawaddah dan warahmah.
Di dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi
yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang
rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan
dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu
timbulnya kekerasan dalam rumah tangga. Seharusnya seorang suami dan istri bisa
mengimbangi kebutuhan psikis, di mana kebutuhan itu sangat mempengaruhi
keinginan kedua belah pihak yang bertentangan. Seorang suami atau istri harus
bisa saling menghargai pendapat pasangannya masing-masing.
Seperti halnya dalam
berpacaran. Untuk mempertahankan sebuah hubungan, butuh rasa saling percaya,
pengertian, saling menghargai dan sebagainya. Begitu juga halnya dalam rumah
tangga harus dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling
percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa
kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa
curiga yang kadang juga berlebih-lebihan. Tidak sedikit seorang suami yang
sifat seperti itu, terkadang suami juga melarang istrinya untuk beraktivitas di
luar rumah. Karena mungkin takut istrinya diambil orang atau yang lainnya. jika
sudah begitu kegiatan seorang istri jadi terbatas. Kurang bergaul dan berbaur
dengan orang lain. Ini adalah dampak dari sikap seorang suami yang memiliki
sifat cemburu yang terlalu tinggi. Banyak contoh yang kita
lihat dilingkungan kita, kajadian seperti itu. Sifat rasa cemburu
bisa menimbukan kekerasan dalam rumah tangga.
Maka dari itu, di dalam sebuah rumah
tangga kedua belah pihak harus sama-sama menjaga agar tidak terjadi konflik
yang bisa menimbulkan kekerasan. Tidak hanya satu pihak yang bisa memicu
konflik di dalam rumah tangga, bisa suami maupun istri. Sebelum kita melihat
kesalahan orang lain, marilah kita berkaca pada diri kita sendiri. Sebenarnya
apa yang terjadi pada diri kita, sehingga menimbulkan perubahan sifat yang
terjadi pada pasangan kita masing-masing.
CONTOH KASUS
Contoh Kasus Kekerasan dalam Rumah
Tangga yang terjadi dimasyarakat :
Contoh kasus Kekerasan dalam Rumah
Tangga yang kami ambil adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dialami oleh
Cici Paramida. Dimana dalam kasus KDRTnya ini, wajah Cici Paramida babak
belur akibat peristiwa penabarakan yang diduga dilakukan
suaminya, Suhaebi. Peristiwa itu sendiri berawal ketika Cici yang
mencurigai suaminya membawa perempuan lain mencoba mengejar mobil suaminya
hingga ke kawasan puncak, Kabupaten Bogor. Saat kedua mobil tiba di kawasan
Gang Semen, Jalan Raya Puncak, Cisarua, mobil Cici menyalip.
Cici kemudian turun dari mobil.
“Saat dia mau mendekati mobil itu, tiba-tiba mobil digas sehingga menyerempet
Cici. Akibatnya Cici Paramida tampak terluka di bagian wajah dan lengan
seperti bekas tersenggol. Kemudian atas Kekerasan yang dilakukan oleh Suhebi,
Cici melaporkan tindakan kekerasan itu polisi.
Dari contoh kasus diatas kita dapat
menarik kesimpulan bahwa seorang suami seharusnya menjaga kepercayaan yang
diberikan oleh istrinya. Suatu hubungan akan berjalan harmonis apabila sebuah
pasangan dilandasi dengan percaya kepada pasangannya. Namun kejadian ini tidak
akan terjadi apabila sang istri menanyaka secara baik-baik kepada suaminya.
Apakah benar ia bersama perempuan lain atau hanya sekedar rekan kerjanya.
B.
SARAN
Demikian yang dapat kami jelaskan
semonga bemanfaat bagi pembaca dan dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan-kekurangan, oleh karena itu kami senantiasa menerima saran dan
kritik yang sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru utama.
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan:
Perspektif Gender, Yogyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional , Bandung: Alumni.
Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum, Bandung,
Alumni.
0 Response to "MAKALAH KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)"
Posting Komentar