MAKALAH QURBAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ibadah berqurban adalah antara
amalan mulia dan penting dalam Islam karena amat besar fadhilatnya, tetapi
sayangnya masih banyak orang yang samar-samar atau kabur kefahaman menerka
mengenainya, sehingga ada yang memandang ringan walaupun mempunyai kemampuan
tetapi tidak mahu melakukan penyembelihan qorban dan aqiqah ini.
Begitulah masalah berqurban yang
akan coba kita jelaskan. Semoga dengan penjelasan yang serba sedikit ini dapat
membantu kefahaman kita semua tentang ibadah Qurban serta keinginan untuk
sama-sama mencari pahala kedua ibadah ini akan meningkat. Dan semoga memberi
kefahaman yang jelas hingga kita dapat menghayatinya dengan penuh keimanan
kerana menjunjung perintah Allah s.w.t. dan mendapat fadhilat daripada amalan
yang akan kita lakukan ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian qurban?
2. Apakah hukum qurban?
3. Apakah keutamaan qurban?
4. Kapan Waktu dan Tempat qurban ?
5. Seperti apa Jenis Hewan qurban ?
6. Bagaimana Teknik Penyembelihan Hewan qurban ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qurban
Kata kurban atau korban, berasal
dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata : qaruba (fi’il madhi) – yaqrabu
(fi’il mudhari’) – qurban wa qurbaanan (mashdar).Artinya, mendekati atau
menghampiri (Matdawam, 1984).
Menurut istilah, qurban adalah
segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa
hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972).
Dalam bahasa Arab, hewan kurban
disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau adh-dhahiyah , dengan bentuk
jamaknya al adhaahi. Kata ini diambil dari kata dhuha, yaitu waktu matahari
mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan penyembelihan kurban, yakni
kira-kira pukul 07.00 – 10.00 (Ash Shan’ani, Subulus Salam IV/89).
Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta,
sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq
sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah
XIII/155; Al Jabari, 1994).
B.
Dasar Hukum Qurban
Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib.
Imam Malik, Asy Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu
Hazm dan lainnya berkata, “Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu
(kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam
perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984)
Sebagian mujtahidin –seperti Abu
Hanifah, Al Laits, Al Auza’i, dan sebagian pengikut Imam Malik— mengatakan
qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini dhaif (lemah) (Matdawam, 1984).
Ukuran “mampu” berqurban, hakikatnya
sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang)
setelah terpenuhinya kebutuhan pokok ( al hajat al asasiyah) –yaitu sandang,
pangan, dan papan– dan kebutuhan penyempurna (al hajat al kamaliyah) yang lazim
bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban
(Al Jabari, 1994)
Dasar kesunnahan qurban antara lain,
firman Allah SWT : “Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan
berqurbanlah. ” (TQS Al Kautsar : 2) “Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk
menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah.” (HR. At
Tirmidzi) “Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas
kalian.” (HR. Ad Daruquthni)
Dua hadits di atas merupakan qarinah
(indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi
“wanhar” (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan
untuk melakukan qurban (thalabul fi’li). Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu bi
an nahri wa huwa sunnatun lakum ” (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban,
sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni ” kutiba
‘alayya an nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku qurban
dan ia tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang
ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan
keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun benar, qurban adalah
wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau (lihat Rifa’i
et.al., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hal. 422).
Orang yang mampu berqurban tapi
tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa yang mempunyai
kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri
tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu Hurairah
RA. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)
Perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna
musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami) adalah
suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang –yang tak berqurban
padahal mampu– untuk mendekati tempat sholat Idul Adh-ha. Namun ini bukan
celaan yang sangat/berat (dzamm syanii’ ) seperti halnya predikat fahisyah
(keji), atau min ‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan
jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat
Idul Adh-ha tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan
tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram (lihat ‘Atha` ibn Khalil, Taysir
Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24; Al Jabari, 1994).
Namun hukum qurban dapat menjadi
wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar adalah wajib sesuai
hadits Nabi SAW : “Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan (bukan maksiat)
kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya. ” (lihat Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah XIII/157).
Qurban juga menjadi wajib, jika
seseorang (ketika membeli kambing, misalnya) berkata,”Ini milik Allah, ” atau
“Ini binatang qurban.” (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994).
C.
Keutamaan Qurban
Berqurban merupakan amal yang paling
dicintai Allah SWT pada saat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW : “Tidak ada suatu
amal anak Adam pada hari raya Qurban yang lebih dicintai Allah selain
menyembelih qurban.” (HR. At Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)
Berdasarkan hadits itu Imam Ahmad
bin Hambal, Abuz Zanad, dan Ibnu Taimiyah berpendapat,”Menyembelih hewan pada
hari raya Qurban, aqiqah (setelah mendapat anak), dan hadyu (ketika haji),
lebih utama daripada shadaqah yang nilainya sama.” (Al Jabari, 1994).
Tetesan darah hewan qurban akan
memintakan ampun bagi setiap dosa orang yang berqurban. Sabda Nabi SAW : “Hai
Fathimah, bangunlah dan saksikanlah qurbanmu. Karena setiap tetes darahnya akan
memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kaulakukan.. .” (lihat Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah XIII/165)
D.
Waktu dan Tempat Qurban
1. Waktu
Qurban dilaksanakan setelah sholat Idul Adh-ha tanggal 10
Zulhijjah, hingga akhir hari Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13
Zulhijjah. Qurban tidak sah bila disembelih sebelum sholat Idul Adh-ha. Sabda
Nabi SAW : “Barangsiapa menyembelih qurban sebelum sholat Idul Adh-ha (10
Zulhijjah) maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan
barangsiapa menyembelih qurban sesudah sholat Idul Adh-ha dan dua khutbahnya,
maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya (berqurban) dan telah
sesuai dengan sunnah (ketentuan) Islam.” (HR. Bukhari)
Sabda Nabi SAW: “Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13
Zulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih qurban.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Menyembelih qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam
hari pada tanggal-tanggal yang telah ditentukan itu. Menyembelih pada malam
hari hukumnya sah, tetapi makruh. Demikianlah pendapat para imam seperti Imam
Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan jumhur ulama (Matdawam, 1984)
Perlu dipahami, bahwa penentuan tanggal 10 Zulhijjah adalah
berdasarkan ru`yat yang dilakukan oleh Amir (penguasa) Makkah, sesuai hadits
Nabi SAW dari sahabat Husain bin Harits Al Jadali RA (HR. Abu Dawud, Sunan Abu
Dawud hadits no.1991). Jadi, penetapan 10 Zulhijjah tidak menurut hisab yang
bersifat lokal (Indonesia saja misalnya), tetapi mengikuti ketentuan dari
Makkah. Patokannya, adalah waktu para jamaah haji melakukan wukuf di Padang
Arafah (9 Zulhijjah), maka keesokan harinya berarti 10 Zulhijjah bagi kaum
muslimin di seluruh dunia.
2. Tempat
Diutamakan, tempat penyembelihan
qurban adalah di dekat tempat sholat Idul Adh-ha dimana kita sholat (misalnya
lapangan atau masjid), sebab Rasulullah SAW berbuat demikian (HR. Bukhari).
Tetapi itu tidak wajib, karena Rasulullah juga mengizinkan penyembelihan di rumah
sendiri (HR. Muslim). Sahabat Abdullah bin Umar RA menyembelih qurban di
manhar, yaitu pejagalan atau rumah pemotongan hewan (Abdurrahman, 1990).
E.
Hewan Qurban
1. Jenis Hewan
Hewan yang boleh dijadikan qurban
adalah : unta, sapi, dan kambing (atau domba). Selain tiga hewan tersebut,
misalnya ayam, itik, dan ikan, tidak boleh dijadikan qurban (Sayyid Sabiq,
1987; Al Jabari, 1994). Allah SWT berfirman : “…supaya mereka menyebut nama
Allah terhadap hewan ternak (bahimatul an’am) yang telah direzekikan Allah
kepada mereka.” (TQS Al Hajj : 34)
Dalam bahasa Arab, kata bahimatul
an’aam (binatang ternak) hanya mencakup unta, sapi, dan kambing, bukan yang
lain (Al Jabari, 1994).
Prof. Mahmud Yunus dalam kitabnya Al
Fiqh Al Wadhih III/3 membolehkan berkurban dengan kerbau ( jamus), sebab
disamakan dengan sapi.
2. Jenis
Kelamin
Dalam berqurban boleh menyembelih
hewan jantan atau betina, tidak ada perbedaan, sesuai hadits-hadits Nabi SAW
yang bersifat umum mencakup kebolehan berqurban dengan jenis jantan dan betina,
dan tidak melarang salah satu jenis kelamin (Sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman,
1990)
3. Umur
Sesuai hadits-hadits Nabi SAW,
dianggap mencukupi, berqurban dengan kambing/domba berumur satu tahun masuk
tahun kedua, sapi (atau kerbau) berumur dua tahun masuk tahun ketiga, dan unta
berumur lima tahun (Sayyid Sabiq, 1987; Mahmud Yunus, 1936).
4. Kondisi
Hewan yang dikurbankan haruslah
mulus, sehat, dan bagus. Tidak boleh ada cacat atau cedera pada tubuhnya. Sudah
dimaklumi, qurban adalah taqarrub kepada Allah. Maka usahakan hewannya
berkualitas prima dan top, bukan kualitas sembarangan (Rifa’i et.al , 1978).
Berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW,
tidak dibenarkan berkurban dengan hewan :
1)
Yang nyata-nyata buta sebelah,
2)
Yang nyata-nyata menderita penyakit
(dalam keadaan sakit),
3)
Yang nyata-nyata pincang jalannya,
4)
Yang nyata-nyata lemah kakinya serta
kurus,
5)
Yang tidak ada sebagian tanduknya,
6)
Yang tidak ada sebagian kupingnya,
7)
Yang terpotong hidungnya,
8)
Yang pendek ekornya (karena
terpotong/putus) ,
9)
Yang rabun matanya. (Abdurrahman,
1990; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq. 1987).
Hewan yang dikebiri boleh dijadikan qurban. Sebab Rasulullah
pernah berkurban dengan dua ekor kibasy yang gemuk, bertanduk, dan telah
dikebiri ( al maujuu’ain) (HR. Ahmad dan Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)
“Dianjurkan bagi setiap keluarga menyembelih qurban.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa`i, dan Ibnu Majah)
F.
Teknis Penyembelihan
Teknis penyembelihan adalah sebagai
berikut :
1. Hewan yang akan dikurbankan
dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi mukanya menghadap ke
arah kiblat, diiringi dengan membaca doa ” Robbanaa taqabbal minnaa innaka
antas samii’ul ‘aliim.” (Artinya : Ya Tuhan kami, terimalah kiranya qurban kami
ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).
2. Penyembelih meletakkan kakinya yang
sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya
atau meronta.
3. Penyembelih melakukan penyembelihan,
sambil membaca : “Bismillaahi Allaahu akbar.” (Artinya : Dengan nama Allah,
Allah Maha Besar). (Dapat pula ditambah bacaan shalawat atas Nabi SAW. Para
penonton pun dapat turut memeriahkan dengan gema takbir “Allahu akbar!”)
4. Kemudian penyembelih membaca doa
kabul (doa supaya qurban diterima Allah) yaitu : “Allahumma minka wa ilayka.
Allahumma taqabbal min ….” (sebut nama orang yang berkurban). (Artinya : Ya
Allah, ini adalah dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu. Ya Allah, terimalah
dari….) (Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984; Rifa’i et.al., 1978; Rasjid, 1990)
Penyembelihan, yang afdhol dilakukan oleh yang berqurban itu
sendiri, sekali pun dia seorang perempuan. Namun boleh diwakilkan kepada orang
lain, dan sunnah yang berqurban menyaksikan penyembelihan itu (Matdawam, 1984;
Al Jabari, 1994).
Dalam penyembelihan, wajib terdapat 4 (empat) rukun
penyembelihan, yaitu :
1. Adz Dzaabih (penyembelih) , yaitu
setiap muslim, meskipun anak-anak, tapi harus yang mumayyiz (sekitar 7 tahun).
Boleh memakan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani), menurut mazhab
Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi, makruh, dan menurut mazhab Maliki, tidak
sempurna, tapi dagingnya halal. Jadi, sebaiknya penyembelihnya muslim. (Al
Jabari, 1994).
2. Adz Dzabiih, yaitu hewan yang
disembelih.Telah diterangkan sebelumnya.
3. Al Aalah, yaitu setiap alat yang
dengan ketajamannya dapat digunakan menyembelih hewan, seperti pisau besi,
tembaga, dan lainnya. Tidak boleh menyembelih dengan gigi, kuku, dan tulang
hewan (HR. Bukhari dan Muslim).
4. Adz Dzabh, yaitu penyembelihannya
itu sendiri. Penyembelihan wajib memutuskan hulqum (saluran nafas) dan mari`
(saluran makanan). (Mahmud Yunus, 1936)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kami ingin menutup risalah sederhana
ini, dengan sebuah amanah penting : hendaklah orang yang berqurban melaksanakan
qurban karena Allah semata. Jadi niatnya haruslah ikhlas lillahi ta’ala, yang
lahir dari ketaqwaan yang mendalam dalam dada kita. Bukan berqurban karena
riya` agar dipuji-puji sebagai orang kaya, orang dermawan, atau politisi yang
peduli rakyat, dan sebagainya. Sesungguhnya yang sampai kepada Allah SWT adalah
taqwa kita, bukan daging dan darah qurban kita. Allah SWT berfirman :
“Daging-daging unta dan darahnya itu
sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan daripada
kamulah yang mencapainya. ” (TQS Al Hajj : 37)
B.
Saran
1. Orang yang berkurban harus mampu
menyediakan hewan sembelihan dengancara halal tanpa berutang.
2. Kurban hendaknya binatang ternak,
seperti unta, sapi, kambing, atau biri-biri.
3. Binatang yang akan disembelih tidak
memiliki cacat, tidak buta, tidak
pincang, tidak sakit, dan kuping serta ekor harus utuh.
DAFTAR PUSTAKA
Dian
Rosyidah, dkk, Fiqih untuk Kelas IX untuk MTs dan SMP Islam, Jakarta :
Arafah Mitra Utama, 2008.
Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta : Attahiriyah, cetakan ke 17, 1954.
Muhammad
Cholis, dkk, Pendidikan Agama Islam, Malang : Penerbit Universitas
Negeri Malang, 2010.
Moh
Rifa’i,Fiqih untuk Madrasah Aliyah, Semarang : PT Wicaksana, 1991.
0 Response to "MAKALAH QURBAN"
Posting Komentar