Pemberdayaan Masyarakat Miskin Di Era Otonomi Daerah
I. PENDAHULUAN
Indonesia adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara
ini subur dan kekayaan alamnya melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat
tergolong miskin. Pada puncak krisis ekonomi tahun 1998-1999 penduduk miskin
Indonesia mencapai sekitar 24% dari jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang.
Tahun 2002 angka tersebut sudah turun menjadi 18%, dan diharapkan menjadi 14%
pada tahun 2004. Tetapi siapa yang dapat menjamin bahwa grafik jumlah penduduk
miskin akan terus turun? Situasi terbaik terjadi antara tahun 1987-1996 ketika
angka rata-rata kemiskinan berada di bawah 20%, dan yang paling baik adalah
pada tahun 1996 ketika angka kemiskinan hanya mencapai 11,3%.
Bagaimana menerangkan bangunan ekonomi Indonesia dengan
fenomena kemiskinan di dalamnya? Ketika angka kemiskinan menunjukkan tingkat
terendah, justru tak lama setelah itu terjadi krisis ekonomi yang dahsyat, yang
ternyata tak segera bisa diatasi. Dampak dari krisis tersebut masih terasa dan
terlihat sampai sekarang. Kita lihat saja, jumlah pengemis melonjak tajam sejak
tahun 1999. Para pengemis ini beroperasi dalam berbagai cara. Banyak yang
menjadi pengamen dadakan, penodong di bis kota dan di persimpangan-persimpangan
jalan raya, dan lain-lain. Dibandingkan tahun 2001-2002, situasi pada saat ini
sudah menjadi lebih baik, namun jumlah pengemis yang beroperasi di masyarakat
belum kembali ke keadaan sebelum krisis.
Apakah gejala ini telah mendapat perhatian yang memadai dari
penentu kebijakan dan para sosiolog? Mungkin kita telah melewatkan satu
momentum yang sangat baik untuk belajar lebih dalam mengenai bangunan
sosial-ekonomi-politik masyarakat kita. Jika saja pemerintah menyisihkan
beberapa milyar rupiah untuk memberdayakan para pengemis ini, maka situasi
keamanan di kota-kota yang agak terganggu dengan kehadirian pengemis-penodong
akan lebih cepat pulih.
Dalam kenyataannya para pengemis Indonesia, termasuk di
dalamnya para pengemis yang melakukan kegiatannya dengan kekerasan, telah ikut
menciptakan rasa tidak aman di dalam masyarakat. Ditambah dengan kondisi
kehidupan politik yang hiruk-pikuk seiring dengan bergulirnya perjuangan
reformasi di segala bidang, maka citra umum mengenai kondisi keamanan di
Indonesia menjadi kurang baik dan tidak kondusif untuk segera pulihnya
kegiatan-kegiatan investasi di bidang ekonomi. Lambatnya proses pemulihan
ekonomi dengan sendirinya berarti lambatnya pengurangan jumlah orang miskin.
Dalam setengah tahun terakhir situasi tidak kondusif itu
diperparah dengan terjadinya peristiwa pemboman di Bali pada bulan Oktober
2002, dan terakhir peristiwa invasi Amerika ke Irak. Semuanya menyebabkan
hilangnya banyak lapangan kerja bagi berbagai lapisan masyarakat, khususnya
lapisan pekerja kasar.
Akar kemiskinan di Indonesia tidak hanya harus dicari dalam
budaya malas bekerja keras. Keseluruhan situasi yang menyebabkan seseorang
tidak dapat melaksanakan kegiatan produktifnya secara penuh harus
diperhitungkan. Faktor-faktor kemiskinan adalah gabungan antara faktor internal
dan faktor eksternal. Kebijakan pembangunan yang keliru termasuk dalam faktor
eksternal. Korupsi yang menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran untuk suatu
kegiatan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat miskin juga termasuk faktor
eksternal.
Sementara
itu, keterbatasan wawasan, kurangnya ketrampilan, kesehatan yang buruk, serta
etos kerja yang rendah, semuanya merupakan faktor internal. Faktor-faktor
internal dapat dipicu munculnya oleh faktor-faktor eksternal juga. Kesehatan
masyarakat yang buruk adalah pertanda rendahnya gizi masyarakat. Rendahnya gizi
masyarakat adalah akibat dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya sumber daya
alam. Selanjutnya, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)
adalah akibat dari kurangnya pendidikan. Hal yang terakhir ini juga pada
gilirannya merupakan akibat dari kurangnya pendapatan. Kurangnya pendapatan
merupakan akibat langsung dari keterbatasan lapangan kerja. Dan seterusnya
begitu, berputar-putar dalam proses saling terkait.
Mengurai berbagai faktor penyebab kemiskinan tidak mudah dan
tidak jelas harus mulai dari titik mana. Keterbatasan lapangan kerja, misalnya,
seharusnya bisa diatasi dengan penciptaan lapangan kerja. Namun penciptaan
lapangan kerja bukanlah hal yang begitu saja dapat dilakukan, misalnya dengan
meminjam dari sumber-sumber pembiayaan luar negeri. Buktinya, pinjaman luar
negeri Indonesia pada saat ini sudah mencapai lebih dari US$140 milyar, namun
tetap tidak mudah bagi banyak warga negara, khususnya yang tidak memiliki
ketrampilan khusus, untuk mendapatkan lapangan kerja.
Upaya meningkatkan penguasaan iptek masyarakat juga bukan
perkara yang mudah. Masalah utamanya adalah biaya pendidikan. Tetapi bukan
hanya itu, budaya menghargai simbol-simbol formal di masyarakat Indonesia
merupakan hal yang sangat menghambat kemajuan penguasaan iptek. Entah sejak
kapan, manusia Indonesia merasa lebih terpandang di lingkungan masyarakatnya
apabila telah memiliki ijazah kesarjanaan daripada memiliki kemampuan nyata
untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Akhirnya dunia pendidikan pun tidak
tergerak untuk mencetak manusia-manusia siap pakai. Sekolah-sekolah kejuruan
kurang berkembang. Orang merasa lebih bergengsi apabila tamat dari sekolah umum
daripada sekolah kejuruan karena para siswa sekolah kejuruan dianggap kurang
berkemampuan secara intelektual dibandingkan anak-anak dari sekolah umum.
Alhasil, Indonesia tidak memiliki cukup tenaga teknis dan insinyur-insinyur
lapisan menengah yang tumbuh dari bawah. Padahal sebagai salah satu negara
sedang berkembang kebutuhan akan tenaga-tenaga teknis amat besar. Merekalah
yang akan membentuk lapisan tenaga kerja menengah Indonesia dan menjadi
infrastruktur lunak bagi pengembangan teknologi lebih canggih pada tahap
berikutnya. Dengan demikian, kemiskinan yang dialami Indonesia di tengah-tengah
kelimpahan sumber daya alamnya antara lain disebabkan oleh sistem pendidikan
yang kurang sesuai dengan tahap perkembangan Indonesia.
Dengan gambaran tersebut, tulisan ini hendak mengangkat
sebuah hasil kajian kebijakan dari Pusat Pengkajian dan Pengembangan
Perekonomian Rakyat Yayasan Agro Ekonomika (Pusat P3R-YAE). Judul Laporan “Kajian
Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Era Otonomi Daerah”. Hasil
kajian lembaga ini cukup layak ditelaah lebih lanjut oleh karena daya kritisnya
yang cukup seimbang dalam melihat persoalan kemiskinan di Indonesia. Salah satu
bab dari laporan kajian ini menyorot masalah kemiskinan dalam perspektif
sejarah. Tawaran pendekatan untuk mengatasi masalah kemiskinan adalah melalui
strategi pola nafkah yang berkelanjutan dan demokratisasi melalui otonomi
daerah.
II. BANYAK PROGAM PEMBERDAYAAN ,
KENAPA AMBRUK?
Upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
Indonesia telah dilakukan sejak awal kemerdekaan. Misalnya, di bidang
pendidikan, pemerintah melancarkan pemberantasan buta huruf tak terbatas di
sekolah formal saja, namun juga secara non-formal. Di era Bung Karno, anak-anak
usia sekolah bahkan “dikejar” agar mau masuk sekolah. Di era Pak Harto,
dicanangkan wajib belajar sembilan tahun, dan hasilnya luar biasa. Hal ini
ditunjukkan pada peningkatan peserta pendidikan dasar dari 62 persen anak-anak
pada tahun 1973 menjadi lebih dari 90 persen pada tahun 1983. Namun, sampai
saat ini tingkat buta huruf dilaporkan masih cukup tinggi di Indonesia, yaitu
meliputi sekitar 5,9 juta orang yang berumur antara 10-44 tahun.
Di bidang kesehatan, pemerintah meluncurkan berbagai upaya
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dan memperkenalkan
sistem santunan sosial. Di era Orde Baru, sejak 1970-an, dikenalkan pusat
pelayanan kesehatan di tingkat kecamatan (Puskesmas) agar lebih mudah
terjangkau oleh masyarakat desa. Belakangan dibentuk Pos Pelayanan Terpadu
(Posyandu) di setiap desa. Pada awal 1990-an pembangunan pusat kesehatan
masyarakat meningkat lebih tinggi daripada rumah sakit. Penempatan bidan di
desa yang mendidik kader-kader dari kalangan penduduk desa sendiri, dan
mendampingi kader dalam kegiatan rutin posyandu, menunjukkan upaya-upaya
pemberdayaan masyarakat. Kaderisasi semacam ini meningkatkan peluang
keberlanjutan program yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Program
Keluarga Berencana juga merupakan program strategis untuk mengurangi tingkat
kemiskinan keluarga.
Melalui program transmigrasi, penduduk miskin dari daerah
padat diberi peluang yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan
ekonominya. Pembukaan dan pengembangan tanah pertanian baru diharapkan dapat
meningkatkan kesempatan kerja para transmigran.
Selanjutnya, melalui Small Enterprise Development Project
(SEDP I-III) dari Bank Dunia dilaksanakanlah program kredit likuiditas Bank
Indonesia berupa Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen
(KMKP) pada tahun 1974 sampai awal 1990-an. Melalui paket 29 Januari 1990, pola
kredit usaha kecil diwujudkan dalam KUK (Kredit Usaha Kecil) yang merupakan
kredit komersial. KUK ditetapkan sebesar 20 persen dari portofolio kredit bank
yang menyalurkannya. Melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1232/1989,
BUMN diwajibkan untuk menyisihkan 1-5 persen labanya bagi pembinaan usaha kecil
dan koperasi (PUKK). Fasilitas lainnya lagi adalah kredit usaha tani (KUT) yang
mulai dilaksanakan tahun 1985 dan merupakan bantuan modal kerja bagi petani
untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan.
Dalam rangka penanggulangan kemiskinan pula diluncurkan
berbagai Inpres, seperti Inpres Kesehatan, Inpres Perhubungan, Inpres Pasar,
Bangdes, dan yang agak belakangan namun cukup terkenal adalah Inpres Desa
Tertinggal (IDT). Dapat dicatat juga program-program pemberdayaan lainnya
seperti Program Pembinaan dan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil
(P4K), Program Tabungan dan Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat
(Takesra-Kukesra), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal
(P3DT), dan seterusnya. Hampir semua departemen mempunyai program
penanggulangan kemiskinan, dan dana yang telah dikeluarkan pemerintah untuk
pelaksanaan program-program tersebut telah mencapai puluhan trilyun rupiah.
Pertanyaannya kini adalah seberapa besar efek pemberdayaan
yang telah ditimbulkan berbagai program tersebut pada lapisan masyarakat miskin
yang menjadi sasarannya? Jawabannya adalah suatu pertanyaan, yaitu mengapa
perekonomian Indonesia ambruk dan tidak tahan menghadapi krisis moneter pada
tahun 1997?
Sebagaimana dikemukan di atas, struktur perekonomian
Indonesia dengan mudah ambruk karena berat di atas rapuh di bawah. Hal itu
terjadi karena kurang seimbangnya perhatian yang diberikan pemerintah Indonesia
sejak awal kemerdekaan sampai kini pada pengembangan ekonomi kelompok-kelompok
usaha mikro, kecil, dan menengah dibandingkan dengan kelompok-kelompok usaha
besar. Kelompok-kelompok usaha besar ini dalam perkembangannya kurang menjalin
hubungan yang sifatnya saling memperkuat dengan kelompok-kelompok usaha mikro,
kecil, dan menengah.
Apa yang dikatakan HS Dillon, pengamat masalah-masalah
kemiskinan yang senantiasa menukik analisisnya, mungkin perlu disimak dengan
baik. Dikatakan bahwa strategi pertumbuhan ekonomi yang cepat yang tidak
dibarengi pemerataan merupakan kesalahan besar yang dilakukan para pemimpin
negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Dalam menjalankan strategi
tersebut, pinjaman luar negeri telah memainkan peran besar sebagai sumber
pembiayaan. Padahal, sering terjadi adanya ketidaksesuaian antara paket
pembangunan yang dianjurkan donor dengan kebutuhan riil masyarakat. Kebijakan
fiskal dan moneter juga tidak pro kaum miskin, pengelolaan sumber daya alam
kurang hati-hati dan tidak bertanggung jawab, perencanaan pembangunan bersifat top-down,
pelaksanaan program berorientasi keproyekan, misleading industrialisasi,
liberalisasi perekonomian terlalu dini tanpa persiapan yang memadai untuk
melindungi kemungkinan terpinggirkannya kelompok-kelompok miskin di dalam masyarakat.
Selanjutnya berkembang budaya materialisme, praktek KKN.
Jika dapat disimpulkan, maka penyebab kemiskinan di
Indonesia bukanlah kurangnya sumber daya alam, melainkan karena faktor
non-alamiah, yaitu kesalahan dalam kebijakan ekonomi. Khusus pada era Orde
Baru, kelompok-kelompok usaha yang telah memiliki sistem manajemen modern
dengan jaringan koneksi internasional yang sudah cukup baik dapat memanfaatkan
situasi yang tercipta dengan lebih baik karena telah lebih siap secara teknis.
Tugas yang diberikan kepada kelompok-kelompok usaha tersebut adalah memperbesar
kue ekonomi yang kecil untuk kemudian dapat dilakukan pemerataan dalam pola trickle-down
effect. Dalam perkembangannya, pertumbuhan untuk pemerataan tidak terjadi
dengan mulus, bahkan kesenjangan sosial-ekonomi makin dirasakan melebar, dan
akhirnya terjadi kerusuhan sosial yang memuncak pada tahun 1998.
III. HARAPAN DI ERA OTONOMI DAERAH
Setelah terjadi pergantian rejim dari Orde Baru ke Orde
Reformasi, kemampuan masyarakat dan pemerintah untuk segera dapat mengatasi
akibat-akibat krisis multi-dimensi tidak segera dapat bangkit lagi karena
adanya tekanan-tekanan situasi dalam dan luar negeri. Namun, suasana
pembangunan sudah sangat berubah. Partisipasi masyarakat dalam berbagai matra
kehidupan, khususnya di bidang politik, meningkat tajam. Pemerintah mulai
menyadari bahwa pendekatan yang top-down dan sentralistik dalam
pengambilan keputusan tidak dapat menghasilkan percepatan pembangunan yang
sekaligus memadukan antara pertumbuhan dan pemerataan. Jadi, jalan lebar harus
dibuka untuk partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.
Pembahasan perihal penanggulangan kemiskinan di era otonomi
daerah mengandung pelajaran tentang peluang-peluang penanggulangan kemiskinan,
baik dari bentuk lama yang disusun di pusat pemerintahan, maupun pola baru
hasil susunan pemerintah daerah, mungkin disertai dukungan pemerintah pusat
atau swasta di daerah. Otonomi Daerah memungkinkan peningkatan penanggulangan
kemiskinan karena menghadapi jarak spasial maupun temporal yang lebih dekat
dengan penduduk miskin itu sendiri. Selain itu peluang tanggung jawab atas
kegiatan tersebut berada di tangan pemerintah di aras kabupaten dan kota, serta
pemerintah desa.
Problem
yang kemudian muncul ialah bagaimana upaya-upaya mengadaptasi perubahan dari
struktur pemerintahan sentralistis menjadi struktur desentralistis di mana desa
akhirnya memiliki kemandirian untuk menghidupi masyarakatnya sendiri. Problem
tersebut berkaitan dengan telah mengakarnya pola-pola pendekatan sentralistis
dalam pembangunan.
Otonomi
komunitas, pada tingkat desa atau yang lebih tinggi, memiliki pengertian yang
lebih luas dari sekedar pengambilan keputusan. Akan tetapi di antara ciri-ciri
komunitas lainnya, fungsi pengambilan keputusan dianggap sebagai ciri paling
elementer bagi sebuah otonomi yang berkaitan dengan pemberdayaan. Pengambilan
keputusan merupakan manifestasi terpenting dari kekuasaan, sementara kekuasaan
merupakan wacana inti dari keberdayaan. Dengan kata lain, keberdayaan suatu
komunitas dapat dicirikan oleh peranannya dalam pengambilan keputusan.
Melalui
perspektif tersebut otonomi berkaitan dengan upaya menggerakkan demokratisasi.
Demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat yang mengandung pengertian
bahwa semua manusia pada dasarnya memiliki kebebasan dan hak serta kewajiban
yang sama. Di sini demokrasi lebih menekankan pada partisipasi dan artikulasi
kepentingan rakyat dalam keputusan-keputusan publik. Pemerintah seharusnya
memperhatikan kepentingan rakyat ke dalam sistem pemerintahannya.
Konteks pengembangan demokrasi di pedesaan Indonesia
terbangun dari dimulainya pelaksanaan aturan normatif tentang otonomi desa
dalam UU 22/99 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25/99 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah (Agusta, 2001). Dalam aturan tersebut otonomi
desa ditegakkan di atas penetapan batas desa secara “tradisional”, penggunaan
lembaga-lembaga “tradisional” dalam kehidupan sehari-hari, serta penetapan
lembaga-lembaga perwakilan suara rakyat seperti BPD (Badan Perwakilan Desa).
Terdapat dua asumsi yang digunakan di sini, yaitu struktur masyarakat desa
tidaklah homogen melainkan minimal terdiri atas dua lapisan sosial: rakyat dan
pemerintah.
Setidaknya ada lima kemungkinan yang bisa terjadi dari suatu
proses transisi demokrasi melalui pemberian otonomi daerah. Pertama,
terbentuknya sistem otoriter dalam bentuk baru. Kedua, terjadi revolusi
sosial yang disebabkan oleh menajamnya konflik-konflik kepentingan di tengah
masyarakat. Ketiga, liberalisasi terhadap sistem otoriter, yang
dilakukan oleh penguasa pasca masa transisi, dengan tujuan untuk mendapat
dukungan politis dan mengurangi tekanan-tekanan masyarakat. Keempat,
merupakan kebalikan dari yang ketiga, yaitu penyempitan proses demokrasi dari
sistem liberal kepada demokrasi limitatif. Dan kelima, terbentuknya
sistem pemerintahan yang demokratis (Guillermo O’Donnell, Philippe C.
Schmitter, dan Laurence Whitehead (ed.), 1993). Sangat penting untuk
mengarahkan kebutuhan kita menuju terbentuknya pemerintahan demokratis. Oleh
sebab itu otonomi daerah menjadi penting.
Proses ke arah otonomi masyarakat
memerlukan waktu panjang. Namun, tanda-tanda bahwa otonomi telah mengarah pada
tujuan pemberdayaan masyarakat dapat ditemukan dalam observasi ke lima
propinsi. Gejala awal adalah, kekurangtahuan atau pemahaman yang simpang-siur,
keragu-raguan, kemudian pada akhirnya muncul keyakinan bahwa jalan otonomi
adalah yang terbaik untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan.
Masyarakat pedesaan/pedalaman
sebenarnya belum terlibat jauh dalam wacana/praksis berotonomi. Unsur
Pemerintah Daerah sendiri mengalami keraguan terkait dengan ketidakpastian
acuan normatif berotonomi. Di satu sisi terdapat sejumlah Peraturan Pemerintah
(PP) berotonomi (UU 22/1999) yang belum dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, di
sisi lain terdapat Kebijakan Pemerintahan setaraf Keputusan Menteri (Kepmen)
misalnya, yang mesti diikuti. Dalam konteks birokrasi Pemerintah Daerah, proses
berotonomi terfokus pada konsolidasi internal organisasi dan mencari
sumber-sumber baru bagi penguatan pendapatan daerah (PAD). Struktur APBD
Kabupaten/Kota pada umumnya didominasi oleh Belanja Rutin (Gaji Pegawai dan Non
Pegawai) dan Dana Perimbangan lebih besar dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pemerintah Daerah menafsirkan keadaan ini sebagai bentuk otonomi yang minimal.
Otonomi dianggap lebih nyata apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berhasil
meningkatkan porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam APBD, sehingga
berkesempatan membiayai program-program prakarsa sendiri.
Dalam jangka pendek, kegamangan
berotonomi di daerah belum akan segera meningkatkan kemampuan pemerintah daerah
untuk mengatasi kemiskinan di daerahnya masing-masing.
Apabila pemberlakuan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang
pemerintahan desa berimplikasi kepada penyeragaman desa-desa secara formal,
maka UU Nomor 22 Tahun 1999 mengembalikan aturan-aturan adat pada tempatnya.
Pada era otonomi daerah, komunitas “pra desa” memiliki hak hidupnya kembali.
Bahkan masyarakat desapun dapat mengacu kepada hukum-hukum adat di desa
tersebut dalam menentukan perkembangan desa selanjutnya. Arti penting
pembentukan desa yang sesuai dengan aturan adatnya sendiri ialah terbentuknya
suatu komunitas, yaitu masyarakat desa yang memiliki ikatan kesatuan yang kuat
atau mendasar karena bersifat kultural. Kekuatan ini menjadi landasan bagi
otonomi dan bangkitnya keberdayaan mereka. Selain itu masyarakat adat lazimnya
juga mengatur pola-pola akses atau alokasi terhadap sumberdaya alam. Hal ini
menunjukkan peluang untuk bekerja atau berusaha, sebagai salah satu jalan untuk
menanggulangi kemiskinan di lingkungan mereka.
Di antara faktor-faktor yang menghambat proses otonomi ialah
terdapat aparat pemerintah kabupaten yang tidak yakin otonomi daerah akan
berjalan –minimal sesuai dengan peraturan yang telah ada. Sulit bagi mereka
untuk yakin bahwa pemerintah pusat bersedia menyerahkan urusan pemerintahan,
dan terutama keuangan, kepada daerah.
Selama ini peraturan daerah (Perda) tentang otonomi desa
dibuat oleh aparat pemerintah kabupaten untuk mengisi kekosongan hukum sebagai
akibat dicabutnya berbagai peraturan oleh Mendagri. Pengalaman dalam pembuatan
peraturan daerah selama ini serta interpretasi mengenai hubungan daerah dan
pusat secara hirarkis mengakibatkan pembuatan peraturan daerah tersebut tidak
mengikutsertakan aspirasi warga desa sendiri. Padahal warga desalah yang
menjadi subyek peraturan daerah tersebut. Peraturan daerah itu mengacu kepada
peraturan Mendagri, tanpa menyertakan adaptasi sesuai konteks wilayah
masing-masing.
Acapkali diperoleh kenyataan bahwa kebijakan publik di suatu
aras pemerintahan tidak sesuai dengan kebutuhan dari aras pemerintahan di
bawahnya. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan komunikasi antararas dari
pemerintah pusat hingga desa. Komunikasi antar peranpun sering tidak berjalan
sehingga beragam kegiatan dari berbagai pihak, baik instansi pemerintah,
antarLSM, antarperguruan tinggi, pada satu aras yang sama seringkali tidak
sinergis, bahkan tidak jarang saling mencederai. Hal itu menunjukkan belum
adanya kesiapan atau tanda-tanda kemunculan demokrasi
Bentuk-bentuk resistensi lainnya juga muncul dari upaya
membentuk semacam asosiasi LKMD, terutama atas dukungan pemerintah juga. Dengan
cara demikian hendak dikekalkan struktur hubungan hierarkis dari pemerintah
pusat ke desa. LKMD atau badan lain semacamnya berpeluang untuk tetap
memonopoli jalan masuk proyek-proyek pembangunan pedesaan.
Selain bersumber dari sikap
resistensi terhadap otonomi, faktor penghambat lainnya muncul secara faktual
dari kemampuan pendanaan pembangunan. Dalam konteks penanggulangan kemiskinan,
diperlukan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dalam observasinya di lapangan, Pusat P3R-YAE menemukan
bahwa kesangsian aparat pemerintah pusat mengenai otonomi daerah telah
menyebabkan pemerintah kabupaten tidak menetapkan peraturan daerah mengenai
pembagian keuangan – padahal item inilah yang menurut mereka paling penting
diputuskan dalam rangka otonomi daerah. Aparat pemerintah kabupaten masih yakin
bahwa pemerintah pusat akan menguasai sebagian besar pendapatan daerah. Dengan
demikian diperkirakan aparat pemerintah kabupaten juga akan berupaya untuk
menguasai sebagian besar pendapatan desa dalam bentuk pajak-pajak.
Dalam kaitannya dengan otonomi desa, aparat pemerintah
kabupaten memandang masyarakat desa belum mampu menjalankan pemerintahan
sendiri. Oleh sebab itu diperlukan bantuan dari aparat pemerintah kabupaten.
Bantuan tersebut dapat besar kalau pendapatan kabupaten besar pula. Hal ini
diperoleh dari pembagian keuangan dari pusat, dan alokasi pajak-pajak usaha di
desa-desa yang disetor kepada pemerintah kabupaten.
Yang menggembirakan adalah faktor pendorong otonomi ke arah
demokratisasi juga mulai terbentuk. Hubungan pihak-pihak pemerintah daerah, LSM
dan perguruan tinggi setempat sudah dibuka peluangnya oleh Menteri Dalam Negeri
pada tahun 2001 berupa kebijakan nasional “percepatan pelaksanaan otonomi
daerah di tahun 2002”. Beberapa butir uraian Mendagri yang penting ialah upaya
peningkatan kapasitas daerah dalam segala aspek, yaitu aspek kelembagaan,
personil, keuangan, dan partisipasi masyarakat. Butir lainnya menunjukkan bahwa
otonomi daerah dilaksanakan dalam derap kerja terkoordinasi
(vertikal/horizontal) dan diupayakan dengan partisipasi penuh dari masyarakat
melalui kegiatan LSM dan elemen masyarakat lainnya. Butir lainnya menjelaskan
bahwa otonomi daerah dilaksanakan dengan mendorong pengembangan jaringan kerja
(networking) dan optimalisasi dukungan kerjasama teknik luar negeri
secara sistematis dan terencana.
Dalam program prioritas peningkatan kapasitas daerah dan
masyarakat, terdapat berkali-kali rujukan pada istilah di lapangan dan aplikasi
lapangan. Hal ini menunjukkan pentingnya otonomi daerah terlaksana sampai
di tingkat desa dan kelurahan serta melibatkan masyarakat, baik perorangan
(laki-laki dan perempuan), keluarga, kelompok kecil, komunitas kecil, sampai
komunitas lebih besar antar-desa maupun antar-kecamatan.
Apabila semangat dan pola baru dalam pemerintahan sampai
desa ini dipertahankan dan dilaksanakan, maka telah tercipta lingkungan yang
kondusif bagi upaya-upaya penanggulangan kemiskinan yang self-sustained.
Ke depan, masih diperlukan upaya dialog yang mempertemukan
aparat Pemda, masyarakat, swasta serta pihak lain yang berminat menanggulangi
kemiskinan. Keberhasilan aparat Pemda dalam belajar menerapkan asas-asas
pembangunan partisipatif akan membuka peluang yang besar dalam pemberdayaan
rakyat. Indikator penting dalam melihat tanda-tanda keberlanjutan keberdayaan
ialah terbukanya akses-akses sumberdaya di daerah yang mendukung pola nafkah
penduduk miskin secara berkelanjutan.
Upaya penanggulangan kemiskinan yang paling strategis dalam
era otonomi daerah dapat dirumuskan dalam satu kalimat yaitu “berikan peluang
kepada keluarga miskin dan komunitasnya untuk mengatasi masalah mereka secara
mandiri”. Ini berarti pihak luar harus mereposisi peran mereka, dari
agen pemberdayaan menjadi fasilitator pemberdayaan. Input yang berasal dari
luar yang masuk dalam proses pemberdayaan harus mengacu sepenuhnya pada
kebutuhan dan desain aksi yang dibuat oleh keluarga miskin itu sendiri bersama
komunitasnya melalui proses dialog yang produktif agar sesuai dengan konteks
setempat. Upaya-upaya menyeragamkan penanggulangan kemiskinan menurut model
tertentu hanya akan menemukan kemungkinan yang lebih besar untuk gagal dalam
mencapai sasarannya. Hal-hal yang perlu ditinggalkan oleh para pembuat
kebijakan adalah melakukan kontrol yang mematikan insiatif maupun partisipasi
penduduk miskin.
Yang perlu segera dilaksanakan adalah membangun suatu
paradigma pembangunan yang memihak kepada penduduk miskin. Dalam membangun
paradigma golongan miskin perlu diikutsertakan, misalnya melalui perwakilan
mereka. Pemerintah daerah dan pemerintah desa sebaiknya hanya melakukan
pekerjaan yang benar-benar mampu mereka kelola. Untuk mencapai kemampuan
manajemen tersebut, Pemerintah Daerah dan pemerintah desa perlu bekerjasama
dengan pihak-pihak lain yang berminat dalam program penanggulangan kemiskinan.
Dalam jangka panjang pemerintah bersama pihak-pihak lain
yang berminat harus menanggulangi permasalahan tekanan donor menyangkut
liberalisasi ekonomi agar tidak lebih jauh merugikan penduduk miskin. Otonomi
daerah dan desa hendaknya diarahkan terutama untuk menanggulangi kemiskinan
lokal. Dengan hilangnya kemiskinan, maka akan berkembang aspirasi demokrasi
yang lebih besar dan lebih dewasa.
Dalam proses ke arah itu dibutuhkan pendampingan yang akan
membantu mendorong tumbuhnya partisipasi penduduk miskin dalam proses
pembangunan di lingkungannya. Juga perlu menguatkan kemampuan kelembagaan
penduduk miskin dengan pelatihan dalam satuan kelompok-kelompok penduduk miskin
bentukan mereka. Di dalam kelompok, mereka menjadi sadar akan posisi dan apa
penyebab kemiskinan mereka, dan membuka peluang menggalang pemecahan masalah
kemiskinan bersama.
BAB IV
PENUTUP
4.1.
KESIMPULAN
Kesimpulan
utama dari kajian ini adalah bahwa percepatan penanggulangan kemiskinan dapat
dilakukan dengan mengubah paradigma pemberdayaan masyarakat dari yang bersifat top-down
menjadi partisipatif, dengan bertumpu pada kekuatan dan sumber-sumber daya
lokal. Penanggulangan kemiskinan yang tidak berbasis komunitas dan keluarga
miskin itu sendiri akan sulit berhasil.
Proses
otonomi daerah yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini, meskipun gamang
pada awalnya, diyakini nanti akan berada pada jalur yang pas. Yang diperlukan
adalah konsistensi dari pemerintah pusat untuk membimbing ke arah otonomi yang
memberdayakan tersebut. Maka disarankan agar program-program penanggulangan
kemiskinan ke depan mengarah pada penciptaan lingkungan lokal yang kondusif
bagi keluarga miskin bersama komunitasnya dalam menolong diri sendiri.
4.2.
SARAN
Hasil-hasil
kajian Pusat P3R-YAE sebagaimana dikemukakan secara ringkas di atas merupakan
masukan yang baik bagi pemerintah untuk lebih meningkatkan ketajaman
program-program penanggulangan kemiskinan yang sedang direncanakan. Ke depan,
pemerintah perlu melakukan dialog-dialog yang lebih mendalam dengan berbagai
pelaku pemberdayaan masyarakat seperti LSM dan perguruan tinggi untuk
mendapatkan masukan-masukan aktual bagi perencanaan strategi pembangunan yang
partisipati.
Dalam
rangka meningkatkan komunikasi antara pemerintah dengan berbagai komponen
masyarakat yang terkait dengan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat miskin, maka
mungkin perlu menyebarluaskan hasil-hasil kajian seperti yang dihasilkan oleh
Pusat P3R-YAE ini.
0 Response to "Pemberdayaan Masyarakat Miskin Di Era Otonomi Daerah"
Posting Komentar