Makalah Ilmu Politik Keperawatan
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Partisipasi
politik masyarakat merupakan salah satu bentuk aktualisasi dari proses
demokratisasi. Keinginan ini menjadi sangat penting bagi masyarakat dalam
proses pembangunan politik bagi negara-negara berkembang, karena di dalamnya
ada hak dan kewajiban masyarakat yang dapat dilakukan salah satunya adalah
berlangsung dimana proses pemilihan kepala negara sampai dengan pemilihan
walikota dan bupati dilakukan secara langsung. Sistem ini membuka ruang dan membawa
masyarkat untuk terlibat langsung dalam proses tersebut.
Di Indonesia pemilihan kepala daerah
langsung merupakan sejarah terhadap proses demokratisasi yang berlangsung
setelah adanya reformasi. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan
titik awal yang bagus bagi terciptanya proses demokratisasi di negara kita,
karena sistem ini sangat menghargai partisipasi politik masyarakat. Dalam
sistem poitik kita hari ini yang sedang berlansung dimana proses pemilihan
kepala negara (presiden) sampai dengan pemilihan walikota dan bupati di lakukan
secara langsung, sistem ini membuka ruang dan membawa masyarakat untuk terlibat
langsung dalam proses tersebut.
1.2
Rumusan Masalah
Apa saja yang mencakup didalam Negara dan faktor – faktor
yang mempengaruhi tentang pengambilan keputusan serta pembagian kekuasaan.
1.3
Ruang Lingkup
1.3.1
Definisi Negara dan Tujuan Negara
1.3.2 Sudut
Pandang Kekuasaan
1.3.3
Legitimasi Kekuasaan
1.3.4
Definisi pengambilan keputusan
1.3.5
Pandangan terhadap pengambil keputusan
1.3.6
Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah
1.4
Tujuan dan Manfaat
1.4.1 Tujuan
Untuk menciptakan modernisasi politik maka dibutuhkan
partisipasi politik masyarakat. Apalagi Indonesia saat ini sedang melakukan
pembangunan politiknya sesuai dengan nilai-nilai demokrasi baik sistemnya
maupun manusianya. Pengetahuan tentang Negara dan unsur – unsur yang ada
didalamnya berpengaruh atas hasil-hasil yang akan di capai dalam proses
pemerintahan.serta kegiatan yang dilakukan oleh para warga negara,
individu-individu dengan tujuan mempengaruhi kebijakan, pengambilan keputusan,
kekuasaan, dan pembagian tugas pemerintah…”
1.4.2
Manfaat
Manfaat dari makalah ini di buat untuk memperkenalkan
tentang pengertian Negara dan hal-hal yang mempengaruhi dalam pengambilan
keputusan, dan pembagian kekuasaan secara menyeluruh dan memberikan pemahaman
dasar-dasar ilmu politik serta berbagai masalah yang erat kaitannya dengan ilmu
tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Negara
2.1.1 Pengertian Negara
Secara literal istilah Negara
merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni state (bahasa Inggris), Staat
(bahasa Belanda dan Jerman) dan etat (bahasa Perancis), kata state,
staat, etat itu diambil dari kata bahasa latin status atau statum,
yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki
sifat-sifat yang tegak dan tetap.
Secara terminology, Negara diartikan
dengan organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai
cita-cita untuk bersatu, hidup dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan
yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah Negara
yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah Negara, yakni adanya masyarakat
(rakyat), adanya wilayah (daerah) dan adanya pemerintah yang berdaulat.
Menurut Roger H. Soltao, Negara
didefinisikan dengan alat (agency) atau wewenang masyarakat. Menurut Haroid. J.
Laski negera merupakan suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai
wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada
individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu.
Max Weber mendefinisikan bahwa
Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan
fisik secara sah dalam suatu wilayah dengan berdasarkan system hukum yang
diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberikan
kekuasaan memaksa.
2.1.2 Tujuan Negara
Tujuan sebuah Negara dapat bermacam-macam, antara
lain:
a. Memperluas
kekuasaan
b. Menyelenggarakan
ketertiban hukum
c. Mencapai
kesejahteraan hukum.
Menurut Plato, tujuan Negara adalah
untuk memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan (individu) dan sebagai
makhluk social. Sedangkan menurut Roger H. Soltau tujuan Negara adalah
memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas
mungkin (the freest possible development and creative self-expression of its
members).
Dalam ajaran dan konsep Teokratis
(yang diwakili oleh Thomas dan Agustinus, tujuan Negara adalah untuk mencapai
penghidupan dan kehidupan aman dan tentram dengan taat kepada dan dibawah
pimpinan Tuhan.
Dalam Islam, seperti yang
dikemukakan oleh Ibnu Arabi, tujuan Negara adalah agar manusia bisa menjalankan
kehidupannya dengan baik, jauh dari sengketa dan menjaga intervensi pihak-pihak
asing.
Dalam konteks Negara Indonesia,
tujuan Negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
2.1.3 Unsur – unsur Negara
Secara global suatu Negara
membutuhkan tiga (3) unsur pokok, yakni rakyat (masyarakat/warganegara),
wilayah dan pemerintah.
a.
Rakyat (masyarakat/warga Negara)
Unsur rakyat ini sangat penting
dalam sebuah Negara, karena secara kongkret rakyatlah yang memiliki kepentingan
agar Negara itu dapat berjalan dengan baik.
b. Wilayah Pulau : 20.356.000
Secara mendasar wilayah dalam sebuah
Negara biasanya mencakup ±8.000.000 daratan (wilayah darat), ±18.500.000 km2
(wilayah laut/perairan) dan udara (wilayah udara)
c. Pemerintah
Pemerintah adalah alat kelengkapan
Negara yang bertugas memimpin organisasi Negara untuk mencapai tujuan Negara
oleh Karenanya. Pemerintah seringkali menjadi personifikasi sebuah Negara.
2.1.4 Beberapa Teori tentang terbentuknya Negara
a. Teori
kontrak sosial (social contract)
Teori ini beranggapan bahwa Negara
dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat. Beberapa pakar penganut
teori kontrak sosial yang menjelaskan teori asal-mula Negara, diantaranya:
1. Thomas Hobbes
(1588-1679)
Menurutnya
syarat membentuk Negara adalah dengan mengadakan perjanjian bersama
individu-individu yang tadinya dalam keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan
semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada seseorang atau sebuah badan.
Tekhnik perjanjian masyarakat yang dibuat Hobbes sebagai berikut setiap
individu mengatakan kepada individu lainnya bahwa “Saya memberikan kekuasaan
dan menyerahkan hak memerintah kepada orang ini atau kepada orang-orang yang
ada di dalam dewan ini dengan syarat bahwa saya memberikan hak kepadanya dan
memberikan keabsahan seluruh tindakan dalam suatu cara tertentu.
2. John locke
(1632-1704)
Dasar
kontraktual dan Negara dikemukakan Locke sebagai peringatan bahwa kekuasaan
penguasa tidak pernah mutlak tetapi selalu terbatas, sebab dalam mengadakan
perjanjian dengan seseorang atau sekelompok orang, individu-individu tidak
menyerahkan seluruh hak-hak alamiah mereka.
3. Jean
Jacques Rousseau (1712-1778)
Keadaan
alamiah diumapamakannya sebagai keadaan alamiah, hidup individu bebas dan
sederajat, semuanya dihasilkan sendiri oleh idividu dan individu itu puas.
Menurut “Negara” atau “badan korporatif” dibentuk untuk menyatakan “kemauan
umumnya” (general will) dan ditujukan pada kebahagiaan besama. Selain itu
Negara juga memperhatikan kepentingan-kepentingan individual (particular
interest). Kedaulatannya berada dalam tangan rakyat melalui kemauan umumnya.
b. Teori
Ketuhanan
Negara dibentuk oleh Tuhan dan
pemimpin-pemimpin Negara ditunjuk oleh Tuhan Raja dan pemimpin-pemimpin Negara
hanya bertanggung jawab pada Tuhan dan tidak pada siapapun.
c. Teori
kekuatan
Negara yang pertama adalah hasil
dominasi dari komunikasi yang kuat terhadap kelompok yang lemah, Negara
terbentuk dengan penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan dan pendudukan
dari suatu kelompok etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah,
dimulailah proses pembentukan Negara.
d. Teori
Organis
Negara dianggap atau disamakan
dengan makhluk hidup, manusia atau binatang individu yang merupakan
komponen-komponen Negara dianggap sebagai sel-sel dari makhluk hidup itu.
Kehidupan corporal dari Negara dapat disamakan sebagai tulang belulang manusia,
undang-undang sebagai urat syaraf, raja (kaisar) sebagai kepala dan para
individu sebagai daging makhluk itu.
e. Toeri
Historis
Teori ini menyatakan bahwa lembaga-lambaga sosial
tidak dibuat, tetapi tumbuh secara evolusioner sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan manusia.
2.1.5 Bentuk – bentuk Negara
Bentuk
Negara dalam konsep dan teori modern saat ini terbagi dalam kedua bentuk
Negara, yakni Negara kesatuan (unitarisme) dan Negara serikat (federasi)
a.
Negara kesatuan
Negara
kesatuan merupakan bentuk suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Dengan satu
pemerintah yang mengatur seluruh daerah.
Negara kesatuan ini terbagi 2 macam, yaitu:
1. Negara kesatuan dengan system
sentralisasi yaitu urusan Negara langsung diatur oleh pemerintah pusat
2. Negara kesatuan dengan system
desentralisasi yakni kepala daerah sebagai pemerintah daerah.
b. Negara
serikat
Kekuasaan
asli dalam Negara federasi merupakan tugas Negara bagian, karena ia berhubungan
dengan rakyatnya, semetara Negara federasi bertugas untuk menjalankan hubungan
luar negeri. Pertahanan Negara. Keuangan dan urusan pos.
Selain kedua bentuk Negara tersebut.
Bentuk Negara ke dalam tiga kelompok yaitu:
1. Monarki
Negara
monarki adalah bentuk Negara yang dalam pemerintahannya hanya dikuasai dan
diperintah (yang berhak memerintah) oleh satu orang saja.
2.
Oligarki
Oligarki ini
biasanya diperintah dari kelompok orang yang berasal dari kalangan feudal.
3. Demokrasi
Rakyat
memiliki kekuasaan penuh dalam menjalankan pemerintahan.
2.2 Kekuasaan
Menguraikan konsep kekuasaan politik kita perlu melihat
pada kedua elemennya, yakni kekuasaan dari akar kata kuasa dan politik yang berasal dari bahasa Yunani Politeia (berarti kiat
memimpin kota (polis).
Sedangkan kuasa dan kekuasaan kerap dikaitkan dengan kemampuan untuk membuat
gerak yang tanpa kehadiran kuasa (kekuasaan) tidak akan terjadi, misalnya kita
bisa menyuruh adik kita berdiri yang tak akan dia lakukan tanpa perintah kita
(untuk saat itu) maka kita memiliki kekuasaan atas adik kita. Kekuasaan politik
dengan demikian adalah kemampuan untuk membuat masyarakat dan negara membuat
keputusan yang tanpa kehadiran kekuasaan tersebut tidak akan dibuat oleh
mereka.
Bila seseorang, suatu organisasi,
atau suatu partai politik bisa mengorganisasi sehingga berbagai badan negara
yang relevan misalnya membuat aturan yang melarang atau mewajibkan suatu hal
atau perkara maka mereka mempunyai kekuasaan politik.
Variasi yang dekat dari kekuasaan
politik adalah kewenangan (authority),
kemampuan untuk membuat orang lain melakukan suatu hal dengan dasar hukum atau
mandat yang diperoleh dari suatu kuasa. Seorang polisi yang bisa menghentian
mobil di jalan tidak berarti dia memiliki kekuasaan tetapi dia memiliki
kewenangan yang diperolehnya dari UU Lalu Lintas, sehingga bila seorang
pemegang kewenangan melaksankan kewenangannya tidak sesuai dengan mandat
peraturan yang ia jalankan maka dia telah menyalahgunakan wewenangnya, dan
untuk itu dia bisa dituntut dan dikenakan sanksi.
Sedangkan
kekuasaan politik, tidak berdasar dari UU tetapi harus dilakukan dalam kerangka
hukum yang berlaku sehingga bisa tetap menjadi penggunaan kekuasaan yang
konstitusional.
Kekuasaan adalah
kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan
kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak
boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk
memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari
pelaku (Miriam Budiardjo,2002) atau Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi
pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang
memengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).
2.2.1 Sudut
Pandang Kekuasaan
a. Kekuasaan bersifat Positif
Kemampuan yang dianugerahkan oleh
Tuhan kepada individu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dapat
memengaruhi dan mengubah pemikiran orang lain atau kelompok untuk melakukan
suatu tindakan yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan sungguh-sungguh
dan atau bukan karena paksaan baik secara fisik maupun mental.
b. Kekuasaan bersifat Negatif
Merupakan sifat atau watak dari
seseorang yang bernuansa arogan, egois, serta apatis dalam memengaruhi orang
lain atau kelompok untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh pemegang kuasa
dengan cara paksaan atau tekanan baik secara fisik maupun mental. Biasanya
pemegang kekuasaan yang bersifat negatif ini tidak memiliki kecerdasan
intelektual dan emosional yang baik,mereka hanya berfikir pendek dalam
mengambil keputusan tanpa melakukan pemikiran yang tajam dalam mengambil suatu
tindakan, bahkan mereka sendiri kadang-kadang tidak dapat menjalankan segala
perintah yang mereka perintahkan kepada orang atau kelompok yang berada di
bawah kekuasannya karena keterbatasan daya pikir tadi. dan biasanya kekuasaan
dengan karakter negatif tersebut hanya mencari keuntungan pribadi atau golongan
di atas kekuasannya itu. karena mereka tidak memiliki kemampuan atau modal
apapun selain kekuasaan untuk menghasilkan apapun, dan para pemegang kekuasaan
bersifat negatif tersbut biasanya tidak akan berlangsung lama karena tidak akan
mendapatkan dukungan sepenuhnya oleh rakyatnya.
Di negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah ditangan
rakyat, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai partai politik berusaha
untuk merebut konstituen dalam masa pemilu. Partai
politik selanjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam
lembaga legislatif. Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung seperti
yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 maka calon anggota legislatif
dipilih langsung oleh rakyat.
2.2.2 Legitimasi
Kekuasaan
Dalam pemerintahan mempunya makna
yang berbeda: "kekuasaan" didefinisikan sebagai "kemampuan untuk
memengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bila tidak dilakukan",
akan tetapi "kewenangan" ini akan mengacu pada klaim legitimasi,
pembenaran dan hak untuk melakukan kekuasaan. Sebagai contoh masyarakat
boleh jadi memiliki kekuatan untuk menghukum para kriminal dengan hukuman mati
tanpa sebuah peradilan sedangkan orang-orang yang beradab percaya pada aturan
hukum dan perundangan-undangan dan menganggap bahwa hanya dalam suatu
pengadilan yang menurut ketenttuan hukum yang dapat memiliki kewenangan
untuk memerintahkan sebuah hukuman mati.
Dalam
perkembangan ilmu-ilmu sosial, kekuasaan telah dijadikan subjek penelitian
dalam berbagai empiris pengaturan, keluarga (kewenangan orangtua),
kelompok-kelompok kecil (kewenangan kepemimpinan informal), dalam organisasi
seperti sekolah, tentara, industri dan birokrat (birokrasi dalam organisasi
pemerintah) dan masyarakat luas atau organisasi inklusif, mulai dari masyarakat
yang paling primitif sampai dengan negara, bangsa-bangsa modern atau organisasi
(kewenangan politik).
2.3 Pengambilan
Keputusan
2.3.1 Definisi
Pengambilan
keputusan adalah suatu proses pemilihan dari berbagai alternatif baik
kualitatif maupun kuantitatif untuk mendapat suatu alternatif terbaik guna
menjawab masalah atau menyelesaikan konflik (pertentangan).
Ada 4 unsur pengambilan keputusan :
a. Modal : Modal
menunjukkan gambaran suatu masalah secara kuantitatif atau kualitatif
b. Kriteria: Kriteria
yang dirumuskan menunjukkan tujuan dari keputusan yang diamtril. Jika terdapat
beberapa kriteria yang saling bertentangan, maka pengambilan keputusan harus
melalui kompromi (misalnya menambah jasa langganan dan mengurangi persediaan,
maka keputusan mana yang diambil perlu kompromi).
c. Pembatas;
Faktor-faktor tambahan yang perlu diperhatikan dalam memecahkan masalah
pengambilan keputusan. Misalnya dana yang kurang tersedia.
d. Optimalisasi:
Apabila masalah keputusan telah diuraikan dengan sejelas- jelasnya (modal),
maka manajer menentukan apa yang diperlukan (kriteria) dan apa yang
diperbolehkan (pembatas).
2.3.2 Jenis
pengambilan keputusan
Terdapat dua jenis pengambilan keputusan, yaitu:
a. Pengambilan keputusan
terprogram.
Pengambilan
keputusan terprogram : Jenis pengambilan keputusan ini.mengandung suatu respons
otomatik terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Masalah yang bersifat pengulangan dan rutin dapat diselesaikan dengan
pengambilan keputusan jenis ini. Tantangan yang besar bagi seorang analis
adalah mengetahui jenis-jenis keputusan ini dan memberikan atau menyediakan
metode-metode untuk melaksanakan pengambilan keputusan yang terprogram di mana
saja.
b. Pengambilan keputusan tidak terprogram
Pengambilan
keputusan tidak terprogram: menunjukkan proses yang berhubungan dengan
masalah'masalah yang tidak jelas. Dengan kata lain, pengambilan keputusan jenis
ini meliputi proses- proses pengambilan keputusan untuk menjawab
masalah-masalah yang kurang dapat didefinisikan. Masalah-masalah ini umumnya
bersifat kompleks, hanya sedikit parameter'parameter yang diketahui dan
kebanyakan parameter yang diketahui bersifat probabilistik. Untuk menjawab
m'asalah ini diperlukan seluruh bakat dan keahlian dari pengambilan keputusan,
ditambah dengan bantuan sistem infofmasi. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan
keputusan tidak terprogram dengan baik.
2.3.3 Pandangan
terhadap pengambilan keputusan
Pandangan
terhadap pengambilan keputusan adalah bahwa proses ini merupakan proses
penggunaan informasi yang rasional, bukan proses yang emosional, Dalam hal ini,
kesukaran-kesukaran dalam pengambilan keputusan dapat dikaitkan kepada:
a. Informasi
yang tidak cukup dan
b. Maksud dan
tujuan yang tidak dispesifikasikan secara jelas.
Untuk
maksud klasifikasi, maka pada dasarnya ada tiga (3) tingkat pengambilan
keputusan.
a. Pengambilan
keputusan tingkat strategis dicirikan oleh sejumlah besar ketidak pastian dan
berorientasi ke masa depan. Keputusan-keputusan ini menetapkan rencana jangka
panjang yang akan mempengaruhi keseluruhan organisasi. Pengambilan keputusan
tingkat strategis misalnya perluasan Rumah Sakit, penggabungan, penggolongan, pengeluaran
modal dan sebagainya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa strategi yang
diputuskan itu berhubungan dengan perencanaan jangka panjang dan meliputi
penentuan tujuan, penentuan kebijaksanaan, pengorganisasian, dan pencapaian
keberhasilan organisasi secara keseluruhan.
b. Pengambilan
keputusan tingkat taktis. Pengambilan keputusan taktis berhubungan dengan
kegiatan jangka pendek dan penentuan sumber daya untuk mencapai tujuan. Jenis
pengambilan keputusan ini berhubungan dengan bidang-bidang seperti perumusan
anggaran, analisis aliran dana, perluasan ruang perawatan, masalah perawat,
perbaikan Sarana dan prasarana serta penelitian dan pengembangan. Bila
pengambilan keputusan strategis sebagian besar mengandung kegiatan perencanaan
yang menyeluruh, pengambilan keputusan taktis memerlukan gabungan dari kegiatan
perencanaan dan pengawasan. Jenis keputusan ini memiliki potensi yang kecil
untuk melaksanakan pengambilan keputusan terprogram.
c.
Pengambilan keputusan tingkat
teknis. Pada tingkat teknis, standar-standar ditentukandan output bersifat
deterministik (sifatnya menentukan). Pengambilan keputusan teknis adalah suatu
proses yang dapat menjamin bahwa tugas-tugas spesifik dapat dilaksanakan dalam
cara efektif dan efisien. Tingkat ini lebih ditekankan pada fungsi pengawasan
dan sedikit sekali fungsi perencanaan. Pada tingkat ini pengambilan keputusan
terprogram dapat dilaksanakan. Contoh jenis pengambilan keputusan ini adalah
penerimaan atau penolakan kerjasama dibidang kesehatan, pengendalian proses,
penentuan waktu, penerimaan tenaga perawat, pengiriman tenaga perawat untuk
disekolahkan, pengawasan inventaris dan penempatan tenaga perawat.
2.4 Kebijakan Umum
2.4.1 Tahap – tahap pembuatan kebijakan publik
Tahap
– tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut :
a. Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase
dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses
inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan
prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil
mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam
agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik
yang lebih daripada isu lain.
Karakteristik : Para pejabat yang
dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah
tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
Ilustrasi : Legislator negara dan
kosponsornya menyiapkan rancangan undang-undang mengirimkan
ke Komisi Kesehatan
dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite
dan tidak terpilih.
Penyusunan agenda kebijakan
seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga
keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat
urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
b. Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam
agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat
kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan
masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai
alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu
masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan
masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang
diambil untuk memecahkan masalah.
c. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk
memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi
dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan
mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan
pemerintah yang sah. Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi -
cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang
membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi. Legitimasi dapat dikelola
melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang
belajar untuk mendukung pemerintah.
d. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai
kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup
substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai
suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan
pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan.
Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan
masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan
masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
2.4.2 Pembuatan
Kebijakan dalam Kesehatan dan Keperawatan
a. Kontroversi
Strategi Pendidikan Keperawatan di Era Globalisasi.
Profesionalisme keperawatan
merupakan proses dinamis dimana profesi keperawatan yang telah terbentuk
mengalami perubahan dan perkembangan karakteristik sesuai dengan tuntutan
profesi dan kebutuhan masyarakat. Proses profesionalisasi merupakan proses
pengakuan terhadap sesuatu yang dirasakan, dinilai dan diterima secara spontan
oleh masyarakat. Profesi keperawatan, profesi yang sudah mendapatkan pengakuan
dari profesi lain, dituntut untuk mengembangkan dirinya untuk berpartisipasi
aktif dalamsistem pelayanan kesehatan di Indonesia agar keberadaannya mendapat
pengakuan dari masyarakat. Untuk mewujudkan pengakuan tersebut, maka perawat
masih memperjuangkan langkah-langkah profesionalisme sesuai dengan keadaan dan
lingkungan social di Indonesia. Proses ini merupakan tantangan bagi perawat
Indonesia dan perlu dipersiapkan dengan baik, berencana, berkelanjutan dan
tentunya memerlukan waktu yang lama.
Institusi pendidikan keperawatan
sangat bertanggung jawab dan berperan penting dalam rangka melahirkan generasi
perawat yang berkwalitas dan berdedikasi. Sejalan dengan berkembangnya
institusi pendidikan keperawatan di Indonesia semakin bertambah jumlahnya.
Motivasi dari pendirian institusi pendidikan keperawatanpun sangat bervariasi
dari alasan “Bisnis” sampai dengan “Sosial”. Dan yang kemudian menjadi
pertanyaan dan keganjilan adalah banyaknya pemilik dan pengelola institusi
pendidikan keperawatan ini yang sama sekali tidak memiliki pemahaman yang cukup
tentang keperawatan baik secara disiplin ilmu atau profesi. Ini menjadi
penyebab rendahnya mutu lulusan dari pendidikan keperawatan yang ada di
Indonesia dan tidak siap untuk bersaing.
b. Disaatnya Perawat Terjun ke Dunia Politik dan mengambil sebuah Kebijakan.
Akhir – akhir ini banyak masalah yang melanda profesi
keperawatan ini berkaitan dengan tidak adanya seseorang perawat yang menjadi
pemegang kebijakan baik di eksekutif maupun legislative.disamping itu juga
disinggung mengenai undang – undang keperawatan yang sampai kini belum juga
terselesaikan karena tidak adanya keterwakilan seorang perawat dalam posisi
tersebut.
Arti politik secara umum adalah proses pembentukan dan
pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan
keputusan, khususnya dalam Negara. Disebutkan juga bahwa politik adalah seni
dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Dalam teori politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain melakukan
sesuatu yang tidak dikehendakinya.
Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan
perundang-undangan dan perangkat structural yang akan terus mendorong
terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena
diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang sesungguhnya baru bias
dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh Negara
untuk bias teraktualisasikan, saat tiap individu lain sesuai dengan normadan
hukum yang berlaku.
Dari hal tersebut, perawat yang merupakan bagian dari insan
perpolitikan di Indonesia juga berhak dan berkewajiban ikut serta dan mengambil
sebuah kekuasaan demi terwujudnya regulasi profesi keperawatan yang nyata. Dari
hal tersebut juga terlihat bahwa perawat dapat memperjuangkan banyak hal
terkait dengan umat maupun nasib perawat itu sendiri.
Pentingnya dunia politik bagi profesi keperawatan adalah
bahwasanya dunia politik bukanlah dunia yang asing, namun terjun dan berjuang
bersamanya mungkin akan terasa asing bagi profesi keperawatan. Hal ini
ditunjukkan belum adanya keterwakilan seorang perawat dalam kancah perpolitikan
Indonesia.
2.5 Pembagian
2.5.1 Pembagian
Kekuasaan
Sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, tidak menganut suatu sistem
negara manapun, tetapi adalah suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa
indonesia, namun sistem ketatanegaraan Republik indonesia tidak terlepas dari
ajaran Trias Politica Montesquieu. Ajaran trias politica tersebut adalah ajaran
tentang pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga yaitu Legislatif, Eksekutif,
dan Judikatif yang kemudian masing-masing kekuasaan tersebut dalam
pelaksanaannya diserahkan kepada satu badan mandiri, artinya masing-masing
badan itu satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi dan tidak dapat saling
meminta pertanggung jawaban.
Apabila
ajaran trias politika diartikan suatu ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas
Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran tersbut, oleh karena memang dalam UUD
1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara
tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara.
Susunan
organisasi negara adalah alat-alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga
negara yang diatur dalam UUD 1945 baik baik sebelum maupun sesudah perubahan.
Susunan organisasi negara yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan yaitu :
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Pertimbagan Agung (DPA),
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkmah Agung
(MA)
Badan-badan
kenegaraan itu disebut lembaga-lembaga Negara. Sebelum perubahan UUD 1945
lembaga-lembaga Negara tersebut diklasifikasikan, yaitu MPR adalah lembaga
tertinggi Negara, sedangkan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya seperti
presiden, DPR, BPK, DPA dan MA disebut sebagai lembaga tinggi Negara.
Sementara
itu menurut hasil perubahan lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam UUD 1945
adalah sebagai berikut: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Mahkmah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK).
Secara
institusional, lembaga-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri
sendiri yang satu tidak merupakan bagian dari yang lain. Akan tetapi, dalam
menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga Negara tidak terlepas atau
terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain, hal itu menunjukan bahwa UUD
1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan.
2.5.2 Pembagian
Kekuasaan Antara Pusat dan Daerah
Pembagian
kekuasaan antara Pusat dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan
tetapi dengan semangat federalisme. Jenis kekuasaan yang ditangani Pusat hampir
sama dengan yang ditangani oleh Pemerintah di negara federal, yaitu hubungan
luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan agama, serta
berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh
Pusat, seperti kebijakan makro ekonomi, standarisasi nasional, administrasi
pemerintahan, badan usaha milik negara, dan pengembangan sumberdaya manusia.
Semua jenis kekuasaan yang ditangani Pusat disebutkan secara spesifik dan
limitatif dalam UU tersebut. Dalam RUU Pemda yang diajukan Pemerintah, agama
termasuk yang diserahkan kepada daerah otonom sebagai bagian dari otonomi
daerah. Namun MUI menyampaikon keberatan kepada DPR dan mendesak DPR dan
Pemerintah untuk tetap menempatkan urusan agama pada Pusat dengan alasan kuatir
akan muncul daerah agama.
Karena
disamping daerah otonom propinsi juga merupakan daerah administratif, maka
kewenangan yang ditangani propinsi/gubernur akan mencakup kewenangan dalam
rangka desentralisasi dan dekonsentrasi. Kewenangan yang diserahkan kepada
Daerah Otonom Propinsi dalam rangka desentralisasi mencakup :
a. Kewenangan yang bersifat lintas
Kabupaten dan Kota, seperti kewenangan dalam bidang pekerjaan umum, perhubungan,
kehutanan, dan perkebunan;
b. Kewenangan pemerintahan lainnya,
yaitu perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan
bidang alokasi sumberdaya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah
Propinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup,
promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular, dan perencanaan
tata ruang propinsi;
c. Kewenangan kelautan yang
meliputi eksplorasi, eksploatasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut,
pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum,
dan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara, dan
d. Kewenangan yang tidak atau belum
dapat ditangani daerah kabupaten dan daerah kota dan diserahkan kepada propinsi
dengan pernyataan dari daerah otonom kabupaten atau kota tersebut.
Bila
dicermati secara seksama, maka tampaknya kriteria yang digunakan dalam
menentukan jenis kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom propinsi lebih
didasarkan pada kriteria efisiensi daripada kriteria politik. Artinya, jenis
kewenangan yang dipandang lebih efisien, diselenggarakan oleh propinsi daripada
pusat ataupun kabupaten/kota. Sudah barang tentu dengan kekecualian bagi
kewenangan yang diserahkan kepada propinsi khusus dan istimewa. Dari segi tujuan
yang dicapai dengan otonomi daerah (jenis dan jumlah kewenangan) tersebut,
tampaknya pertumbuhan ekonomi dan penyediaan infrastruktur lebih menonjol
sebagai sasaran yang akan dicapai daripada peningkatan pelayanan publik
kebutuhan dasar dan kesejahteraan rakyat. Kecuali bila pertumbuhaan ekonomi ini
memang diarahkan pada penciptaan kesempatan kerja. Peningkatan kesejahteraan
rakyat mungkin akan ditangani propinsi, semata-mata karena daerah otonom
kabupaten dan daerah otonom kota belum mampu, atau karena dilimpahkan pusat
kepada propinsi. Akan tetapi seperti dikemukakan pada awal tulisan ini,
pekerjaan yang layak dari segi jenis dan penghasilan bagi penduduk yang berumur
kerja merupakan kunci kesejahteraan sosial. Karena itu daerah otonom propinsi
hendaknya mengarahkan pertumbuhan ekonomi kepada penciptaan kesempatan kerja
tersebut.
Desentralisasi
kekuasaan kepada daerah disusun berdasarkan pluralisme daerah otonom dan
pluralisme otonomi daerah. Daerah otonom tidak lagi disusun secara bertingkat
(Dati I, Dati II, dan Desa sebagai unit administrasi pemerintahan terendah)
seperti pada masa Orde Baru melainkan dipilah menurut jenisnya, yaitu daerah
otonom propinsi, daerah otonom kabupaten, daerah otonom kota, dan kesatuan
masyarakat adat (desa atau nama lain) sebagai daerah otonom asli. Jenis dan
jumlah tugas dan kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom (otonomi
daerah) tidak lagi bersifat seragam seluruhnya melainkan hanya yang bersifat
wajib saja yang sama sedangkan kewenangan pilihan diserahkan sepenuhnya kepada
daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota untuk memilih jenis dan waktu
pelaksanaannya. Perbedaan daerah otonom kabupaten/kota dengan daerah otonom
kabupaten/kota lainnya tidak saja terletak pada jenis kewenangan pilihan yang
ditanganinya tetapi juga jenis kewenangan wajib yang mampu ditanganinya karena
bila belum mampu menanganinya maka jenis kewenangan itu buat sementara dapat
diurus oleh propinsi.
Perbedaan
setiap daerah otonom propinsi terletak pada apakah propinsi itu daerah
khusus/istimewa ataukah biasa, dan apakah terdapat kabupaten atau kota yang
berada dalam wilayah propinsi itu yang belum mampu menangani semua jenis
kewenangan wajib tersebut. Di Indonesia dikenal tiga propinsi yong berstatus
khusus, yaitu DKI Jakarta (khusus karena ibukota negara), Daerah Istimewa Aceh
(dalam hal sejarah, adat istiadat dan agama), dan Daerah Istimewa Yogyakarta
(dalam hal sejarah dan kepeminpinan daerah). Bila bercermin pada kemampuan
kabupaten dan kota yang terdapat pada sejumlah propinsi di Indonesia dewasa
ini, maka untuk beberapa propinsi tersebut seharusnya diberi kewenangan yang
lebih besar daripada kabupaten dan kota. Propinsi Irian Jaya, Kalimantan
Tengah, dan Riau mungkin termasuk kedalam kategori ini, sedangkan semua
propinsi di Jawa, Sumut, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara misalnya yang
hampir semua kabupaten/kotanya sudah memiliki kemampuan di atas rata-rata tetap
mengikuti UU tersebut (kewenangan kabupaten dan kota lebih banyak daripada
propinsi). Akan tetapi pluralisme otonomi daerah seperti ini rupanya dinilai
terlalu kompleks sehingga tidak diadopsi dalam UU Pemerintahan Daerah tersebut.
Dalam
rangka negara kesatuan, Pemerintah Pusat masih memiliki kewenangan melakukan
pengawasan terhadap daerah otonom. Tetapi pengawasan yang dilakukan pusat
terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah otonom yang lebih
besar, atau sebaliknya, sehingga terjadi semacam keseimbangan kekuasaan.
Pengawasan
ini tidak lagi dilakukan secara struktural, yaitu bupati dan gubernur bertindak
sebagai wakil Pusat sekaligus kepala daerah otonom, dan tidak lagi secara
preventif perundang-undangan, yaitu setiap Perda memerlukan persetujuan Pusat
untuk dapat berlaku. Menurut UU baru ini, bupati dan walikota sepenuhnya
menjadi kepala daerah otonom yang dipilih oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD
dan dapat diberhentikan oleh DPRD pada masa jabatannya tetapi penetapan ataupun
pemberhention kepala daerah secara administratif (pembuatan Surat Keputusan)
masih diberikan kepada Presiden. Gubernur pada pihak lain masih merangkap
sebagai wakil Pusat dan kepala daerah otonom, tetapi UU baru ini menetapkan
kewenangan Pusat dan kewenangan DPRD untuk mengontrol gubemur secara seimbang.
Pengawasan Pusat terhadap daerah otonom menurut UU baru ini dilakukan
berdasarkan supremasi hukum. Artinya, setiap Perda yang dibuat oleh DPRD dan
Kepala Daerah langsung dapat berlaku tanpa memerlukan persetujuan Pemerintah.
Akan
tetapi Pusat setiap saat dapat menunda atau membatalkannya bila Perda itu
dinilai bertentangan dengan Konstitusi, UU dan kepentingan umum.
Sebaliknya, bila daerah otonom (DPRD dan Kepala Daerah) menilai justru tindakan Pusat menunda atau membatalkan itulah yang bertentangan dengan Konstitusi, UU atau kepentingan umum, maka daerah otonom dapat mengajukan gugatan/keberatan kepada Mahkamah Agung untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Pusat dan daerah otonom harus patuh kepada keputusan MA.
Sebaliknya, bila daerah otonom (DPRD dan Kepala Daerah) menilai justru tindakan Pusat menunda atau membatalkan itulah yang bertentangan dengan Konstitusi, UU atau kepentingan umum, maka daerah otonom dapat mengajukan gugatan/keberatan kepada Mahkamah Agung untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Pusat dan daerah otonom harus patuh kepada keputusan MA.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Definisi
Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan
kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah dengan berdasarkan system hukum
yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberikan
kekuasaan memaksa.
Beberapa
pendapat mengemukakan tentang tujuan sebuah Negara mulai dari Plato, Roger H.
Soltau, Konsep Teokratis, Ibnu Arabi sampai dengan Kontes Negara Indonesia itu
sendiri yang telah tertuang daam Pembukaan Undang – undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945. Namun secara umum Tujuan sebuah Negara dapat
bermacam-macam, antara lain: Memperluas kekuasaan, Menyelenggarakan ketertiban
hukum, Mencapai kesejahteraan hukum. Sementara unsur-unsur Negara itu sendiri adalah Rakyat atau
Masyarakat, Wilayah dan Pemerintah.
Menguraikan
konsep kekuasaan politik kita
perlu melihat pada kedua elemennya, yakni kekuasaan dari akar kata kuasa dan politik yang berasal dari bahasa Yunani Politeia (berarti kiat
memimpin kota (polis).
Sedangkan kuasa dan kekuasaan kerap dikaitkan dengan kemampuan untuk membuat
gerak yang tanpa kehadiran kuasa (kekuasaan) tidak akan terjadi, misalnya kita
bisa menyuruh adik kita berdiri yang tak akan dia lakukan tanpa perintah kita
(untuk saat itu) maka kita memiliki kekuasaan atas adik kita. Kekuasaan politik
dengan demikian adalah kemampuan untuk membuat masyarakat dan negara membuat
keputusan yang tanpa kehadiran kekuasaan tersebut tidak akan dibuat oleh
mereka.
Pengambilan
keputusan adalah suatu proses pemilihan dari berbagai alternatif baik
kualitatif maupun kuantitatif untuk mendapat suatu alternatif terbaik guna
menjawab masalah atau menyelesaikan konflik (pertentangan). Ada 4 unsur pengambilan keputusan :
Modal, Kriteria, Pembatas, Optimalisasi. Sementara jenis keputusan itu sendiri terbagi
atas 2 jenis, Yakni : Pengambilan keputusan terprogram dan pengambilan
keputusan tidak terprogram.
Tahap – tahap kebijakan publik
menurut William Dunn adalah sebagai berikut : Penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi/legitimasi kebijakan dan penilaian/evaluasi kebijakan. Ada beberapa
Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974;
Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya: Telah
mencapai titik kritis tertentu à jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang
serius, Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak dramatis,
Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak (umat manusia) dan
mendapat dukungan media massa, Menjangkau dampak yang amat luas,
Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat , Menyangkut
suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan
kehadirannya)
Sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, tidak menganut suatu sistem
negara manapun, tetapi adalah suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa
indonesia, namun sistem ketatanegaraan Republik indonesia tidak terlepas dari
ajaran Trias Politica Montesquieu. Ajaran trias politica tersebut adalah ajaran
tentang pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga yaitu Legislatif, Eksekutif,
dan Judikatif yang kemudian masing-masing kekuasaan tersebut dalam
pelaksanaannya diserahkan kepada satu badan mandiri, artinya masing-masing
badan itu satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi dan tidak dapat saling
meminta pertanggung jawaban.
3.2 Saran
Dengan
adanya makalah sederhana ini penulis mengharapkan agar para pembaca dan
rekan-rekan Mahasiswa dapat lebih mengenal tentang Negara, tujuan Negara,
Kekuasaan, Pengambilan Keputusan, Kebijakan Umum dan Pembagian Kekuasaan. Serta
hal-hal yang menyangkut masalah yang terkandung dalam Negara.. Tentunya dalam
pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan karna
keterbatasan ilmu yang kami miliki,
untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak agar
dalam pembuatan makalah kedepan akan lebih baik.
0 Response to "Makalah Ilmu Politik Keperawatan"
Posting Komentar