Makalah Memeluk Agama Merupakan HAM Yang Hakiki
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di
Indonesia masalah pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan cukup
banyak terjadi. Pasalnya, berdasarkan catatan akhir tahun 2012 lalu Wahid
institute, yaitu sebuah LSM khusus perlindungan dan penegakan HAM mencatat
sepanjang tahun 2012 lalu terdapat 274 kasus pelanggaran kebebasan beragama.
Koordinator program wahid institute Rumadi Ahmad mengatakan bahwa pelanggaran
terbanyak terjadi pada bulan mei 2012 lalu, sebanyak 30 kasus. Bentuk pelanggaran
yang dilaporkan kepada wahid institute yaitu pembiaran atau kelalaian dari
aparat dalam melindungi tempat peribadahan 33 kasus, pelarangan rumah ibadah 26
kasus, pelarangan aktivitas keagamaan 18 kasus, kriminalisasi keyakinan 17
kasus, pemaksaan keyakinan 12 kasus, dan intimidasi 4 kasus.
Sementara
tahun 2012 lalu, Jawa Barat merupakan provinsi yang paling banyak melakukan
kasus pelanggaran yaitu sebanyak 43 kasus, disusul dengan Aceh 22 kasus, Jawa
Tengah dan Jawa Timur sebanyak 15 kasus. Lebih jauh koordinator program wahid
institute menyebutkan bahwa korban terbanyak dari pelanggaran kebebasan
beragama yaitu umat kristen dan katolik sebanyak 37 kasus, kelompok terduga
sesat 25 kasus, individu 13 kasus, Jamaah Ahmadiyah indonesia 13 kasus dan
pengikut syiah 12 kasus. Tak hanya itu, Ahmadiyah dan Syiah juga menjadi
kelompok yang terus mengalami pelanggaran kebebasan beragama. Khususnya jamaah
Syiah di Sampang yang mana tahun 2012 merupakan tahun terburuk bagi mereka.
Karena
Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi HAM, tapi kenyataannya
masih sering terjadi pelanggaran HAM, seperti pelanggaran kebebasan memeluk
agama dan beribadah maka penulis tertarik untuk membuat makalah dengan judul
”Memeluk Agama Merupakan HAM yang Hakiki”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu Hak Asasi
Manusia?
2. Bagaimana Sejarah HAM?
3. Apa saja Macam-Macam
HAM ?
4. Apa saja Pengakuan
Bangsa Indonesia Akan HAM?
5. Apa saja Upaya
Penegakan HAM di Indonesia?
6. Apa saja Contoh Pelanggaran
HAM?
7. Bagaimanakah hak
memeluk agama di Indonesia?
8. Apakah memeluk agama
merupakan HAM yang Hakiki?
9. Bagaimanakah kebebasan
memeluk agama itu?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Hak
Asasi manusia
2. Untuk mengetahui
sejarah HAM
3. Untuk mengetahui
Macam-macam HAM
4. Untuk mengetahui
Pengakuan Bangsa Indonesia Akan HAM
5. Untuk mengetahui Upaya
Penegakan HAM di Indonesia
6. Untuk mengetahui Contoh
pelanggaran HAM
7. Untuk mengetahui Hak
Memeluk Agama di Indonesia
8. Untuk mengetahui
Memeluk Agama merupakan HAM yang Hakiki
9. Untuk mengetahui
Kebebasan Memeluk Agama
1.4 Metode Penulisan
1. Deskriptif
2. Kajian pustaka
dilakukan dengan mencari literatur di internet dan buku-buku panduan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Hak Asasi Manusia
Hak
merupakan sebuah instrumen yang bersifat hakiki dalam kehidupan manusia,
terlebih lagi hak yang disebut Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan
sebuah komposisi penting bagi dasar kehidupan manusia, dimana kemunculannya
tidak serta merta, melainkan melalui sejarah dan perencanaan yang begitu
panjang dan rumit. Hal ini disebabkan kandungan HAM yang berisi hak pokok bagi
manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan bukan
pemberian semata oleh para penguasa. Jadi, HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak
yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur
hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. HAM merupakan hak dasar yang
melekat dan dimiliki manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
HAM
terbagi menjadi dua proposisi. Yang pertama terdapat hak dasar yang meliputi
hak hidup (tanpa ancaman), hak kebebasan, hak memeluk agama, hak mendapat
informasi, hak berpendapat, hak kepemilikan pribadi serta hak memilih suatu
obyek. Sementara itu terdapat hak yang lebih bersifat yuridis meliputi hak
tidak menjadi budak, hak tidak disiksa, hak persamaan dimuka hukum dan hak
praduga tak bersalah.
2.2 Sejarah HAM
Perwujudan
mengenai konsepsi Hak Asasi Manusia bukanlah suatu hal yang terjadi begitu
saja, namun disertai alur sejarah sebagai latar belakangnya. Para pengamat HAM
menyatakan embrio dari instrument HAM adalah kelahiran Magna Charta pada tahun
1215. Lahirnya Magna Charta didasari oleh ketidakpuasan rakyat terhadap posisi
Raja John di Inggris yang kebal hukum walaupun raja sendiri yang meratifikasi
hadirnya hukum tersebut. Magna Charta pada intinya berisi kewajiban raja untuk
mempertanggungjawabkan kewenangannya pada parlemen. Babak baru inilah yang
menyadarkan masyarakat internasional akan pentingnya kesetaraan dimuka hukum.
Lahirnya
Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkrit dan
ditandai dengan kemunculan Bill of Rights pada tahun 1689. Bill of Rights
adalah suatu Undang-Undang yang diterima oleh parlemen Inggris sesudah berhasil
dalam tahun sebelumnya mangadakan perlawanan terhadap Raja James II dalam suatu
revolusi berdarah yang dikenala dengan istilah The Glorious Revolution of 1688.
Kehadiran Bill of Rights telah menghasilkan asas persamaan yang harus
diwujudkan walaupun risikonya terlalu berat. Hal ini disebabkan adanya hak
persamaan itu yang akan melahirkan hak kebebasan. Bill of Rights dipelopori
oleh teori kontrak sosial dari J.J. Rosseau, doktrin Trias Politika oleh
Mountesquieu dan John Locke serta Thomas Jefferson yang mengukuhkan kedua
gagasan tersebut. Selanjutnya pada tahun 1789 lahir Declaration des Droits
de Phomme et du citoyen atau yang sering disebut The French Declaration.
Deklarasi ini berisi tentang pernyataan hak-hak manusia dan warga Negara.
Deklarasi ini merupakan suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan revolusi
Perancis, sebagai perlawanan terhadap kewenangan rezim lama. Dalam naskah ini
dijelaskan secara lebih rinci tentang hak dan dasar-dasar negara hukum.
Salah satu konsep yang ditekankan dalam deklarasi ini adalah adanya praduga tak
bersalah.
Dan
konsepsi terakhir yang terbilang sebagai pencetus HAM adalah Bill of Rights
tahun 1769. Naskah ini ditulis oleh rakyat Amerika dan kemudian menjadi bagian
dari Undang-Undang Dasar 1791. Setelah munculnya berbagai naskah yang
menguatkan konsep HAM, pada abad ke-20 muncul kritik bahwa HAM yang digambarkan
selama ini masih mencakup bidang politik saja. Untuk itu akhirnya dibentuk
Dewan Komisi di PBB yang disebut Comission of Human Rights pada tahun 1946
untuk melengkapi HAM yang sifatnya politik, sosial dan ekonomi. Hak politik
yang ditetapkan antara lain adalah hak hidup (tanpa ancaman), hak kebebasan,
hak memeluk agama, hak mendapat informasi, hak berpendapat, hak kepemilikan
pribadi serta hak memilih suatu obyek, hak tidak menjadi budak, hak tidak
disiksa, hak persamaan dimuka hukum dan hak praduga tak bersalah. Sementara itu
terdapat tambahan HAM yang bersifat sosial ekonomi yaitu hak atas pekerjaan,
hak atas taraf hidup yang baik, hak atas pendidikan dan kesehatan, serta hak
pelestarian kebudayaan. Bila diamati, sejarah perkembangan HAM terdapat empat
generasi yang menjadi langkah terbentuknya HAM secara utuh. Generasi pertama
berpandangan bahwa HAM berpusat pada area yuridis karena dilatarbelakangi
usainya Perang Dunia II yang merenggut kemerdekaan negara jajahan yang haknya
dilanggar. Dari sini lahir Convention on the Prevention and Punishment of
the Crime of Genoside. Generasi kedua mengkaji perkembangan negara dunia
ketiga yang menuntut lebih dari hak-hak yuridis sebagai konsekuensi
kemerdekaan. Mereka menuntut pembangunan sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Namun nyata terjadi ketidakseimbangan karena politik dan hukum diabaikan. Dari
sini lahir International Convenant of Economic, Social and Cultural Rights
dan International Covenant on Civil and Political Rights. Generasi
selanjutnya berusaha menyeimbangkan ketimpangan pada generasi sebelumnya. Namun
nyatanya, tidak ada negara yang mampu memenuhi tuntutan tersebut karena ekonomi
masih menjadi satu aspek terpenting. Generasi terakhir melayangkan kritik
kepada peranan negara yang teramat dominan dari generasi sebelumnya. Generasi
ini dipelopori oleh negara kawasan Asia yang pada tahun 1983 mencetuskan Declaration
of The Basic Duties of Asia People and Government dimana deklarasi ini
lebih menekankan keharusan untuk menyelenggarakan HAM dan menjadi tanggung
jawab perorangan.
Dampak
perkembangan HAM juga ditampakkan dalam ajaran Agama Islam karena sifatnya yang
universal sehingga melahirkan dua deklarasi. Yang pertama adalah Deklarasi
Madinah pada tahun 622 M mengenai kesepakatan masyarakat Madinah untuk
melindungi dan menjamin hak-hak sesama warga warga masyarakat tanpa melihat
latar belakang, suku, dan agama. Piagam Madinah ini dideklarasikan Rasulullah
pada tahun 622 M, merupakan kesepakatan-kesepakatan tentang aturan-aturan yang
berlaku bagi masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi. Terdapat dua landasan
pokok dalam piagam Madinah, yaitu yang pertama semua pemeluk Islam adalah
satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa. Kedua, hubungan antara komunis
Muslim dan non-muslim didasarkan pada prinsip yakni berinteraksi secara baik dengan
sesama tetangga, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka
yang teraniaya, saling menasehati, dan menghormati kebebasan beragama. Piagam
ini bersifat revolusioner, karena menentang tradisi kesukuan Arab saat itu,
tidak ada unsur dominan di dalam suatu kelompok atau suku. Jadi dalam piagam
ini sangat ditekankan asas kesamaan dan kesetaraan.
Deklarasi yang kedua adalah
Deklarasi Kairo. Pada tanggal 5 Agustus 1990 Organization of Islamic
Conference (OKI) mengeluarkan deklarasi tentang kemanusiaan sesuai
syariat Islam di Kairo. Konsep hak-hak asasi manusia hasil rumusan
Negara-negara OKI ini selanjutnya dikenal sebagai deklarasi Kairo, berisi 24
pasal tentang hak asasi manusia berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah yang dalam
penerapan dan realitasnya memiliki beberapa persamaan dengan pernyataan semesta
hak-hak asasi manusia yang dideklarasikan oleh PBB pada tahun 1948. Pasal-pasal
yang terdapat dalam deklarasi Kairo mencakup beberapa persoalan pokok, antara
lain hak persamaan dan kebebasan, hak hidup, hak memperoleh perlindungan, hak
kehormatan pribadi, hak menikah dan berkeluarga, hak wanita sederajat dengan
pria, hak anak dari orang tua, ahak pendidikan dan hak memilih agama. Hak bukan
sebuah hal tabu dan perlu dipermasalahkan. Nyatanya dunia telah mengakui adanya
hak sebagai sifat yang fitrah pada kehidupan manusia dan perlunya kesadaran
untuk melaksanakannya sebagai keharusan.
2.3 Macam-Macam HAM
Macam-macam
HAM yaitu sebagai berikut :
1. Hak asasi
pribadi(personal right) misal hak kemerdekaan, hak menyatakan pendapat, hak
memeluk agama.
2. Hak asasi ekonomi
(property right) misal hak memiliki sesuatu, hak mengadakan perjanjian, hak
bekerja, hak mendapatkan hidup layak.
3. Hak asasi untuk
mendapatkan pengayoman dan perlakuan yang sama dalam keadilan hukum dan
pemerintahan(right of legal equality) misal hak persamaan hukum, hak asas
praduga tak bersalah.
4. Hak asasi
politik(political right) yaitu hak untuk diakui sebagai warga negara. Misalnya
memilih dan dipilih, hak berserikat, hak berkumpul.
5. Hak asasi sosial dan
budaya(social and cultural right) misalnya hak mendapat pendidikan, hak
mendapat santunan, hak pensiun, hak mengembangkan kebudayaan, hak berekspresi.
6. Hak asasi untuk
mendapat perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan hukum (procedural
right) misal Hak mendapatkan perlakuan yang wajar dan adil dalam penggeledahan,
penangkapan, peradilan dan pembelaan hokum.
2.4 Pengakuan Bangsa Indonesia Akan HAM
Pengakuan akan Hak Asasi manusia
dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan
lainnya adalah sebagai berikut:
1. Pancasila
Sila kedua pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab
merupakan landasan idiil akan pengakuan dan jaminan HAM di Indonesia.
2. Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 Alinea Pertama
Hal ini dapat dilihat pada alinea pertama yang berbunyi
“...Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa...” berdasarkan
hal ini, bangsa indonesia mengakui adanya hak untuk merdeka dan bebas.
3.
Undang-Undang Dasar 1945
HAM tertuang dalam pasal 28 A-J UUD 1945 hasil amandemen
pertama tahun 1999
4. Keputusan
Presiden
Kepres No. 58 tahun 1993 tentang Komnas HAM dan dan Kepres No. 181 tentang Komisi Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan serta Kepres No. 129 tahun 1998 tentang
Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi manusia
5. Peraturan
Perundang-undangan
UU No. 5 Tahun 1988 tentang konvensi menentang penyiksaan dan
perlakuan penghukuman lain yang kejam tidak manusiawi atau merendahkan martabat
manusia dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia serta UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
2.5 Penegakan HAM
Dalam rangka memberikan jaminan perlindungan
terhadap HAM, di samping dibentuk aturan-aturan hukum, juga dibentuk kelembagaan
yang menangani masalah yang berkaitan denagn penegakan HAM, antara lain:
1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dibentuk berdasarkan Keppres
Nomor 5 Tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993 yang kemudian dikukuhkan lagi
melalui UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
2. Pengadilan Hak Asasi Manusia dibentuk berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000
Tentang pengadilan HAM. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada
di lingkungan Pengadilan Umum dan berkedudukan di daerah Kabupaten atau kota.
3. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc dibentuk atas usul dari DPR berdasarkan
peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden Untuk memeriksa dan memutuskan
perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangnya UU No. 26
tahun 2000 tentang pengadilan HAM
4. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. UU No. 26 Tahun 2000 memberikan
alternatif bahwa penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dapat dilakukan di
luar Pengadilan HAM.
2.6 Contoh Pelanggaran HAM
Berikut
ini adalah beberapa contoh kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
Adapun contoh kasus pelanggarah HAM yang akan dipublikasikan meliputi kasus
pelanggaran HAM yang sudah diajukan ke sidang pengadilan.
1.
Peristiwa Tanjung Priok
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1984 dengan
jumlah korban sebanyak 74 orang. Peristiwa ini ditandai dengan penyerangan
terhadap masa yang berunjuk rasa, dan penyelesaiannya sudah berlangsung di
Pengadilan HAM ad hoc Jakarta pada tahun 2003 hingga 2004.
2.
Penculikan Aktivis 1998
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1984-1998
dengan jumlah korban sebanyak 23 orang. Peristiwa ini ditandai dengan
penghilangan secara paksa oleh pihak Militer terhadap para aktivis
pro-demokrasi. Penyelesaian kasus ini sudah dilakukan di Pengadilan Militer
untuk anggota tim mawar.
3.
Penembakan Mahasiswa Trisakti
Kasus penembakan mahasiswa Trisakti terjadi
pada tahun 1998 dengan jumlah korban sekitar 31 orang. Peristiwa ini tidandai
dengan penembakan aparat terhadap mahasiswa yang sedang berunjuk rasa.
Penyelesaian kasus ini sudah dilaksanakan di Pengadilan Militer bagi pelaku
lapangan.
4.
Kerusuhan Timor-Timur Pasca JajakPendapat
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1999 dengan
jumlah korban sebanyak 97 orang. Peristiwa ini ditandai dengan Agresi Militer
dan penyelesaiannya sudah dilakukan di Pengadilan HAM ad hoc Jakarta pada tahun
2002 hingga 2003.
5.
Peristiwa Abepura,Papua
Kasus pelanggaran HAM ini terjadi pada tahun
2000 dengan jumlah korban sebanayak 63 orang. Peristiwa ini ditandai dengan
penyisiran secara membabi buta terhadap pelaku yang diduga menyerang Mapolsek
Abepura. Penyelesaian kasus ini sudah dilakukan di Pengadilan HAM di Makassar.
BAB
III
HAK
BERAGAMA DAN BERIBADAH BERSIFAT HAKIKI
3.1 Rapor Merah Kebebasan
Beribadah di Indonesia
3.1.1 Gangguan Tempat Ibadah
Gangguan
terhadap tempat ibadah di Indonesia masih terus terjadi. Meski UUD 45 pasal 29,
bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu,
tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Masih banyak terjadi gangguan terhadap
tempat ibadah khususnya gereja di Indonesia. Alasannya pun beragam dan klise,
yakni, tidak ada izin RT/RW, tidak ada IMB, dan yang lebih parah lagi adalah
karena ketidaksukaan (intoleran) masyarakat terhadap kehadiran tempat ibadah
tersebut.
Tak
bisa dipungkiri bahwa, gangguan terhadap pendirian tempat ibadah ini semakin
marak pasca terbitnya Peraturan Bersama Menteri (PBM) : Menteri Dalam Negeri RI
dan Menteri Agama RI Nomor 8 dan 9. Mencuatnya PBM ini dinilai, justru memicu
sejumlah tindakan kekerasan yang berkaitan dengan masalah keberagamaan,
terutama pendirian rumah ibadah. Hal ini terekam jelas bahwa maraknya kasus
penutupan gereja di Bekasi, Bogor, beberapa wilayah di Jawa Barat serta belasan
gereja di Aceh Singkil beberapa waktu lalu menunjukkan keberagaman dan
kebebasan beribadah di Indonesia masih mendapatkan rapor merah.
3.1.2 Penyegelan Tempat Ibadah
Seperti diangkat dalam program Inside
MetroTV dengan tema “Menanti Solusi Damai Untuk Minoritas” beberapa
bulan lalu, sedikitnya 16 undung-undung (kapel tempat ibadah Kristiani) atau
gereja yang disegel oleh Tim Terpadu Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh
Singkil. Kasus penyegelan dan penyerangan gereja di Banda Aceh ini terjadi pada
1 Mei 2012 lalu. Polemik penyegelan rumah ibadah umat Kristiani di Kabupaten
Aceh Singkil ini pun sampai sekarang masih menyisakan tanda tanya. Kapankah
umat Kristiani di Indonesia bisa “bebas” melakukan ibadah? Bahkan penutupan
sejumlah gereja di Aceh Singkil juga belum menjadi perhatian pemerintah.
Padahal itu adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena ada pembatasan
hak-hak warga negara walaupun dengan alasan apapun.
Jika dicermati, kasus di atas
sebenarnya hanya merupakan sebagian dari rentetan pelanggaran terhadap
kebebasan beribadah dan beragama yang di daerah lain bentuknya bisa bervariasi
mulai dari penutupan, penyegelan, intimidasi, pembubaran secara paksa kegiatan
umat beragama tertentu. Sebut saja diantaranya yang menimpa umat Ahmadiyah,
HKBP Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi. Kasus tersebut masih yang
tercatat dan mencuat lewat media massa, bagaimana dengan kasus serupa yang
masih luput dari perhatian karena keterbatasan teknis maupun tindakan massif namun
“ditutupi” oleh penguasa. Tentu angkanya akan semakin mencengangkan! Menjadi
sebuah anomali di abad keterbukaan dan gegap gempitanya suara-suara kemanusiaan
(humanisasi) ini, peristiwa tersebut di atas masih terjadi dan malah semakin
meningkat. Bahkan ketika negara yang mengklaim dirinya sebagai negara
ber-Pancasila tidak pernah tuntas dalam hal beragama dan beribadah sesuai
dengan keyakinannya masing-masing. Lebih mengherankan lagi ketika suara-suara
kritis tentang penghargaan terhadap pluralitas sebagai aspek lain dari HAM yang
harus dijunjung tinggi bukan bahasa baru lagi bagi sebagian besar rakyat
utamanya para aktor dan elit-elit negara. Lalu apa yang salah?.
Maraknya
kekerasan bernuansa agama menunjukkan negara tidak konsisten memberikan
perlindungan dan penghormatan terhadap hak atas kebebasan beribadah, beragama
dan berkeyakinan bagi warganya. Hal ini juga membuktikan terjadinya disfungsi
negara dalam menjalankan amanat konstitusi. Bukankah negara telah menjamin
kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya di dalam UUD 1945.
Indonesia juga telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lewat
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang semakin mempertegaskan lagi jaminan
negara atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai bagian dari HAM yang
berlaku secara umum? Bahkan, negara sebenarnya telah mengesahkan Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
Kenyataannya, pemerintah juga gagal
menangani berbagai peraturan nasional maupun daerah (perda) yang jelas-jelas
diskriminatif seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
No 09 Tahun 2006, No 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah ibadat, Peraturan
perundang-undangan tersebut selain sangat mengekang dan membatasi kebebasan beragama
atau berkeyakinan, juga turut menyulut tindakan sepihak ormas atau kelompok
agama lain terhadap kelompok lain. Dalam persfektif hak asasi manusia, negara
dalam hal ini telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia melalui
pemberlakuan regulasi.
Kepemimpinan Susilo Bambang
Yudhoyono tampak lebih gemar berpidato tentang toleransi dari pada bekerja
sungguh-sungguh dan terukur untuk menciptakan toleransi dengan memberikan
jaminan kebebasan terhadap warganegaranya. Tanpa jaminan kebebasan, toleransi
hanya akan menjadi politik kata-kata dari seorang presiden yang tidak
berkontribusi pada pemajuan hak asasi manusia. Sepanjang 2011, tidak kurang
dari 19 kali Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pesan toleransi dalam
berbagai kesempatan.
Tapi semua pesan itu tidak berbekas.
Bahkan untuk sekadar menegur seorang walikota yang melakukan pembangkangan
hukum sekalipun. Sebagai sebuah kapital politik, kata-kata toleransi memang
menyejukkan. Tapi temuan-temuan pemantauan selama lima tahun terakhir ini
justru menunjukkan fakta yang bertolak belakang dari seluruh kata-kata Presiden
RI (Politik Diskriminasi rezim SBY, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di
Indonesia 2011, SETARA Institute).
Jadi wajar sebenarnya Indonesia
dicerca di Sidang Dewan HAM PBB, karena memang pada prakteknya telah terjadi
pelanggran yang sangat memalukan. Sejak tahun 2011 saja, sudah terjadi ratusan
kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pada tahun 2011, SETARA
Institute mencatat 244 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan
yang mengandung 299 bentuk tindakan, yang menyebar di 17 wilayah pemantauan dan
wilayah lain di luar wilayah pemantauan. Terdapat 5 propinsi dengan tingkat
pelanggaran paling tinggi yaitu, Jawa Barat (57) peristiwa, Sulawesi Selatan
(45), Jawa Timur (31) peristiwa, Sumatera Utara (24) peristiwa, dan Banten (12)
peristiwa.
Ketika suatu ekspresi keberagamaan
yang kritis ditekan dan dilarang oleh kelompok baik mayoritas maupun minoritas,
maka mandat demokrasi Pancasila sedang dipertaruhkan. Sama halnya ketika
demokrasi Pancasila tidak diikuti dengan penghormatan dan penegakan HAM secara
mutlak berarti demokrasi tersebut hanya sebatas retorika. Dengan kata lain,
dengan tidak adanya kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah akan
memupuskan harapan terhadap pemenuhan hak-hak sipil dan politik, ekonomi,
sosial maupun budaya. Negara seharusnya bertindak tegas dalam upaya melindungi
kebebasan beragama semua kelompok berdasarkan konstitusi dan deklarasi umum PBB
tentang HAM. Termasuk segera mengevaluasi dan mencabut semua peraturan yang
tidak obyektif dan diskriminatif seperti SKB 2 menteri tentang pendirian rumah
ibadah, perda-perda di tingkat daerah yang bias SARA dan mengoptimalkan kinerja
aparat penegak hukum semisal kepolisian untuk bekerja dengan wawasan HAM.
3.1.3 Penyegelan Masjid Jemaat Ahmadiyah
Pada Tanggal 4 April 2013,
Pemerintah Kota Bekasi menyegel dan memagari Masjid Al-Misbah di jalan Terusan
Pangrango Nomor 44, Jatibening, Bekasi. Tindakan Pemerintah Kota Bekasi
tersebut mendapatkan perlawanan dari Jemaah Ahmadiyah Bekasi. Upaya penyegelan
telah dimulai dari pukul 13.00 WIB, namun dengan dikawal 200 personil gabungan
Satpol PP Kota Bekasi, Kepolisian Sektor Pondok Gede, serta beberapa personil
TNI penyegelan dan pemagaran baru dilaksanakan pukul 18.30 WIB. Penyegelan itu
dilakukan atas dasar Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI, Jaksa Agung RI,
dan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 3 Tahun 2008, Kep-033/A/JA/6/2008, Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Nomor 11/Munas VII/MUI/15/2005, Peraturan Gubernur Jawa
Barat Nomor 12 Tahun 2011, dan Peraturan Wali Kota Bekasi Nomor 40 Tahun 2011
(Bab IV Pasal 4). Pada akhirnya, Jemaah Ahmadiyah hanya bisa pasrah melihat
Masjidnya disegel aparat.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) menilai Tindakan Pemerintah Kota Bekasi telah bertentangan
dengan UUD 1945 karena didalam Pasal 28E ayat (1)
UUD 1945 ditegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.” Selain itu, Pemerintah Kota Bekasi juga melanggar Pasal 29 ayat (2)
UUD 1945, dimana ditegaskan bahwa “
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” dengan
kata lain tindakan Walikota dan Satpol PP kota Bekasi yang melakukan penyegelan
dan pemagaran Masjid Al-Misbah telah bertentangan dengan Undang-undang
Dasar 1945.
YLBHI Mengecam tindakan Walikota dan
Aparat Satpol PP Kota Bekasi yang melakukan penyegelan dan pemagaran Mesjid
Ahmadiyah Al- Misbah yang secara langsung melawan Konstitusi Negara dimana
negara menjamin perlindungan bagi Rakyat Indonesia untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu .
Tindakan yang dilakukan Aparat Pemerintah Kota Bekasi adalah suatu tindakan
yang berlebihan (Extra Exercive). Aktivitas Jemaat Ahmadiyah bukanlah suatu
ancaman bagi Negara yang membuat disabilitas dan disintegrasi Negara. Mereka
melainkan warga negara yang mesti diayomi dan di lindungi oleh Negara dalam hal
ini Pemerintah Kota Bekasi.
Tindakan Pemerintah Kota Bekasi yang
penyegelan masjid Ahmadiyah merupakan tindakan langsung (commision) kejahatan
terhadap Hak Asasi Manusia dalam hal ini dalam kegiatan kebebasan untuk
menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan. Semestinya, Pemerintah kota
bekasi melindunggi semua warganya dari ancaman pelanggaran Hak Asasi Manusia
sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 Ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dimana di ayat (1) ditegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agamnya dan kepercayaannya itu.”dan
di ayat (2) ditegaskan bahwa Negara
menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agama yang masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Seharusnya Pemerintah
Kota Bekasi menjadi pelindung hak masyarakat untuk beribadah HAM sehingga
menciptakan hubungan yang harmoni diantara masyarakat.
Sejak Januari 2013 hingga April
2013, tercatat 5 kasus pelanggaran terhadap hak beribadah Jemaah Ahmadiyah. 1
Kasus di Provinsi Jambi, 3 Kasus di Provinsi Jawa Barat dan 2 kasus di
Jabodetabek.
YLBHI
juga Mempertanyakan kehadiran personel TNI didalam penyegelan Masjid
Al-Misbah yang bertentangan dengan Tugas Pokok dan Fungsi didalam Undang-Undang
No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Tridarma Ekakarma berdasarkan
Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/45/VI/2010 Tanggal 15 Juni 2010.
YLBHI Mendesak Walikota Bekasi dan Seluruh Aparatur terkait,
untuk segera mencabut pagar dan segel terhadap Masjid Al-Misbah,
Bekasi karena bertentangan dengan Konstitusi Negara Republik Indonesia dan
Bhineka Tunggal Ika.
3.1.4 Pengusiran Jemaat Syiah
Beberapa
bulan yang lalu, banyak media yang memberitakan bahwa warga di sampang
madura yang berfaham syiah diusir oleh
masyarakat sekitar. Jika berbicara mengenai hukum, jelas pengusiran tersebut sangat
dilarang. Negara Indonesia adalah negara hukum, maka dari itu hukum harus
ditegakkan dengan seadil-adilnya. Berdasarkan Pasal 28 E ayat (1) UUD 1945
bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali ”.
Dalam pasal terdebut sangat jelas bahwa di negara ini siapapun bebas memeluk
agama, sedangkan ayat (2) UUD 1945 memberikan kebebasan meyakini kepercayaan.
Pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh masyarakat yang mengusir warga syiah
sampang tersebut yaitu elah melanggar pasal 28 E ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Yang mana setiap orang bebas memeluk agama dan meyakini kepercayaan, serta
setiap orang bebas memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya
serta berhak kembali. Pengusiran tersebut berarti telah melarang warga syiah
untuk berdomisili di tempat tinggal asal dan melarang untuk kembali ke tempat
tinggal asalnya. Padahal jelas dalam pasal tersebut bahwa setiap orang bebas
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak
kembali.
3.1.5 Eksekusi murtadin Penghujat Islam
Arogansi murtadin yang menabur
penodaan agama menuai badai. Omega Suparno (42), seorang murtadin dari kota
ukir Jepara tewas mengenaskan dieksekusi trio mujahid setelah terbukti
melecehkan Islam secara provokatif. Meski terancam hukuman mati oleh hukum
thaghut, trio mujahid Jepara tak gentar di jalan Allah.
Murtadin naas warga desa Mayong
Kidul, Mayong Jepara Jateng ini dieksekusi setelah melakukan penodaan agama
terhadap mujahidin dengan melecehkan Al-Qur'an, Allah SWT, Nabi Muhammad dan
Syariat Islam. Sedangkan trio mujahid Jepara yang mengeksekusi murtadin calon
pendeta itu adalah Ustadz Amir Mahmud (29), Sony Sudarsono (29), dan Agus
Suprapto (31).
Ustadz Amir Mahmud adalah alumnus
pesantren tauhid terbesar di kotanya yang sudah malang melintang di dunia
jihad. Usai menamatkan pendidikan di pesantren tahun 2000, ayah seorang anak
ini ditugaskan dakwah di Lombok, NTB. Tahun 2001, ketika bumi Ambon bergolak,
ia terpanggil untuk berjihad selama 4,5 tahun membela kaum muslimin yang
tertindas.
Sony Sudarsono adalah mujahid yang
sudah malang-melintang berjihad hingga mancanegara. Ayah dua orang anak ini
pernah mengikuti pelatihan jihad di Moro Pilipina. Sedangkan Agus Suprapto,
warga Semper Barat, Cililing, Jakarta Utara, adalah mujahid yang pernah
bergabung bersama kafilah i’dad di Aceh bersama Abu Umar. Ayah empat orang anak
ini sempat menjadi buronan Densus 88 Antiteror karena jihadnya.
Eksekusi terhadap murtadin calon
pendeta ini bermula pada bulan Oktober 2012, saat Ustadz Amir menerima
pengaduan dari berbagai aktivis di Kudus, mengenai sepak terjang penginjil
Omega Suparno setelah murtad meninggalkan Islam. Setelah murtad, jebolan
pesantren Kudus yang sempat kuliah di IAIN Yogyakarta ini pindah kuliah ke
Sekolah Tinggi Theologia Baptis Indonesia (STBI) Semarang untuk mengejar obsesi
menjadi pendeta.
Setelah data, alamat dan identitas
Suparno terkumpul, Ustadz Amir berkunjung ke rumah Suparno dengan misi untuk
berdialog dan mengkonfirmasi latar belakang kemurtadannya, pada Selasa sore
(11/12/2012).
Mulanya, dialog berjalan biasa saja
seputar perkenalan. “Njenengan leres Mas Suparno, lulusan Ma’ahid yang pindah
agama?” tanya Amir. (Apakah benar anda bernama Suparno, alumnus Ma’ahid yang
sudah pindah agama?). “Inggih, leres,” jawab Suparno singkat. (Iya, benar).
Namun agenda dialog yang
direncanakan tak semulus rencana awal. Dikonfirmasi baik-baik, Suparno malah ngelunjak.
Dengan provokatif, ia memaparkan bahwa imannya dalam Kristen sudah mantap
dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Bahwa semua manusia hanya bisa selamat di
surga bila mengimani Yesus sebagai tuhan dan juru selamat. Dosa manusia hanya
bisa dibersihkan dengan tebusan kematian Yesus di ting salib, dan
keselamatannya sudah dijamin 100 persen oleh Yesus.
Untuk mempertegas kesaksiannya,
Supar sapaan akrabnya mengumbar pernyataan yang mendiskreditkan
Al-Qur'an. “Al-Qur'an itu tidak ada yang benar, salah semua. Kalau di
sini ada Al-Qur'an, saya injak-injak saja,” ejeknya sambil memeragakan kaki
menginjak-injak lantai rumahnya.
terkait kasus eksekusi mati murtadin
penginjil Omega Suparno asal kota ukir Jepara oleh Trio Mujahid Jepara yakni
Ustadz Amir Mahmud, Sony Sudarsono, dan Agus Suprapto, yang telah melecehkan
Islam, Munarman SH menyatakan setuju dan hal itu satu hal yang pantas untuk
dilakukan.
Karena dalam kasus tersebut, negara
tidak berperan aktif untuk mencegah orang-orang yang telah jelas menghina dan
menghujat agama lain, dalam hal ini agama Islam. Menurut direktur An Nashr
Institut ini, apa yang dilakukan Trio Mujahid Jepara merupakan ekspresi
spontanitas untuk membela Islam.
Pasalnya, jika melihat kronologi
yang terjadi sebelumnya, eksekusi mati Trio Mujahid
Jepara terhadap calon pendeta murtadin itu ada rentetan peristiwa
yang mengiringinya. Yakni, sang murtadin tersebut telah terbukti dalam
pandangan Islam melecehkan dan menghina simbol agama Islam. Bentuk pelecehan
dan penghinaan terhadap Islam yang diajarkan oleh murtadin penginjil itu antara
lain bahwa Allah itu sebenarnya tidak ada dan baru diadakan sejak adanya bangsa
Arab, Al-Qur'an itu salah semua dan layak untuk injak-injak, Nabi Muhammad itu
tidak boleh dikultuskan karena kenabiannya setara dengan gelar kiyai di Jawa
dan sebagainya.
“Yaa, bagus itu. Karena disitu
negara tidak berperan dan orang-orang yang seperti itu biar kapok (untuk tidak
menghina Islam lagi),” kata Munarman kepada voa-islam.com sebelum mengisi talk
show “Membongkar Diskriminasi HAM Terhadap Umat Islam” di masjid Baitul Makmur
Solo Baru, Sukoharjo pada Ahad (23/6/2013).
Salah satu pimpinan pusat Front
Pembela Islam (FPI) ini menghimbau para pendeta dan penginjil agar lebih
berhati-hati kembali di kemudian hari. Jangan sampai umat Islam terusik dan
kemudian merespokan tindakan provokatif seperti itu.Hal itu biar menjadi
pelajaran dan peringatan bagi para pendeta. Karena jika Islam dihina dan
dilecehkan, umat Islam tidak akan tinggal diam.
Khalifah menyatakan kasus eksekusi
mati murtadin penginjil di Jepara juga harus betul-betul menjadi pelajaran dan
peringatan bagi para pendeta dalam menyampaikan ajarannya jangan sampai menyinggung
unsur SARA. Ia menambah, jangan sampai kasus seperti itu terulang
kembali dan umat Islam yang dipersalahkan. Karena jika terulang kembali
hujatan-hujatan dan bentuk pelecehan lainnya terhadap simbol agama Islam dalam
bentuk apapun, maka umat Islam takkan diam saja.
3.2
Memeluk Agama merupakan HAM yang Hakiki
Hak
Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki oleh seseorang yang telah diberikan oleh
tuhan yang maha esa kepada makhluknya (manusia) sejak dalam kandungan yang
tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Ciri-ciri Hak Asasi Manusia yaitu yang
pertama bersifat Hakiki yang artinya HAM sudah ada sejak manusia lahir, yang
kedua bersifat universal yaitu HAM berlaku umum untuk dan mengenai semua orang,
di mana saja dan kapan saja, tanpa memandang jenis kelamin dan kondisi psikosomatis,
ras, agama, suku bangsa, negara, pandangan hidup, dan pandangan politik, yang
ketiga kepemilikannya bersifat kodrati, dan karena itu spiritual. Maksudnya,
HAM itu inheren dalam kodrat kemanusiaan kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan,
sejak kita diciptakan dan dilahirkan, dan karena itu hak-hak asasi itu
dipandang sebagai karunia pemberian Sang Pencipta. Ciri kodrati dan spiritual
ini tampak dalam kenyataan bahwa manusia tidak bisa menjalani kehidupannya
sebagaimana layaknya tanpa hak-hak itu, dan dengan hak-hak itu manusia dapat
lebih memuliakan Tuhan Sang Penciptanya. Karena bersifat kodrati, HAM tidak
dapat diserahkan pada pihak lain dan tidak dapat dibagi-bagi. yang keempat
bersifat supralegal dan menuntut dengan keras pemenuhannya dari pihak lain,
termasuk negara. Maksudnya, hak-hak asasi tidak pernah boleh dan tidak pernah
bisa dilanggar, diperkosa, dibatasi dan ditiadakan/dihapus oleh pihak mana pun
termasuk Negara. Hak memeluk
agama dan beribadah, adalah salah satu Hak Asasi Manusia. Hak ini sudah ada
sejak manusia lahir, jadi memeluk agama adalah Hak Asasi manusia yang hakiki. Indonesia adalah negara yang berdasarkan
pancasila yang mana di dalamnya berisi mengenai ketuhanan yang maha esa, yang
berarti setiap warga negara indonesia wajib memeluk satu agama yaitu agama yang
diakui oleh pemerintah dan memilih sesuai dengan keyakinan yang dipercayai oleh
seseorang itu sendiri. Namun sudah tidak jarang kita temui pelanggaran HAM
mengenai kebebasan memeluk agama seperti yang terjadi pada akhir-akhir ini ada
film yang membahas tentang Nabi Muhammad yang isi dari film itu menceritakan
tentang keburukan Nabi Muhammad yang pada kenyataannnya itu tidak benar dan
tidak bisa di buktikan, film ini sangat memberikan pengaruh negatif terhadap pemeluk umat islam seluruh dunia dan penduduk
di indonesia menanggapi hal ini dengan berbagai tindakan seperti demo
besar-besaran yang berakibat merugikan. Dan di Indonesia juga sering terjadi
kasus yaitu muncul nabi baru dan banyaknya agama yang muncul yang berasaskan
agama islam, bentuk seperti ini yang menghancurkan keyakinan pemeluk agama
islam terganggu atau merasa bimbang terhadap agama yang dipercayai itu, dan ini
merupakan bentuk pelanggaran HAM mengenai kebebasan beragama, padahal sudah
dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dan inilah faktor yang
paling jelas bahwa kebebasan beragama telah diberikan pemerintah dan telah
dijamin pemerintah tentang kebebasan beragama. Di indonesia pemerintah sudah
menetapkan agama-agama apa saja yang boleh dianut oleh warga negara indonesia.
Oleh karena itu Agama-agama yang tidak diakui pemerintah dianggap pelanggaran HAM
terhadap keyakinan beragama dan termasuk melanggar pasal-pasal perlindungan
terhadap keyakinan beragama.
3.3
Kebebasan Memeluk Agama
Adakah
kebebasan yang benar-benar bebas tanpa batas? Bukankah kebebasan seseorang atau
sekelompok orang, sesungguhnya akan menjadi pembatas dari kebebasan orang lain
atau kelompok lainnya. Dalam bahasa logika yang lain, kebebasan seseorang atau
sekelompok orang pada saat bersamaan sesungguhnya telah merampas kebebasan
orang lain atau kelompok yang lainnya. Kebebasan beragama adalah kebebasan
untuk menentukan pilihan memeluk suatu agama yang diyakini. Kebebasan ini
merupakan hak asasi setiap manusia yang dilindungi oleh undang-undang. Kebebasan beragama juga dapat
bermakna bebas membentuk agama baru. Ketika seseorang bebas memeluk suatu
agama, sesungguhnya ia tidak lagi bebas, karena akan terikat dengan ketentuan
agama yang dipeluk dan diyakininya. Demikian juga, ketika sekelompok orang
membuat suatu agama baru, sebagai “produk baru keyakinannya,” maka saat itu
juga sesungguhnya mereka tidak lagi memiliki kebebasan, karena setiap produk
keyakinan harus teruji oleh publik dengan syarat-syarat rasional atau juga
mungkin irasional yang diyakini. Intinya tidak ada kebebasan beragama yang
“sebebas-bebas”nya.
Fakta keberagamaan juga
menunjukkan, bahwa di negara-negara yang diklaim sebagai negara bebas, seperti
beberapa negara di Eropa dan Barat, aliran-aliran atau sekte-sekte tertentu
juga terlarang bahkan tak jarang mengalami tindak kekerasan oleh penganut agama
lainnya, ditangkap dan diadili dengan alasan mengganggu ketertiban umum atau
mengancam keselamatan dan ketenangan publik. Kebebasan beribadah, adalah hak bagi setiap pemeluk agama untuk
melaksanakan kewajiban agamanya sesuai dengan keyakinannya. Melaksanakan ibadah
sesuai tuntunan agama yang dianut juga sekaligus menjadi kewajiban para
pemeluknya sebagai cermin ketundukan, ketaatan dan loyalitas keberagamaan
seseorang terhadap agama yang diyakininya. Adakah kebebasan beribadah bermakna
kebebasan sebebas-bebasnya (tanpa batas) untuk melaksanakan ibadah menurut
keyakinan setiap penganut agama? Faktanya tidaklah mungkin. Penghapusan 7 kata
dalam Piagam Jakarta yang kemudian menjadi dasar penetapan Pembukaan UUD-1945
adalah bukti historis yang sangat kuat untuk menjawab pertanyaan di atas.
Sepanjang sejarah umat manusia,
tidak ada manusia yang hidup bebas tanpa terikat oleh aturan, termasuk pada
masyarakat primitif sekalipun. Semakin modern kehidupan masyarakat, semakin
banyak aturan yang mengikatnya. Lebih lagi dalam kehidupan beragama. Aturan
itulah yang akan memberikan perlindungan atas hak-hak umat beragama. Tetapi
yang terpenting adalah bagaimana melaksanakan aturan itu secara konsisten. Mau
bersedia dan bertenggangrasa untuk hidup dengan orang yang berbeda agama atau
beda keyakinan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
HAM
merupakan hak dasar yang melekat dan dimiliki manusia sebagai anugerah Tuhan
Yang Maha Esa. Hak memeluk agama dan beribadah, adalah salah satu Hak Asasi
Manusia. Hak ini sudah ada sejak manusia lahir, jadi memeluk agama adalah Hak
Asasi manusia yang hakiki.
4.2 Saran
1.
Sebaiknya Pemerintah lebih memperhatikan kerukunan dan toleransi antar umat
beragama agar tidak terjadi konflik antar pemeluk agama yang bisa mengancam
stabilitas nasional.
Seharusnya pemerintah
menggalakkan kepada masyarakat tentang toleransi, dan tenggang rasa antar umat
beragama agar tidak terjadi pelanggaran kebebasan beragama dan beribadah.
0 Response to "Makalah Memeluk Agama Merupakan HAM Yang Hakiki"
Posting Komentar