Makalah Hukum Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat
Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam
internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas
muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik
untuk memahami alur perjalanan perkembangan hukum Islam di tengah-tengah
komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa
jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan
hukum Islam di Tanah Air –misalnya-, dapat dijawab dengan memaparkan
perkembangan hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia. Namun
setidakya apa akan penulis paparkan disini dapat memberikan gambaran tentang
perjalanan hukum Islam,
Sejak
awal kedatangan agama ini. Di samping itu, kajian tentang perkembangan hukum
Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebgai salah satu pijakan bagi umat
Islam secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam
mendekatkan dan “ mengakrabkan “ bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah
hukum Islam yang diwarnai “ benturan “ dengan tradisi yang sebelumnya berlaku
dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik kenegaraan, serta tindakan-tindakan
yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi
bahan telah penting di masa datang. Setidaknya perkembnagan itu
menunjukan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarkat bukanlah proses yang dapat
selesai seketika.
Untuk itulah, tulisan ini
dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan
detail setiap rincian pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam di Tanah bumi
Indonesia hingga di era reformasi ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Hukum Islam ?
2.
Bagaimana Perkembangan Hukum Islam di Indonesia pra
Kemerdekaan ?
3.
Bagaimana Perkembangan Hukum Islam di Indonesia pada Masa
Penjajahan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hukum Islam
Hukum Islam merupakan istilah khas
Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh al-Islamy atau dalam
konteks tertentu dari al-Syari’ah al-Islamy. Istilah ini dalam
wacana ahli hukum barat digunakan Islamic Law. Dalam Al-Qur’an
maupun As-Sunnah istilah al-hukm al-Islam tidak dijumpai. Yang
digunakan adalah kata syari’at yang dalam penjabarannya
kemudian lahir istilah fiqh.
Secara harfiah telah dijelaskan
syari’ah yaitu jalan kedalam tempat mata air, atau tempat yang dilalui air
sungai. Penggunaannya dalam Al-Qur’an diartikan sebagai jalan yang jelas yang
membawa kemenangan. Sedangkan dalam terminologi ulama Ushul al-Fiqh, syari’ah
adalah titah (khitab) Allah yang berhubumgan perbuatan mukallaf ( baligh,
muslim, sehat, berakal) baik nerupa tuntutan atau pilihan ( sebab, syarat dan
penghalang). Jadi konteksnya adalah hukum-hukum yang bersifat praktis (
amaliyah ).
Syariat pada mulanya meliputi semua
aspek ajaran agama; yaitu akidah syari’ah ( hukum) dan akhlak. Kemudian dapat
dipahami bawha cakupan syari’ah, adalah amaliyah konsekuensi dari akidah yang
diimani setiap umat. Dengan demikian ketika kita menggunakan kata syari’at,
maka pemahaman kita tertuju kepada semua aspek ajaran islam. Jadi syari’at
adalah prodak atau materi hukumnya, tasyrikh adalah pengundangannya dan yang
memprodak disebut syari’.
Adapun kata fiqh yang ada dalam
Al-Qur’an digunakan dalam bentuk kata kerja sebanyak dua puluh kali. Berarti
memahami secara etimologis fiqh artinya paham, dan secara istilahnya fiqh
yaitu hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis ( amaliyah ) yang diperoleh dari
dalil-dalil yang rinci. Kemudian
penjelasan diatas menunjukan bahwa syari’ah dan fiqh memiliki hubungan yang
sangat erat karena, fiqh adalah formula yang dipahami dari syari’ah. Syari’ah
tidak bisa menjalankan dengan baik tanpa dipahami melalui fiqh atau pemahan
yang memadai dan diformulasikan secara baku.
Dalam perkembangannya hukum Islam
tidak lagi didomonasi oleh fiqh namun, dipengaruhi oleh pemikiran lain berupa
yiga jenis produk; yaitu :
a.
Fatwa, adalah hasil ijtihad seorang mufti sehubungan dengan
peristiwa hukum yang dianjurkan kepadanya.
b.
Keputusan pengadilan, prodak pemikiran ini merupakan
keputusan hakim pengadilan berdasarkan pemeriksaan perkara didepan persidangan.
Dalam istilahnya disebut dengan al-qadla’ atau al-hukm.Definisinya
sebagai ketetapan hukum syar’i disampaikan melalui seorang qadi atau hakim yang
diangkat untuk itu.
c.
Undang-undang, yaitu peraturan yang dibuat oleh suatu badan
legislatif ( sultah al-tasyri’iyah ) yang mengikat kepada
setiap warga negara dimana undang-undang itu diberlakukan yang apabila
dilanggar akan mendatangkan sanksi.
Dari uraian diatas dapat dipahami
bahwa hukum Islam adalah peraturan-peraturan yang diambil dari wahyu dan
diformulasikan dalam keempat produk pemikiran hukum, yaitu: fiqh, fatwa,
keputusan pengadilan dan undang-undang.
B. Perkembangan
Hukum Islam di Indonesia pra Kemerdekaan
Tarikh tasyrik adalah ilmu yang
membahas keadaan fiqh islam mulai dari masa rasulullah SAW dan masa-masa
sesudahnya, dari segi pertumbuhan hukum, hal-hal yang berpautan denganya, serta
menjelaskan keadaan fuqaha, mujtahiddin, serta usaha-usaha mereka dalam
menetapkan hukum.
Maka tarikh tasyrik islami itu sama
artinya dengan tarihk fiqh islami. Kemudian dalm mempelajari fiqih sebenarnya
tidak bisa di pisahkan dari mempelajari sejarahnya di karenakan ilmu dan
sejarahnya adalah dua hal yang kembar, dengan mempelajari sejarah fiqih islmi,
sejarah tarikh tasyik yang sesungguhnya terpengaruh kepada kita mengenai
keadaan pertumbuhan dan perkembangan fiqh dari zaman ke zaman sejak dari zaman
rasulullah SAW. Hingga sekarang dan itulah dari dasar-dasar tarihk tasyrik
serta pertumbuhanya sebagaimana di jelaskan kepada kita bermula dari
pertumbuhan dan perkembangan madzab dalam islam.
Untuk lebih jelasnya mengenai
perkembangan islam dalam masa sebelum kemerdekaan kita ketahui berbagai periode
mengenai hal itu:
Dalam perkembangan dari masa
rasulullah hingga sekarang banyaklah priode yang telah di laluinya. Dan
periode- periode yang telah di lalui itu dapat di simpulkan ada enam –tujuh
periode yang telah di laluinya. Ringkasnya di setiap priode itu memiliki sifat
dan keadaan yang sangatlah berlainan, baik dari yang sebelum dan yang
sesudahnya.
Masa pertama, ialah : Masa Rasulullah SAW. Sendiri
yaitu masa menegakkan dasar-dasar asasi fiqh dan menetapkan dasar ijtihad di
kala ada keperluan. Masa ini di berjalan dari tahun 13 s.H hingga 11H.
Masa kedua, ialah : Masa Sahabat –sahabat besar
(khulafarasyiddin), yaitu masa meluaskan pemakaian ijtihad , mengedakan idjma’
dan masa mulai tumbauh sebuah perbedaan faham. Masa ini berjalan mulai tahun
11H hingga 40 H.
Masa ketiga, ialah : Masa Sahabat kecil seperti
tabi’in yaitu masa penjajah kepada:
a. Fiqh
jumhur
b. Fiqh
khawarij
c. Fiqh
syi’ah
Fiqih jumhur pecah lagi menjadi:
a. Fiqh ahlur
hadist
b. Fiqh ahlur
raj’i
Kemudian
bertambahluasnya gelanggang perbedaan faham ini, dan Masa ini berjalan dari
tahun 40H. Hingga permulaan abad ku-2H (101H).
Masa
keempat, ialah
: Masa Mudjahidin ( pembuka –pembuka ) fiqh yang telah mencapai keahlian
ijtihad mutlaq yang yang sempurna dan yang telah membentuk kaedah-kaedah
istinbat untuk orang yang di belakangnya), yaitu masa tegaknya beberapa dasar
fiqih lagi, bebas berijtihad, pentadwinan fiqh, lahirnya imam-imam madzhab
serta meluasnya perbedaan paham. masa ini berjalan dari awal abad ke-2 H.
Hingga pertengahan abad ke-4 H.(350 H).
Masa
kelima , ialah
: Masa Muradjihin (pengikut madzhab yang berusa
mentarjihkan pendapat pendapat yang diikuti, apabila pendapat
berlawanan dan yang berusaha mengembalikan pendapat-pendapat itu kepada dasar
asasi islam, mentarjihkan faham para imam, memeriksa illat hukum dan
mempertahankan madzab masing-masing). Masa ini berlaku dari pertengahan abad
ke-4 (351H) hingga tahun 656 H.
Masa
keenam , ialah
: Masa Muqallidin ( pengikut-pengikut madzhab yang menerima bulat segala yang
di fatwakan oleh para mujtahid dengan tidak mau melakukan pengusutan dan
penyelidikan). Yanitu masa putusanya hubungan antara para ulama sesama ulama
dan putusnya hubungan dengan kitap-kitap para mudjahidin dan para murdajihin.
Masa ini berjalan dari tahun 656H. hingga akhir abad 13H.
Kesimpulanya
dari pernyataan di atas , bahwa mulai permulaanabad ke-14 H. Dengan lahirnya
beberapa orang-orang muslih besar dari kalangan umat islam (seperti Jamalludin
dan Muhammmad Abduh), maka mualailah umat ijtihad memancar kembali dan dapatlah
kita katakan bahwa dengan demikian bahwa kita telah berada di masa yang ku
tujuh.
Pembagian
periode ini sesuai dengan pembagian Al-Ustadz Al-Chidlry
dalam kitabnya, Tarikh tasyrik.
Sebagian
para ahli membagi periode perkembangan fiqh, kepada empat saja, yaitu:
a.
Periode pertumbuhan, yaitu : Masa
Rasul masih hidup berakhir dengan wafatnya beliau dalam tahun 11H. Periode ini
berusia lebih kurang 22 tahun beberapa bulan.
b. Periode keremajaan,
yaitu : Masa Sahabat dan Tabi’in besar periode ini berlangsung sejak dari
wafatnya Nabi hingga permulaanya abad ke-2 H.
c. Periode
kematangan dan kesempurnaan, yaitu : Masa timbulnya pembukuan kitab dan para
imam mujtahid. Periode ini berakhir pada pertengahan abad ke -4H.
d. Periode
kemunduran dan kelemahan, yaitu : Masa taqlid yang terus menurus hingga
sekarang. Walaupun kita akui bahwa dalam periode ini terdapat juga mujtahid
muthlaq atau mujtahid yang khas dengan sesuatu madzab.
Kemudian
di hukum islam juga terdapat sebuah fase yang telah di sepakati oleh ulama
dalam perekembangan dari hukum islam tersebut. Ada 2 jalan yaitu:
a. Merupakan
perkembangan hukum islam dengan seorang manusia. Sebagaimana manusia melalui
masa kecil, masa muda, masa cukup dewasa dan masa tua, begitulah pula
perkembangan hukum-hukum islam.
b. Memperhatikan
perbedaan-perbedaan dan ciri-ciri sesuai fase yang dengan perbedaan-perbedaan
dan ciri-ciri itu dapatlah dibedakan anatara satu fase dengan fase yang lain.
C. Perkembangan
Hukum Islam di Indonesia pada Masa Penjajahan
Di Indonesia, hukum Islam pernah
diterima dan dilaksanakan dengan sepenuhnya oleh masyarakat Islam. Meski di
dominasi oleh fiqh Syafi’iyyah. Hal ini, kata Rachmat Djatnika, fiqh
Syafi’iyyah lebih banyak dan dekat kepada kepribadian Indonesia. Namun lambat
laun, pengaruh madzhab Hanfiy, mulai diterima. Penerimaan dan pelaksanaan hikum
Islam ini, dapat dilihat pada masa-masa kerjaan Islam awal. Pada zaman
kesultanan Islam, menurut Djatnika, hukum Islam sudah diberlakukan secara resmi
sebagai hukum negara. Di Aceh atau pada pemerintahan Sultan Agung hukum Islam
telah diberlakukan walau masih tampak sederhana.
Hukum adat setempat sering
menyesuaikn diri dengan hukum Islam. Di Wajo misalnya hukum waris menggunakan
hukum Islam dan hukum adat, keduanya menyatu dan hukum adat itu menyesuaikan
diri dengan hukum Islam. Sosialisasi hukum Islam pada zaman Sultan Agung sangat
hebat, sampai ia menyebut dirinya sebagai “Abdul Rahman Kholifatulloh Sayyidin
Panatagama”. Demikian juga di Banten pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa
hukum adat dan hukum adat tidak ada bedanya. Juga di Sulawesi. Kenyataan
semacam ini diakui oleh Belanda ketika datang ke Indonesia. Dibawah ini akan
dikemukakan teori-teori hukum Islam di Indonesia.
a. Teori
Receptio in ComplexuTeori
ini dimunculkan oleh van den Berg, berdasarkan kenyataan bahwa hukum islam
diterima (diresepsi) secara menyeluruh oleh umat Islam. Bukti-bukti ini dapat
dilihat dalam ketentuan-ketentuan berikut:
1)
Statuta Batavia 1642 menyebutkan bahwa: “sengketa warisan
antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan engan mempergnakan
hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari”.
2)
Selain itu dipergunakan juga kitab Muharrar dan Pepakem
Cirebon serta peraturan yang dibuat oleh B.J.D. Clootwijk utuk daerah Bone dan
Goa di Sulawesi Selatan jadi selama VOC berkuasa (1602-1800) selama 2 abad,
kedudukan hukum Islam tetap seperti semula berlaku dan berkembang dikalangan
umat Islam Indonesia
3)
Pada tanggal 25 mei 1760VOC mengeluarkan peraturan senada
yang disebut dengan Resulatie deer Indische Regeering.
4)
Permulaan abad ke-19 telah mulai muncul sikap-sikap curiga
dari sementara pejabat kolonial. Scholatlen van Oud Harlem, Ketua Mahkamah
Agung Belanda, menasehati agar pemerintah berhati-hati.
5)
Salomon keyzer (1823-1868) dan Cristian van den Berg
(1845-1927) menyatakan hukum mengikuti agama yang dianut seseorang.
Sebelum keluarnya Stbl. 1882 no. 152
tersebut, Belanda telah mencoba melakukan pengawasan terhadap jalannya hukum
Islam, meski disisi lain sesungguhnya justu merupakan pengakuan sejarah
terhadap eksistensi hukum Islam. Di jelaskan oleh Munawir Sjadzali, bahwa
langkah-langkah tersbut dituangkan:
1.
Pada bulan September 1808 ada suatu instruksi dari
pemerintah Hindia Belanda kepada para bupati yang berbunyi: “Terhadap
urusan-urusan agama orang Jawa tidak akan dilakukan gangguan-gangguan,
sedangkan pemuka-pemuka agama mereka dibiarkan untuk memutuskan perkara-perkara
tertentu dalam bidang perkawinan dan kewarisan dengan syarat bahwa tidak ada
penyalahgunaan, dan banding dapat dimintakan kepada hakim banding.”
2.
Pada tahun 1820 melalui Stbl. No, 22 pasal 13 ditentukan
bahwa bupati wajib memperhatikan soal-soal agama Islam dan untuk menjaga supaya
para pemuka agama dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan
orang Jawa seperti dalam soal perkawinan, pembagian pusaka dan yang sejenis.
3.
Pada tahun 1823 dengan resolusi gubernur jenderal tanggal 3
Juni 1823 no. 12 diresmikan Pengadilan Agama di kota Palembang yang diketuai
oleh Pangeran Penghulu. Sedangkan banding dapat dimintakan kepada Sultan.
b. Teori
Receptie
Teori Receptie mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi
orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku
apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada
tidaknya hukum Islam.
Pada tahun 1973 juga dikeluarkan Stbl. No. 683 dan 639
tentang pendirian Kerapatan Qadli dan Kerapatan Qadli Besar untuk wilayah
Kalimantan Selatan dengan kewenangan sebagaimana peradilan agama di Jawa dan
Madura. Selanjutnya ia merinci batas kekuasaan Pengadilan Agama berdasar Stbl.
1937 No. 116 adalah:
1)
Perselisihan antara suami-isteri yang beragama Islam.
2)
Perkara-perkara tentang: a. Nikah, b. Talak, c. Rujuk, d.
Perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan
hakim agama Islam.
3)
Memberi keputusan perceraian.
4)
Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang
digantungkan (taklik talak) sudah ada,
5)
Perkara mahar
6)
Perkara tentang keperluan kehidupan isteri wajib diadakan
oleh suami.
Dengan demikian, masalah wakaf,
waris, hibah, wasiat, hadanah, sadaqah, baitul mal, yang tadinya menjadi
wewenang peradilan agama dikeluarkan, dan menjadi wewenang peradilan umum.
c. Teori
Receptie Exit atau Receptie a Contrario
Teori Receptie Exit atau Receptie a
Contrarioadalah teori yang mengatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau
tidak bertentangan dengan hukum Islam. Jika selama teori Receptie berlaku,
adalah sebaliknya, yaitu hukum Islam dapat dilaksanakan, apabila diterima
(diresepsi) hukum adat, maka sekarang hukum adat yang tidak sejalan dengan
ketentuan hukum Islam harus dikeluarkan, dilawan, atau ditolak.
Dalam perdebatan perumusan Dasar Negara
oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) para
pemimpin Islam berusaha memulihkan dan mendudukkan hukum Islam dalam negara
Indonesia merdeka itu. Dalam tahap awal, usaha tersebut tidak sia-sia. Dalam
Piagam Jakarta 22 Juni 1945 disepakati bahwa negara berdasar kepada ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun
demikian, atas desakan pihak Kristen tujuh kalimat tersebut dikeluarkan dari
Pembukaan UUD 1945, kemudian diganti dengan kata “Yang Maha Esa” yang menurut
H. Daud Ali, mengandung norma dan garis hukum.
Menurut Huzairi, ketentuan tersebut
yang juga diatur dalam pasal 29 batang tubuh UUD 1945 ayat (1) hanya mungkin
ditafsirkan dalam enam kemungkinkan penafsiran, tiga di antaranya:
1.
Dalam negara Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku
sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam, atau yang
bertentagan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bagi umat Nasrani,
atau yang bertentangan dengan kadah-kaidah agama Hindu-Bali bagi orang-orang
Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang
Budha.
2.
Negara RI wajib menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam,
syari’at Nasrani bagi orang Nasrani, dan syari’at Hindu-Bali bagi orang
Hindu-Bali. Sekedar menjalankan syari’at tersebut memerlukan perantara
kekuasaan negara.
3.
Syari’at yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara
untuk menjalankannya, dan karena itu dapat dijalankan sendiri oleh setiap
pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi
setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing.
Setelah jenderal Ter Poorten
menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan
selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan
berbagai peraturan. Salah satunya diantaranya adalah Undang-undang Nomor 1
Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepang meneruskan segala kekuasaan
yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ketetapan baru
ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam
sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah
Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat
Islam di Indonesia. Diantaranya adalah :
1.
Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan
Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2.
Mendirikan Shumubu ( Kantor Urusan Agama Islam ) yang
dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
3.
Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan
NU.
4.
Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (
Masyumi ) pada bulan oktober 1943.
5.
Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan
yang mendampingi berdirinya PETA.
6.
Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk
mngembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum
adat, Soepomo pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal
itu. Namun upaya ini kemudian “ dimentahkan “ oleh Soepomo dengan alasan
kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia Merdeka.
Dengan demikian, nyaris tidak ada
perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di
Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada
Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam
mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,
kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak
memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau
pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang
memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa
Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum
Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh
al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari al-Syari’ah
al-Islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat digunakan Islamic
Law. Dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah istilah al-hukm al-Islam tidak
dijumpai. Yang digunakan adalah kata syari’at yang dalam
penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh.Kemudian mengenai
pertumbuhan dan perkembanganya hukum islam telah melewati beberapa masa yang
mencapai enam masa kemudian melalui berbagai periode salah satunya:
1. Periode pertumbuhan
2. Periode keremajaan
3. Periode kematangan dan kesempurnaan
4. Periode kemunduran dan kelemahan
DAFTAR PUSTAKA
Rofiq,
Ahmad M.A, Hukum Islam di Indonesia, Jkarta: PT. Raja Grafindo Persada,1998
Al-Khalaf,
Abdul Wahab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Jakarta: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah
Syabab al-Azhar, 1410/1990
Ash-Shiddieqy,Hasbi, sejarah
pertumbuhan perkembangan hukum islam (jogjakarta, PT pustaka rizky putra
1971)
Bandingakan
dengan uraian Prof Dr Musthafah An-Zarqa’ dalam buku al fiqhul Islami fi
tsaubihil jadid 1H.
Zahrah,
Muhammad Abu, Usul al-Fiqh, Mesir: Dar al Fikr al-‘Araby
Mazkur,
Muhammad Salam, Peradilan dalam Islam ( terj. Imron AM ), Surabaya: Bina Ilmu,
1979
Hutabarat,
Ramly, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia,
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara,
0 Response to "Makalah Hukum Islam"
Posting Komentar