MAKALAH : LEPASNYA TIMOR TIMUR DARI WILAYAH NKRI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai
salah satu presiden terlama di dunia ketika ditetapkan oleh MPR untuk masa
jabatan yang ke -7 pada tanggal 11 Maret 1998. Tetapi setelah dua
bulan jabatan ke-7 Soeharto rezim orde baru runtuh.
Soeharto yang selama 32 tahun memanipulasi eksistensi DPR dan MPR untuk
mengkokohkan kekuasaaanya akhirnya dilengserkan oleh lembaga yang sama pula ,
lewat pernyataan pers tanggal 18 Mei 1998 oleh ketua DPR Harmoko yang
didampingi Ismai Hasan Meutareum , Fatimah Achmad dan utusan daerah di depan
wartawan dan mahasiswa menyampaikan pernyataan bahwa “ Demi kemakmuran
persatuan dan kesatuan bangsa pimpinan dewan baik ketua maupun wakil-wakilnya
mengharapkan agar presiden secara arif dan bijaksana mengundurkan diri dari
jabatannya ”.
Usaha terakhir Soeharto mempengaruhi rakyat menyampaikan pernyataan
dihadapan pers pada tanggal 19 Mei 1998 bahwa selaku mendataris MPR presiden
akan mereshuffle kabinet pembangunan VII dengan membentuk komite reformasi ,
untuk lebih meyakinkan rakyat bahwa tugas komite ini segera menyelesaikan : UU
pemilu , UU kepartaian , UU susunan dan kedudukan DPR MPR dan DPRD ,UU anti
monopoli , UU anti korupsi dan hal lainnya yang sesuai dengan tuntutan rakyat.
Akan tetapi Soeharto terpojok karena 14 menteri tidak bersedia untuk sepakat
dalam komite reformasi tersebut.
Penolakan ini melemahkan posisi Soeharto sebagai presiden karena dukungan untuk
membentuk komite reformasi gagal ditambah lagi banyak desakan yang menganjurkan
presiden untuk mundur dan berhenti. Pada pagi harinya 21 Mei 1998 pukul 09.05
yang dihadiri Menhankam , Mensesneg , Menteri Penerangan , Menteri Kehakiman
dan Wapres B.J. Habibie beserta pimpinan Mahkamah Agung , ketua DPR , Sekjen
DPR dihadapan wartawan dalam dan luar negeri presiden Soeharto menyampaikan
pengunduran dirinya. Setelahnya wakil presiden B.J. Habibie langsung dilantik
sebgai presiden menggantikan Soeharto dan diangkat sumpahnya menjadi presiden
RI ke-3 dihadapan pimpinan MA. Peristiwa ini disambut baik oleh masyarakat
terutama para mahasiswa yang berada di gedung MPR maupun DPR dan rezim
kekuasaan orde baru Soeharto resmi diruntuhkan dan era reformasi dimulai di
bahwah pemerintahan B.J. Habibie.
Gerakan reformasi dilakukan sebagai bentuk ungkapan kekecewaan yang
dirasakan oleh rakyat Indonesia dan dilakukan pada saat terjadi krisis
multidimensi di Indonesia. Dengan momentum reformasi itu persoalan status Timor
Timur yang sudah ada pada masa pemerintahan Soeharto menarik perhatian PBB dan
masyarakat Internasional diharapkan memperoleh kejelasan. Tetapi pada akhirnya
masalah status Timor Timur akhirnya lepas dari wilayah NKRI.
1.2.Rumusan Masalah
Masalah yang dapat dirumuskan dari latar belakang diatas adalah :
1.
Peristiwa-peristiwa apa sajakah yang mendorong Timor Timur lepas dari
wilayah NKRI ?
2.
Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pelepasan wilayah Timor Timur?
3.
Bagaimana upaya pemerintah Indonesia untuk mempertahankan wilayah Timor
Timur ?
1.3.Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang mendorong Timor Timur lepas dari
wilayah NKRI.
2.
Untuk mengetahui apa penyebab terjadinya pelepasan wilayah Timor Timur.
3.
Untuk mengetahui upaya pemerintah Indonesia mempertahankan wilayah Timor
Timur.
4.
Untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti UKK PKn di SMA Negeri 1 Bajarsari
tahun ajaran 2013/2014.
BAB II
PEMBAHASAN
Peristiwa-peristiwa
sekitar integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada tahun 1976 juga ikut
memegang peranan dalam hubungan Australia-Indonesia. Sesudah Portugis
meninggalkan bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975, Angkatan
bersenjata Indonesia memasuki Timor Timur pada bulan Desember 1975 dan kawasan
ini menjadi satu dengan Republik Indonesia di tahun 1976. Hal ini menyebabkan
perdebatan di Australia. Di samping itu, kematian lima wartawan Australia di
Timor Timur di tahun 1975 telah menjadi perhatian masyarakat Australia dan
media. Namun pada akhirnya Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor
Timur secara de jure tahun 1979. Namun dinamika politik dalam negeri Indonesia
telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden
Soeharto. Pada tanggal 30 Agustus 1999, melalui jajak pendapat, rakyat Timor
Timur memilih merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti
dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi. Australia kemudian
diminta oleh PBB untuk memimpin kekuatan internasional di Timor Timur atau International
Force in East Timor (disingkat INTERFET) dalam menjalankan tugasnya
untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal
20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan
Timor Timur dengan Indonesia.
2.1.Peristiwa-peristiwa yang Melatarbelakangi Lepasnya Timor Timur dari Wilayah
NKRI
1.
Integrasi Timor Timur 1976
Pada tahun
1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur
terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari
Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang
sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik
tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi ke
Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu FRETILIN
menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai Republik Demokratik
Timor Leste pada tanggal 28 November 1975. Menurut suatu laporan resmi dari
PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di
Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November, Fretilin melakukan
pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya wanita
dan anak2 karena para suami mereka adalah pendukung faksi integrasi dengan
Indonesia). Berdasarkan itulah, kelompok pro-integrasi kemudian mendeklarasikan
integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan
Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang
berhaluan Komunis.
Tiga Kuburan
Masal sebagai bukti pembantaian FRETILIN terhadap pendukung integrasi terdapat
di Kabupaten Aileu (bagian tengah Timor Leste), masing-masing terletak di
daerah Saboria, Manutane dan Aisirimoun. Ketika pasukan Indonesia mendarat di
Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN memaksa ribuan rakyat untuk
mengungsi ke daerah pegunungan untuk dijadikan tameng hidup atau perisai hidup
(human shields) untuk melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari
penduduk ini kemudian mati di hutan karena penyakit dan kelaparan. Selain
terjadinya korban penduduk sipil di hutan, terjadi juga pembantaian oleh
kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang lebih moderat.
Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN
selama di Hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti
Francisco Xavier do Amaral, Presiden Pertama Timor Leste yang mendeklarasikan
kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada
waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier di lubang tempat dia dipenjarakan
oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa lagi jadi Ketua Partai
ASDT di Timor Leste sekarang.
Selain Xavier,
ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan hilang di
hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN). Istri komandan
Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus menanyakan kepada para komandan
FRETILIN lain yang memegang kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang
keberakaan suaminya. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan
terhadap tentara Indonesia tentang keberadaan komandan Konis Santana dan
Mauhudu yang dinyatakan hilang di tangan tentara Indonesia. Selama perang
saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan (September-November 1975) dan
selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari 200.000
orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILN
menurut laporan resmi PBB). Selebihnya tidak diketahui apakah semuanya mati
kelaparan atau mati di tangan tentara Indonesia. Hasil CAVR menyatakan 183.000
mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan bahan kimia (tidak dirinci
bagaimana caranya), namun sejarah akan menentukan kebenaran ini, karena
keluarga yang sanak saudaranya meninggal di hutan tidak bisa tinggal diam dan
kebenaran akan terungkap apakah benar tentara Indonesia yang membunuh sejumlah
jiwa ini ataukah sebaliknya. Situasi aktual di Timor Leste akhir-akhir ini
adalah cerminan ketidak puasan rakyat bahwa rakyat tidak bisa hidup hanya dari
propaganda tapi dari roti dan air. Rakyat tidak bisa hidup dari “makan batu”
sebagaimana dipropagandakan FRETILIN selama kampanye Jajak Pendapat tahun 1999
“Lebih baik makan batu tapi merdeka, dari pada makan nasi tapi dengan todongan
senjata”. Kenyataan membuktikan bahwa “batu tidak bisa dimakan”, dan rakyat
perlu makanan yang layak dimakan manusia.
2.
Insiden Santa Cruz 1992
Benedict
Anderson dalam Nasionalisme, Asia Tenggara, dan Dunia (2002) mengatakan, lubang
hitam dalam sejarah Indonesia di pulau kecil sebelah utara lepas pantai
Australia itu cenderung ditutup-tutupi, termasuk jumlah penduduk Timor Timur
yang tewas akibat kelaparan, wabah, dan pertempuran 1977-1979. Padahal, menurut
Peter Carey (1995), jumlahnya melebihi
angkakematianpendudukKambojadibawahPolPot. Fakta sejarah ini amat jarang
diberitakan media Indonesia. Kalaupun ada, media yang memberitakan niscaya akan
menemui ajal. Majalah Jakarta-Jakarta, sebagai salah satu media populer,
misalnya, menjadi korban pemberitaan tentang Timor Timur tahun 1992.
Namun, meski
media dimatikan, cerita yang berkisah tentang Insiden Dili, 12 November 1991,
masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran Sejarah (Seno Gumira Ajidarma, Saksi
Mata, Penerbit Bentang, 1994) yang menjadi fiksi dari peristiwa Santa Cruz itu
ditulis oleh wartawan dari media yang terkena “pembredelan” pemerintah saat
itu. Bagi sang wartawan, cerpen atau fiksi merupakan cara lain untuk menyajikan
berita atau fakta sejarah yang sengaja disembunyikan, bahkan dihilangkan. Maka,
sejarah bukan sekadar catatan penyebab kejadian pada masa lalu, tetapi juga
demi menyiapkan akibat selanjutnya pada masa kini.
Insiden Santa
Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah penembakan pemrotes
Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12 November 1991. Para
pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap
pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes, yang
ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah
mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen dari Portugal, yang masih diakui
oleh PBB secara legal sebagai penguasa administrasi Timor Timur. Rencana ini
dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai
anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang
mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.
Dalam prosesi
pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan
kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat
prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari
orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250
menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal
Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini
disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan Nairn; dan
terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk
Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan
pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita
Belanda untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang
Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan
penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin.
Video tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In
Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada
Januari 1992.
Tayangan
tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat mempermalukan
permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki
komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes keras. Banyak rakyat
Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah
meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang
melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis.
Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan
pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa
yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah
berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II.
Meskipun hal
ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik mereka,
bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri
Gareth Evans, merupakan ‘suatu penyimpangan’. Pembantaian ini (yang secara
halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah Indonesia) disamakan dengan Pembantaian
Sharpeville di Afrika Selatan pada 1960, yang menyebabkan penembakan mati
sejumlah demonstran yang tidak bersenjata, dan yang menyebabkan rezim apartheid
mendapatkan kutukan internasional.
2.2. Faktor
Penyebab Lepasnya Timor-Timur dari Wilayah NKRI
a.
Tidak terpenuhinya hak-hak dasar rakyat seperti kesejahteraan,
keadilan,
keamanan, pendidikan, dan kesehatan. Belum lagi minimnya sarana pendidikan,
kesehatan, maupun transportasi di sana. Perkara inilah yang membuat saudara-saudara
kita di timor timur tertarik dengan ide kemerdekaan.
b.
Lemahnya kesadaran politik masyarakat. Ide-ide disintegrasi yang dimainkan oleh
asing gampang diterima masyarakat, padahal disintegrasi merupakan alat
permainan negara-negara kapitalis penjajah. Yang diuntungkan dari disintegrasi
adalah negara-negara penjajah. Karena itu, meminta bantuan kepada negara-negara
kapitalis penjajah sesungguhnya bukanlah solusi, tetapi justru akan menimbulkan
penderitaan.baru.
2.3. Upaya Pemerintah dalam Rangka Mempertahankan Timor Timur
1.
Otonomi luas yang diberikan pada timor timur
2.
Kebebasan berupa jejak pendapat bagi masyarakat timor timur untuk
memilih tetap menjadi bagian indonesia ataukah memisahkan diri dan
merdeka
3.
Kebijakan presiden B.J. Habibiedengan memberikan opsi referendum untuk mencapai
solusi final atas masalah timor timur
Munculnya
tekanan-tekanan dari masyarakat internasional menanggapi kasus-kasus yang
terjadi di timor timur itu memaksa Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan guna
mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur. Tekanan ini juga mendorong
Pemerintah Indonesia untuk membahas masalah ini ke tingkat internasional.
Akhirnya, pada Juni 1998, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberikan
status khusus berupa otonomi luas kepada Timor Timur. Usulan Indonesia itu
disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak lanjutnya, PBB pun mengadakan
pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal, dan PBB. Selama pembicaraan
ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro kemerdekaan dan pro integrasi di
Timor Timur. Kerusuhan ini semakin manambah kecaman dari dari masyarakat
internasional, khusunya dari negara-negara Barat, yang merupakan sasaran
utama speech act dalam usaha sekuritisasi kasus Timor Timur.
Berangkat dari
pembicaraan tiga pihak serta kecaman yang semakin keras dari dunia
internasional, Indonesia memutuskan untuk melaksanakan jajak pendapat rakyat
Timor Timur dilakukan secara langsung. Menanggapi keputusan Indonesia tersebut,
pihak-pihak yang berada dalam pembicaraan segitiga di atas menyepakati
Persetujuan New York yang mencakup masalah teknis dan substansi jajak pendapat.
Jajak pendapat pun berakhir dengan kemenangan di pihak pro kemerdekaan Timor
Timur. Dengan kemenangannya ini, Timor Timur meraih kedaulatan sebagai sebuah
negara.Kedaulatan negara merupakan satu hal yang selama ini dikejar oleh pihak
Timor Timur. berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia, yang
dibuktikan oleh Peristiwa Santa Cruz menjadi batu loncatan bagi usaha
sekuritisasi perjuangan meraih kembali kedaulatan Timor Timur.
Kunci dari
berhasilnya perjuangan meraih kemerdekaan Timor Timur adalah dukungan
internasional. Oleh karena itu sekuritisasi menjadi hal yang sangat penting
untuk dilakukan oleh Timor Timur. Berbagaispeech act telah
dilakukan oleh securitizing actor untuk meraih dukungan
internasional. Usaha sekuritisasi ini mencapai keberhasilannya tidak hanya saat
Timor Timur merdeka dari Indonesia, namun juga saat sejumlah negara mulai
mendukung perjuangan kemerdekaan Timor Timur.
Pada HUT ke-10
The Habibie Center, mantan Presiden BJ Habibie menyatakan Timor Leste tidak
pernah masuk Proklamasi RI. Alasannya, karena yang diproklamasikan adalah
Hindia Belanda (Kompas, 9/11/2009). Pernyataan ini patut pula kita salami
karena terkait masa lalu Indonesia yang secara historis banyak menyimpan
anakronisme yang menyamarkan beragam fakta. Timor Leste adalah contoh. Semula
negeri itu dianggap berintegrasi ke NKRI sebagai Timor Timur. Ternyata bekas
koloni Portugis itu dianeksasi melalui semacam invasi militer tahun 1975.
Dinamika
politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya
Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Di bulan Januari 1999, diumumkan bahwa
Indonesia akan menawarkan otonomi kepada Timor Timur. Jika rakyat Timor Timur
menolak tawaran ini, maka Indonesia akan menerima pemisahan diri Timor Timur
dari Republik Indonesia. Pada tanggal 5 Mei 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), Indonesia dan Portugis menandatangani Perjanjian Tripartit yang menyatakan
bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak pendapat di Timor-Timur. Rakyat diminta
memilih apakah Timor Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia ataukah Timor
Timur menjadi negara merdeka. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai
isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk
pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal ini,
oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.
Di akhir 1998,
Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa
Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah
Timor Timur.
Beberapa pihak
meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim
Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie
yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi
referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya
berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right
of self-determination) bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia
menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di
Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya
otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah
dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie
sendiri.
Aksi kekerasan
yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan pemerintahan
Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama,
Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi
referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional.
Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling
ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu.
Di hari-hari jatuhnya Suharto dari kursi kepresidenannya, Jenderal Wiranto
dilaporkan bersedia mendukung Habibie dengan syarat Habibie mengamankan posisinya
sebagai Panglima TNI. Sementara itu, Habibie meminta Wiranto mendukung
pencalonan Akbar Tanjung sebagai Ketua Golkar pada bulan Juli 1998. Hal ini
cukup sulit bagi Wiranto karena calon lain dalam Kongres Partai Golkar adalah
Edi Sudrajat yang didukung oleh Try Sutrisno, kesemuanya adalah mantan senior
Jenderal Wiranto. Namun Wiranto tidak memiliki pilihan lain dan
menginstruksikan semua pimpinan TNI di daerah untuk mendorong semua ketua
Golkar di daerah untuk memilih Akbar Tanjung Habibie kehilangan legitimasi
baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia
dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung
langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung
milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur
setelah referendum.
Di mata publik
domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen nasionalis,
terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia
masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi
pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI
sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya
peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi segera setelah
jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
Tanggal 30
Agustus merupakan tanggal yang sangat sakral dalam dinamika perpolitikan Negara
yang seumur jagung ini. Pada hari itu diadakan jajak pendapat di Timor Leste
(pada saat itu masih bernama Timor Timur). Jajak pendapat inilah yang nantinya
berujung pada kemerdekaan (bekas) provinsiTimor Timur ini. Pada akhirnya, hasil
jajak pendapat tersebutlah yang dapat menjawab nasib rakyat Timor Leste
selanjutnya. Sebagian besar rakyat Timor Timur lebih memilih untuk merdeka
(78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang
meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi.
Seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada akhirnya, pasukan Australia lah yang
menjadi pahlawan dalam kasus ini. Australia telah memperhitungkan semua ini
secara cermat dan tepat. Australia memainkan peranan pokok dalam memobilisasi
tanggapan internasional terhadap krisis kemanusiaan yang membayang nyata.
Pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur.
Jakarta menyetujui keterlibatan angkatan internasional pemilihara keamanan di
kawasan ini. Australia diminta oleh PBB untuk memimpin angkatan tersebut, dan
menerima tugas ini. Kekuatan internasional di Timor Timur atau International
Force in East Timor (disingkat INTERFET) telah berhasil dikirim ke
Timor Timur dan menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan
keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
Terkait hal
ini, SBY pernah menyatakan bahwa hasil jajak pendapat di Timor Timur pada 1999,
merupakan buah dari reformasi di Indonesia. Sebagaimana negara Indonesia
mengakui Timor Leste yang merdeka, MPR saat itu pada 1999 mengakui hasil jajak
pendapat tersebut.
Sejak awal
2000, kedua pemerintahan pemerintahan mencari pemecahan masa lalu, yang terjadi
menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat. Pertama melalui
pendekatan hukum dan cara kedua melalui pendekatan kebenaran dan persahabatan
yang tidak berujung pada peradilan. Kedua pemerintahan sepakat untuk menempuh
yang kedua melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Juga harus diketahui,
adalah presiden, waktu itu Menteri Luar Negeri Horta dan Xanana, yang menganjurkan
kepada pemerintah Indonesia memilih kata persahabatan karena rekonsiliasi
sesungguhnya telah terjadi.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Dalam
pelaksanaannya, politik luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh faktor internal
dan eksternal yang berkembang sesuai dengan dinamika yang terjadi. Dinamika
kondisi internal di Indonesia yang berpengaruh besar terhadap arah pelaksanaan
politik luar negeri Indonesia antara lain ditandai dengan krisis ekonomi yang
parah, di mana krisis ini dengan segera menjadi pemicu berbagai aksi unjuk rasa
masyarakat, kerusuhan sosial, krisis kepercayaan, serta maraknya
gerakan-gerakan separatis di Indonesia yang berujung pada proses disintegrasi
seperti yang terjadi pada kasus Timor Timur. Adanya perubahan dinamika kondisi
internal tersebut telah memaksa pemerintah untuk menyesuaikan politik luar
negerinya sesuai dengan tuntutan zaman bagi kepentingan nasional. Situasi
sosial politik dan keamanan serta masalah ekonomi di tanah air juga menjadi
pertimbangan utama dalam pelaksanaan politik luar negeri. Gerakan
separatis yang mengarah pada pemisahan diri atau disintegrasi dari Indonesia
harus dicermati agar pintu masuknya penjajah dalam rangka mengendalikan
Indonesia dapat ditutup rapat-rapat. Dan jika dilihat pada kasus Timor Timur,
terdapat upaya internasionalisasi konflik domestik yang pada akhirnya
mengokohkan intervensi Negara-Negara asing untuk memisahkan wilayah konflik
tersebut dari induknya, Indonesia. Sehingga di sini, politik luar negeri
Indonesia ditujukan untuk menjaga kekuatan Indonesia, persatuan bangsa, serta
stabilitas nasional.
3.2.Saran
Menurut kami,
pemerintah tidak seharusnya mengambil jalur voting untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi di Timor Timur karena pada saat itu Timor Timur
sedang dipengaruhi oleh negara lain. Indonesia pada saat itu belum menyadari
bahwa di sana terdapat bahan dasar pembuat nuklir, sementara negara lain sudah
lebih dulu menyadarinya. Indonesia juga terlalu percaya bahwa Timor Timur akan
memilih masuk NKRI, namun Indonesia tidak mengetahui bahwa negara lain telah
menawarkan sejumlah keuntungan jika keluar dari NKRI juga telah melakukan
tindakan konkrit dalam membangun Timor Timur, semisal membangun patung Yesus
terbesar di dunia setelah di Rio, Brasil.
DAFTAR PUSTAKA
http://yanthie95.blogspot.com/2013/12/makalah-permasalahan-timor-timur.html
http://www.mabesad.mil.id/artikel/170706timor.htm
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/11/16/brk,20081116-146219,id.html
Downer, Alexander (Menteri Luar Negeri
Australia). 2000. East Timor – looking back on 1999, Australian
Journal of International Affairs, vol.54/1 , hal.5.
Richburg, Keith. 1999. Seven days in
May that toppled a titan: back-room intrigue led to Suharto’s fall
Aspinall, E., Van Klinken, G., Feith, H.
(eds), The last days of President Suharto(Monash University: Monash
Asia Institute, hal.70.
0 Response to "MAKALAH : LEPASNYA TIMOR TIMUR DARI WILAYAH NKRI "
Posting Komentar