Makalah Artritis Septic
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis
sebagai suatu penyakit sistemik yang dapat menyerang berbagai organ termasuk
tulang dan sedi. Lesi pada tulang dan sendi hampir selalu disebabkan penyebaran
hematogen dari kompleks primer pada bagian tubuh lain. Biasanya tejadi 6 – 36
bulan setelah infeksi primer, tetapi dapat saja timbul bertahun – tahun
kemudian.
TB tulang merupakan salah
satu jenis penyakit baru dari tuberkulosis, yang tidak menyerang
paru, tetapi menyerang susunan tulang. Kuman mycobacterium tuberculosis, yang biasa menyerang
paru-paru, ternyata bisa mengalami mutasi dan menyerang tulang, terutama susunan tulang belakang, yang bisa menyebabkan
kerapuhan atau kerusakan struktur tulang.
Pada tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi
sekitar 9 juta penderita baru TB dengan kematian 3 juta orang (WHO, treatment
of tuberculosis, guidelines for national programmes, 1997). Dinegara-negara
berkembang kematian TB merupakan 25% dari seluruh kematian. Diperkirakan 95%
penderita TB berada dinegara berkembang, 75% penderita TB adalah kelompok usia
produktif (15-50 tahun).
Di Indonesia
pada tahun 1995, hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukan bahwa
penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskular
dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari
golongan penyakit infeksi.
Tahun 1999, WHO
memperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 583.000 kasus TB baru dengan
kematian karena TB sekitar 140.000. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000
penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru TB paru BTA positif.
Timbulnya TB
tulang terjadi pada tahun-tahun terakhir ini, penyakit ini belum tuntas diberantas.
Kondisi ini masih lebih sering terjadi dibandingkan tumor tulang primer, lesi
kemerahan dan kelainan bentuk yang mengakibatkan kelumpuhan, yang dahulu sering
ditemukan dan kini jarang terlihat.
Penyebaran
secara hematogen dari infeksi tulang dianggap berasal dari paru-paru dan
mungkin terjadi ketika infeksi primer atau dari post primary foci.
Radiografi
thorak, menunjukkan penyakit aktip TBC sedikitnya 50% dari kasus. Organisme ini
rupanya memiliki masa dormant dan kemudian dapat menjadi aktif lagi. Bacillus
ini berada di dalam spongiosa dari metafisis tulang panjang. Pengaruh pada
Colum vertebral ada dalam 50% kasus. Lesi biasanya tunggal, walaupun ada juga
gambaran multifokal kistik pada tulang. Gambaran ini sering terjadi pada
anak-anak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
definisi dari arthritis septic atau TB tulang ?
2. Apa
saja etiologi dari arthritis septc ?
3. Bagaimana
stadium dari arthritis septic?
4. Apa
saja factor resiko dari arthritis septic?
5. Bagaimana
manifestasi klinis dari arthritis septic?
6. Bagaimana
patofisiologi dari arthritis septic?
7. Bagaimana
penatalaksanaan dari arthritis septic?
8. Bagaimana
pemeriksaan diagnostic untuk arthritis septic?
9. Bagaimana
konsep asuhan keperawatan pada arthritis septic?
C. Tujuan
1.
Menjelaskan definisi arthritis septic.
2.
Menjelaskan etiologi dari arthritis septic.
3.
Menjelaskan stadium arthritis septic.
4.
Menjelaskan factor resiko dari arthritis septic.
5.
Menjelaskan tanda dan gejala pada arthritis septic.
6.
Menjelaskan patofisiologi dari arthritis septic.
7.
Menjelaskan patofisiologi arthritis septic.
8.
Menjelaskan pemeriksaan diagnostik pada arthritis septic.
9.
Menjelaskan konsep asuhan keperawatan pada arthritis septic.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Arthritis septic adalah sendi yang mengalami infeksi akibat penyebaran
dari infeksi ditempat tubuh lain (penyebaran hematogenesus) atau secara
langsung akibat trauma atau intervensi bedah (Putra, diakses pada 25 Maret
2013).
Artritis Septik
(AS) merupakan salah satu penyakit yang merupakan kegawatdaruratan di bidang
rematologi terutama bila kuman penyebabnya bakteri yang dihubungkan
dengan kesakitan dan kematian yang signifikan. Keterlambatan dan terapi yang
tidak adekuat terhadap SA dapat mengakibatkan kerusakan kartilago hyalin
artikular dan kehilangan fungsi sendi yang ireversibel. Diagnosis awal yang
diikuti dengan terapi yang tepat dapat menghindari terjadinya kerusakan dan
kecacatan sendi ( Fitraneti, 2011).
Artritis tuberkulosis merupakan
penyakit kronis progresif monoarticular yang terjadi pada semua kelompok umur, khususnya
dewasa. Biasanya penyebaran dari viseral (biasanya paru)
yang terkena infeksi. Onset yang berbahaya
dan menyebabkan nyeri progresif yang bertahap (Robbins and Cotran, 1944).
Artritis
tuberculosa merupakan manifestasi local tuberculosis dari focus dan tempat
lain. Umumnya tempat monoartikular (80 %) dan 20 % tempat poli artikular dari
penyebaran secara hematogen dan umumnya disebabkan oleh ekstensi langsung
infeksi dari osteomelitis tuberculosa pada efifisis. Sendi yang terserang
terutama adalah sendi lutut, pinggul, pergelangan kaki, jari-jari dan sendi
bahu (Muttaqin, 2008).
B. Etiologi
Stapylococcus
aureus merupakan bakteri yang sering menyebabkan arthritis bacterialis dan
osteomelitis pada manusia. Diduga, kemampuan sthapylococcus aureus untuk
menginfeksi sendi berhubungan dengan interaksi antara bakteri tersebut dengan
komponen matriks ekstrasululer.
Produk-produk
bakteri seperti endotoksin (lipopolisakarida) bakteri gram negative, fragmen
dinding sel bakteri gram positif dan kompleks imun akan merangsang sel-sel
synovial untuk melepaskan TNF- α (tumor necrosis
factor alfa) dan IL – 1 β (Interleukin-1
beta) yang akan mencetuskan infiltrasi dan
aktivasi sel-sel PMN (Poly Morpho Nuclear).
Bakteri akan difagositosis oleh vacuolated synovial linning ells dan sel – sel
PMN. Sel-sel fagositik tersebut, memiliki sistem bakterisidal, kemampuannya mematkan
bakteri tergantung pada virulensi bakteri yang menginfeksi. Komponen bakteri
yang membentuk kompleks antigen-antibodi,
akan mengaktifkan komplemen
melalui jalur klasik, sedangkan toksin bakteri akan mengaktifkan komplemen
melalui jalur alternative. Fagositosis bakteri yang mati oleh sel-sel PMN, juga
dapat menyebabkan autolysis sel, PMN akan melepaskan enzim lisozomal kedalam
sendi yang menyebabkan kerusakan synovial, ligament dan rawan sendi. Selain
itu, sel PMN dapat merangsang metabolisme asam arakidonat dan melepaskan
kolagenase, enzim-enzim proteolitik dan IL-1 sehingga reaksi inflamasi
bertambah hebat.
Organism cultured from 56
cases of acute septic arthritis
Organism
|
Number of cases
|
Staphylococcus aureus
Haemophilus influenza
Haemophilus para-influenza
Streptococcus pyogenes
Califorms
Streptococcus pneumonia
Streptococcus viridians
Staphylococcus albus
Anaerobic Gram-positive cocci
Meningococcus
|
27
10
3
8
2
2
1
1
1
1
|
Sumber : THE JOURNAL OF BONE
AND JOINT SURGERY
C. Stadium Arthritis Septic
Apley
membagi 3 stadium, yaitu (Muttaqin, 2008):
1.
Stadium akut.
Ditemukannya
peradangan local berupa kemerahan, pembengkakan sendi, atropi otot. Dengan
pemeriksaan radiologi, terlihat adanya refraksi tulang. Pada stadium dini
terjadi peradangan sinovium (sinovitis), pembengkakan sinovium, dan belum
terdapat kerusakan tulang rawan.
2.
Stadium Penyembuhan
Pada
stadium ini terjadi penyembuhan secara berangsur-angsur. Gejala klinis seperti
panas dan nyeri menghilang serta terjadi klasifikasi pada tulang.
3.
Stadium Residual
Bila
penyembuhan penyakit terjadi sebelum ada kerusakan pada sendi, akan terjadi
penyembuhan sempurna, tetapi bila telah terjadi kerusakan pada tulang rawan
sendi, akan terdapat gejala sisa/sekuela yang bersifat permanen berupa fibrosis
dan deformitas sendi.
D. Faktor resiko
Sendi
lutut sering dikenai dan biasanya bersifat indolent monoartritis. Beberapa
faktor resiko antara lain (Sudoyo,dkk.2009) :
1.
Protesis pada sendi lutut dan sendi panggul
disertai infeksi kulit.
2.
Infeksi kulit tanpa protesis.
3.
Protesis panggul dan lutut tanpa infeksi lutut
tanpa infeksi kulit.
4.
Umur lebih dari 80 tahun.
5.
Diabetes Melitus.
6.
Artritis Rheumatoid yang mendapat pengobatan
imunosupresif.
7.
Tidakan bedah persendian.
Tuberkulosis
sendi dan tulang terutama mengenai daerah tulang belakang (50 – 70 %) dan
sisanya pada sendi – sendi besar seperti panggul, lutut, pergelangan tangan,
sendi bahu dan daerah persendian kecil.
E. Manifestasi Klinis
Pasien
dengan Artrits Septic Akut di tandai dengan (Sudoyo,dkk.2009):
1.
Nyeri sendi hebat.
2.
Bengkak sendi.
3.
Kaku dan gangguan fungsi sendi.
4.
Demam.
5.
Kelemahan umum.
F. Patofisiologi
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi
berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus
vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis
dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis,
diskus intervertebralis, dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan
korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis.
Kemudian eksudat ( yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang
fibrosis serta basil tuberkulosa ) menyebar ke depan, di bawah ligamentum
longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke
berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah.
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis
dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat
dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal
sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat
trakea, esofagus, atau kavum pleura.
Abses pada vertebra thorakalis biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks
setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan
fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul
paraplegia.
Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan
muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat
menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah
femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea.
Kumar membagi perjalanan
penyakit ini dalam 5 stadium, yaitu :
1. Stadium Implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6 – 8
minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak – anak
umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium Destruksi Awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra
serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 – 6
minggu.
3. Stadium Destruksi Lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk
massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses ( abses dingin ), yang
terjadi 2 – 3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk
sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk
tulang baji terutama di sebelah depan ( wedging anterior ) akibat kerusakan
korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi,
tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. gangguan ini
ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra
thorakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan
neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia, yaitu :
Derajat I : Kelemahan pada
anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktifitas atau setelah berjalan
jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
Derajat II : Terdapat
kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat melakukan
pekerjaannya.
Derajat III: Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipestesi/anestesia
Derajat IV : Terjadi
gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan miksi.
Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi
secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3 – 5 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra
yang masif di sebelah depan.
F. Penatalaksanaan
1.
Pada dugaan terhadap kemungkinan arthritis
bacterial, aspirasi cairan sendi harus segera dilakukan untuk analisis,
pewarnaan gram dan kultur cairan sendi.
2.
Bila cairan sendi bersifat purulen dan atau
ditemukan bakteri pada pewarnaan gram, segera diberikan antibiotic berspektrum
luas. Karena pada umumnya disebabkan oleh S.Aureus, maka pilihan utama
antibiotika adalan penicillin, kloksasilin, klindamisin atau netilmisin yang
diberikan secara parenteral. Pilihan antibiotic yang lain adalah kombinasi
ampisilin dan sulbaktam. Bila alergi terhadap penicillin dapat diberikan
vankomisin atau klindamisin. Bila pewarnaan didapatkan cocus gram positif,
pilihan antibiotic adalah vankomisin. Bila didapatkan basil gram negative,
terutama pada pasien dengan daya tahan tubuh yang menurun, harus diberikan
golongan aminoglikosida atau penicili anti pseudomonas atau cephalosporin
geenerasi ke 3. Bila didapatkan bakteri gram negative pada orng muda sehat,
maka pilihan antibiotic adalah penicillin atau septriakson. Pada neonates dan
anak dibawah 2 tahun, antibiotic harus dipilih yang dapat mematikan H. influenzae,
S. Aureus, dan streptokokus grup B.
3.
Setelah ada hasil kultur cairan sendi maka
antibiotic diganti dengan yang telah sesuai dengan dosis yang adekuat.
4.
Joint drainage harus dilakukan dengan baik, baik
dengan aspirasi jarum, artroskopi atau artrotomi.
5.
Tindakan bedah harus dipertimbangkan jika
keadaan sebagai berikut :
a.
infeksi koksae pada anak anak
b.
Sendi sendi yang sulit dilakukan joint drainage secara adekuat baik secara
aspirasi jarum maupun karena letak anatominya
c.
Bersamaan dengan osteomielitis
d.
Infeksi berkembang ke jaringan lunak sekitarnya
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Foto rontgen
Misalnya
pada tuberculosis tulang belakang akan dijumpai hilangnya sudut anterior
superior atau inferior dari badan vertebra dan hilangnya rongga antar vertebra.
2. Tes darah
Tes
darah terhadap titer anti- stafilococus dan anti – streptolisisn hemolisin,
tifoid, paratifoid, dan bruselosis dapat membantu penegakan diagnosis pada
kasus sulit dan pada pusat-pusat dengan pusat yang memadai. Leukosit kadang
meningkat sampai 50.000/mm3 (nilai normal : 4.000-10.000/mm3).
3. Biopsi jrum
Juga
dapat bermanfaat pada kasus sulit, namun membutuhkan pengalaman serta
pemeriksaan histology yang baik.
4. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan
ini terutama untuk melihat jaringan lunak yaitu diskus intervertebralis dan
ligamentum flavum serta lesi dalam sum-sum tulang belakang.
5. Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan
CT Scan dengan mielografi. Pemeriksaan mielografi dilakukan bila terdapat
gejala-gejala penekanan sum-sum tulang belakang.
H. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Arthritis Septic
1. Pengkajian
Keperawatan
a.
Anamesis
1)
Identitas klien meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, no.regist, asuransi
kesehatan, dan diagnostic medis.
Keluhan utama
yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah
paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang,
dan adanya nyeri tulang belakang. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang nyeri klien, perawata dapat menggunakan metode PQRST.
Provoking Insident : hal yang menjadi factor
presipitasi nyeri adalah adanya peradangan pada tulang belakang.
Quality Ofpain : Nyeri yang dirasakan klien
bersikap menusuk. Nyeri sering disertai dengan adanya parestesia. Factor yang
mengurangi nyeri dikaji karena pada beberapa keadaan, kualitas dan kuantitas
nyeri berkurang dengan manajemen nyeri keperawatan yang meliputi pengaturan
posisi, relaksasi napas dalam, metode distraksi, manajemen sentuhan dengan
masase ringan disekitar lokasi nyeri.
Region, Radiation, Relieft : kaji apakah nyeri
dapat reda, apakah nyeri menjalar atau menyebar karena pada beberapa kasus,
nyeri sering menajalar dari tulang belakang ke pinggul dan menjalar ke tungkai.
Selain itu, kaji dimana nyeri terjadi, apakah nyeri terlokasi, dan sebatas apa.
Severity ( Scale ) Ofpaint : nyeri biasanya 1-3
pada penilaian skala nyeri 0-4.
Time : berapa lama
nyeri berlangsung, kapan, apakah kondisi nyeri berlangsung terus menerus atau
hilang timbul.
2)
Riwayat penyakit sekarang. Keluhan
yang didapat hamper sama dengan gejala tubercolosis pada umunya, yaitu badan
lemah/ lesu, nafsu makan berkurang, BB menurun, suhu sedikit meningkat (
subfebril ) terutama pada malam hari, serta sakit punggung. Pada anak-anak
sering disertai dengan menangis pada malam hari ( night cries ). Pada
tubercolosis vertebra servikalis, dapat ditemukan nyeri didaerah belakang
kepala, gangguan menelan, dan gangguan pernapasan akibat adanya abses
retrofaring. Kadang kala klien dating dengan gejala abses pada daerah
paravertebral, abdominal, inguinal, popliteal, atau bongkong
3)
Riwayat Penyakit Dahulu. Ada keluhan
riwayat TB paru dan penggunaan obat anti tubercolosis ( OAT ). Penyakit lainnya
seperti hipertensi, DM perlu juga di
kaji untuk mengindetifikasi penyulit pada penatalaksanaan dan implementasi
keperawatan.
4)
Pengkajian psikososiospiritual.
Perawat mengkaji mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respon
emosi klien terhadap penyakit yang di deritanya dan perubahan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat, serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Adanya perubahan
berupa paralisis anggota gerak bawah memberikan manifestasi yang berbeda pada
setiap klien yang mengalami spondilitis tuberkolosa.
Karena klien
harus menjalani rawat inap, kaji apakah keadaan ini memberi dampak pada status
ekonomi klien. Hal ini dilakukan karena perawatan dan pengobatan memerlukan
dana yang tidak sedikit. Spondilitis tuberkolosa memerlukan biaya untuk
pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan yang dapat mengacaukan keuangan keluarga
sehingga factor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien
dan keluarga. Perawat juga memasukkan pengkajian fungsi neurologis mengenai
dampak hambatan mobilitas terhadap gaya hidup individu. Perspektif keperawatan
dalam mengkaji terdiri atas dua masalah, yaitu ketrbatasan yang diakibatkan
oleh hambatan mobilitas dalam hubungannya
dengan peran social klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung
adaptasi hambatan mobilitas musculoskeletal dalam system dukungan individu.
b. Pemeriksaan fisik
Setelah
melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat
berguna untuk mendukung data pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya
dilakukan persistem (B1-B6) dengan focus pemeriksaan B6 (bone) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan klien.
1) Keadaan umum
Klien
umumnya tidak mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan tanda-tanda vital
yang meliputi bradikardia dan hipertensi sering berhubungan dengan penurunan
aktivitas secara umum akibat adanya hambatan dalam melakukan mobilisasi
ekstermitas.
2) B1 (Breathing)
Hasil
pemeriksaan fisik sistem ini pada klien spondilitis tuberculosa dengan fase
penurunan aktivitas yang parah adalah pada infeksi didapatkan bahwa klien
batuk, ada peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu
napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Pada palpasi, ditemukan taktil
premitus seimang kanan dan kiri. Pada perkusi, ditemukan adanya resonan pada
seluruh lapang paru. Pada auskultasi, didapatkan suara napas tambahan, seperti
ronchi pada klien dengan peningkatan produksi secret, dan kemampuan batuk yang
menurun yang sering ditemukan pada klien spondilitis tuberculosa dengan
penurunan tingkat kesadaran koma. Pada klien spondilitis tuberculosa fase awal,
biasanya tidak didapatkan kelainan pada sistem pernapasan.
3) B2 (Blood )
Pada
keadaaan spondilitis tuberculosa dengan komplikasi paraplegia yang lama
diderita biasanya akan didapatkan adanya hipotensi ortostatik (penurunan
tekanan darah sistolik ≤ 25 mmHg dan diastole ≤ 10 mmHg ketika klien bangun
dari posisi beraring ke posisi duduk). Pada klien spondilitis tuberculosa tanpa
paraplegia biasanya tidak didapatkan kelainan pada sistem kardiovaskuler.
4) B3 (Brain)
Tingkat
kesadaran biasanya compos mentis.
a) Kepala : tidak ada gangguan, yaitu normosefalik,
simetris, tidak ada penonjolan, sering didapatkan adanya nyeri belakang kepala.
b) Leher : pada spondilitis tuberculosa yang mengenai
vertebra servikalis, sering didapatkan adanya kekakuan leher sehingga
mengganggu mobilisasi leher dalam melakukan rotasi, fleki, dan ekstensi kepala.
c) Wajah : wajah terlihat menahan sakit, tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Wajah simetris, tidak ada lesi dan edema.
d) Mata : tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak
anemis.
e) Telinga : tes bisik atau weber masih dlam keadaan
normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
f)
Hidung : tidak ada deformitas, tidak ada
pernapasan cuping hidung.
g) Mulut dan Faring : tidak ada pembesaran tonsil, gusi
tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
h) Pemeriksaan fungsi serebral. Status mental: observasi
penampilan dan tingkah laku klien, biasanya status mental klien tidak menglami
perubahan.
Pemeriksaan
saraf cranial:
a) Saraf I. biasanya pada klien spondilitis tuberculosa
tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
b) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan dalam kondisi
normal.
c) Saraf III , IV, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan
mengngkat kelopak mata, pupil isokor.
d) Saraf V. Klien spondilitis tuberculosa umumnya tidak
mengalami paralis pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada
kelainan.
e) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan
wajah simetris.
f)
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli
konduktif dan tuli persepsi.
g) Saraf IX dan X. secara sensorik, kemampun menelan
baik, tetapi adanya gangguan menelan lebih sering disebabkan oleh adanya abses
faring sehingga mengganggu klien dalam proses menelan karena adanya sensori
nyeri menelan.
h) Saraf XI. Tidak ada atropi otot sternokleido-mastoideus
dan trapeziuz.
i)
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi
pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
Pemeriksaan
refleks : biasanya tidak terdapat refleks patologis.
5) B4 (Bladder)
Pada
spondidlitis tuberculosa daerah torakal dan servikal, tidak ada kelainan pada
sistem ini. Pada spondilitis tuberculosa daerah lumbal, sering didapatkan
keluhan inkontinensia urine, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan
eliminasi urine.
6) B5 (Bowel)
Inspeksi
abdomen : bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. Palpasi : turgor baik,
tidak ada kejang otot abdomen akibat adanya abses pada lumbal, hepar tidak
teraba. Perkusi : suara timpani, ada pantulan gelombang cairan. Auskultasi:
peristaltic usus normal ± 20x / menit. Inguinal-genitalia-anus: tidak ada
hernia, tidak ada pembesaran lomfe, tidak ada kesulitan BAB. Pola nutrisi dan
metabolisme: pada klien spondilitis tuberculosa, sering ditemukan penurunan
nafsu makan dan gangguan menelan karena adanya stimulus nyeri menelan dari
abses faring sehingga pemenuhan nutrisi menjadi berkurang.
7) B6 (Bone)
a) Look. Kurvatura tulang belakang mengalami deformitas
(kifosis) terutama pada spondilitis tuberculosa daerah torakal. Pada spndilitis
tuberculosa daerah vertebra lumbalis, hampir tidak terlihat deformitas, tetapi
terlihat adanya abses pada daerah bokong dan pinggang. Pada spondilitis
tuberculossa daerah servikal, terdapat kekakuan leher.
b) Feel. Kaji adanya nyeri tekan pada daerah spondilitis.
c) Move. Terjadi kelemahan anggota gerak (paraparesis dan
paraplegi) dan gangguan pergerakan tulang belakang. Pergerakan yang berkurang
tidak dapat dideteksi didaerah toraks, tetapi mudah diamati pada tulang
belakang ; punggung harus diperhtikan dengan teliti, sementara gerakan dicoba.
Biasanya seluruh gerakan terbatas dn usaha tersebut menimbulkan spasme otot.
Uji uang logam dapat menilai seorang anak yang mengalmi spasme lumbal. Bila
anak mengambil uang dari lantai, ia cenderung membongkokkan pinggul dan lutut,
bukan membungkukkn tulang belakang.
2. Diagnosa
Keperawatan
a.
Hambatan mobilitas fisik yang b.d paraplegia,
paralysis ekstremitas bawah.
b.
Nyeri b.d kompresi saraf dan reflex spasme otot
sekunder pada tulang belakang.
c.
Hipertermi b.d proses peradangan pada sendi
d.
Ansietas b.d krisis situasional, ancaman
terhadap konsep diri, perubahan status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran.
BAB III
PENUTUP
Arthritis septic adalah sendi yang mengalami infeksi akibat penyebaran
dari infeksi ditempat tubuh lain (penyebaran hematogenesus) atau secara
langsung akibat trauma atau intervensi bedah (Putra, diakses pada 25 Maret
2013).
Stapylococcus
aureus merupakan bakteri yang sering menyebabkan arthritis bacterialis dan
osteomelitis pada manusia. Diduga, kemampuan sthapylococcus aureus untuk
menginfeksi sendi berhubungan dengan interaksi antara bakteri tersebut dengan
komponen matriks ekstrasululer.
Pasien
dengan Artrits Septic Akut di tandai dengan (Sudoyo,dkk.2009): Nyeri sendi
hebat, bengkak sendi, kaku dan gangguan fungsi sendi, demam, kelemahan umum.
Daftar Pustaka
Fitranedi,
Elvi. (2011). Artritis Septic.
Diakses pada tanggal 25 maret 2013 di
http://drelvifitraneti.blogspot.com/2011/01/artritis-septik.html
Muttaqin,
Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien
Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC.
0 Response to "Makalah Artritis Septic "
Posting Komentar