MAKALAH PENDIDIKAN KARAKTER
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Perkelahian, pembunuhan, kesenjangan sosial,
ketidakadilan, perampokan, korupsi, pelecehan seksual, penipuan, fitnah terjadi
di mana-mana. Hal itu dapat diketahui lewat berbagai media cetak atau
elektronik, seperti surat kabar, televisi atau internet. Bahkan, tidak
jarang kondisi seperti itu dapat disaksikan secara langsung di tengah
masyarakat.
Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang demikian
itu, menumbuhkan semangat untuk mengkaji sebab dan mencari pemecahannya.
Penelitian dan seminar mengenai masalah tersebut telah berkali-kali
diselenggarakan oleh berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta. Ujungnya
adalah persamaaan persepsi terhadap pentingnya menggalakkan pendidikan
karakter.
Respon masyarakat terhadap pendidikan karakter
berbeda-beda. Di kalangan kelompok pendidik muncul pendapat tentang
perlunya pendidikan budi pekerti, sedangkan agamawan memandang
perlunya penguatan pendidikan agama. Mereka yang berkecimpung di bidang
politik mengusulkan revitalisasi pendidikan Pancasila. Dalam hal ini,
Kemendiknas telah merespon berbagai pendapat itu dengan membentuk Tim
Pengembang Pendidikan Karakter.
Selanjutnya, para guru terutama guru bahasa dan sastra
Indonesia ingin menyumbangkan pemikiran tentang perlunya pendidikan
apresiasi sastra terhadap pembentukan karakter siswa. Melalui sastra
diharapkan dapat terwariskan nilai-nilai luhur kearifan lokal guna membendung
pengaruh negatif era globalisasi. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk
diketahui tentang sejauhmana “Pengaruh
Apresiasi Sastra terhadap Karakter Siswa”.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
pendidikan karakter dan satra itu?
2. Bagaimana
relevansi sastra terhadap pendidikan karakter di kalangan siswa?
3. Bagaimana
pengaruh apresiasi sastra terhadap karakter siswa?
4. Bagaimana memberdayakan
pembelajaran apresiasi sastra di sekolah?
5. Bagaimana
upaya yang bisa dilakukan pendidik untuk menanamkan pendidikan
karakter melalui sastra?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian pendidikan karakter dan sastra.
2. Untuk
mengetahui relevansi sastra terhadap pendidikan karakter di kalangan siswa.
3. Untuk
mengetahui pengaruh apresiasi sastra terhadap karakter siswa.
4. Untuk
mengetahui pemberdayaan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah.
5. Untuk
mengetahui upaya yang bisa dilakukan pendidik untuk menanamkan
pendidikan karaktermelalui sastra.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan
Karakter dan Sastra
1. Pendidikan
Karakter
Karakter
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat-sifat kejiwaan,
akhlak, atau budi pekerti. Karakter dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu
perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan atau kebiasaan. Pengertian
karakter menurut para ahli, aadalah sebagai berikut:
a. Menurut
Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku
yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.
b. Menurut
Pritchard (1988: 467) mendefinisikan karakter sebagai sesuatu yang
berkaitan dengan kebiasaan hidup individu yang bersifat menetap dan cenderung
positif.
Pusat
Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional telah merumuskan materi pendidikan karakter
yang mencakup aspek-aspek sebagai berikut: religius, jujur, toleran,
disiplin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin
tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah
air, menghargai prestasi, bersahabat
atau komunikatif, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli
sosial, dan tanggung jawab. Jadi, pendidikan karakter adalah suatu
sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut.
2. Sastra
Dalam
Wikipedia Indonesia, sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta
śāstra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata
dasar śās- yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata
ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis
tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Selain itu dalam arti
kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis dan sastra lisan.
Maksud dari sastra lisan di sini ialah sastra yang tidak banyak berhubungan
dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk
mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
B.
Relevansi
Sastra terhadap Pendidikan Karakter di Kalangan Siswa
Siswa
adalah generasi muda, generasi penerus, yang akan menjadi pemilik masa depan
bangsa. Akan seperti apa wajah bangsa Indonesia di masa depan sangat tergantung
pada bagaimana kita membentuk karakter siswa sejak sekarang. Oleh karena
itu, membangun karakter siswa menjadi pekerjaan bersama (khususnya para guru
dan orang tua) yang amat penting.
Pengajaran
di sekolah, termasuk pengajaran sastra, menjadi tumpuan yang sangat vital.
Jika kita gagal membentuk karakter yang positif dan unggul pada diri siswa,
bisa-bisa masa depan bangsa ini akan semakin terpuruk, kehilangan harapan,
atau setidaknya akan kehilangan kepribadian dan gampang dijajah serta
”diperbudak” oleh bangsa lain yang lebih adidaya.
Belajar
sastra adalah salah satu keterampilan yang imajinatif dan komunikatif bagi
siswa sebagai pencipta maupun penikmat sastra. Di dalamnya terdapat muatan
mendidik yang tersirat dan tidak bersifat doktrin. Siswa juga bisa mencerna sesuai
dengan perkembangan jiwanya dan membuatnya sangat peka terhadap karya sastra
itu sendiri.
Kenyataan
ini menunjukkan bahwa sastra sangat relevan dengan pendidikan karakter. Karya
sastra sarat dengan nilai-nilai pendidikan akhlak seperti dikehendaki dalam
pendidikan karakter. Cerita rakyat ”Jaka Tarub” mengajarkan anak mengenai
pentingnya menjunjung tinggi nilai kejujuran dan kepercayaan. Cerita binatang
”Pelanduk Jenaka” mengandung pendidikan tentang harga diri, sikap kritis, dan
protes sosial. Sementara itu, bentuk puisi seperti pepatah, pantun, dan
bidal penuh dengan nilai pendidikan.
C.
Pengaruh
Apresiasi Sastra Terhadap Karakter Siswa
Minat
terhadap sastra kini mengalami degradasi. Hal ini disebabkan oleh tuntutan
jaman yang serba instan dan serba cepat. Karya sastra anak didominasi oleh
komik-komik dari luar negeri sepertiSpongebob, Dora the Explorer,
Naruto, dan sebagainya. Bahkan tradisi mendongeng untuk
peninabobokan anak sebagai pengantar tidur sang anak sudah tidak menarik
lagi bagi seorang anak dan menjadi sesuatu yang sangat asing.
Membaca
karya sastra bukan hanya untuk mendapatkan kepuasan karena keindahannya,
melainkan juga untuk memperkaya wawasan dan daya nalar. Sastra adalah vitamin
batin, karena mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan kepada pembacanya dan
memberikan pencerahan. Mengingat peranan sastra dalam pengembangan kepribadian
pembacanya, maka pengajaran sastra di sekolah sangatlah penting.
Melalui
pengajaran sastra, siswa tidak hanya diperkenalkan kekayaan sastra Indonesia
dan dunia, tokoh-tokoh dalam kesusastraan, bahkan juga diperkenalkan pada
kekayaan isi karya sastra itu sendiri. Dengan membaca dan memahami karya
sastra, berarti siswa mencoba memahami kehidupan, mencoba memperoleh
nilai-nilai positif dan luhur dari kehidupan, dan pada akhirnya memperkaya
batinnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sidney (dalam Alwasilah, 2001:31)
Apresiasi sastra akan berjalan baik jika didasari oleh minat yang tinggi pada
karya sastra.
Banyak
hal yang dapat diperoleh dari sastra. Haryadi (1994) mengemukakan sembilan
manfaat yang dapat diambil dari sastra lama yaitu sebagai berikut:
1) Dapat
perperan sebagai hiburan dan media pendidikan
2) Isinya
dapat menumbuhkan kecintaan, kebanggaan berbangsa dan hormat pada leluhur
3) Isinya
dapat memperluas wawasan tentang kepercayaan, adat-istiadat, dan peradaban
bangsa
4) Pergelarannya
dapat menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan
5) Proses
penciptaannya menumbuhkan jiwa kreatif, responsif, dan dinamis
6) Sumber
inspirasi bagi penciptaan bentuk seni yang lain
7) Proses
penciptaannya merupakan contoh tentang cara kerja yang tekun, profesional,dan
rendah hati
8) Pergelarannya
memberikan teladan kerja sama yang kompak dan harmonis
9) Pengaruh
asing yang ada di dalamnya memberi gambaran tentang tata pergaulan dan
pandangan hidup yang luas.
D.
Pemberdayaan Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah
Dalam
Standar Isi mata pelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2006 (KTSP) disebutkan
bahwa mata pelajaran bahasa Indonesia bertujuan antara lain agar peserta didik
memiliki kemampuan menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas
wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa, juga menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Seperti
penjelasan di atas, sesungguhnya pembelajaran sastra memiliki tujuan yang
mulia dan besar. Hanya saja, tujuan tersebut cuma akan menjadi
slogan apabila dalam pembelajaran sastra di sekolah tidak dilakukan secara
maksimal. Jadi, untuk mewujudkan dan mengembalikan pembelajaran
sastra pada tujuan tersebut, maka pembelajaran apresiasi sastra yang saat ini
lesu dan tak berdaya ini harus kembali diberdayakan.
Dalam
rangka pemberdayaan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah, ada beberapa
strategi yang bisa dilakukan yaitu sebagai berikut:
1.
Memasukkan pendidikan karakter ke dalam
semua mata pelajaran di sekolah.
2.
Membuat slogan-slogan atau yel-yel yang
dapat menumbuhkan kebiasaan semua masyarakat sekolah untuk bertingkah laku yang
baik.
3.
Membiasakan perilaku yang positif di
kalangan warga sekolah.
4.
Melakukan pemantauan secara
kontinyu.
Selain
strategi tersebut, guru sebagai pendidik juga harus mempunyai ketertarikan
terhadap sastra, berikut beberapa hal yang perlu dicermati oleh guru itu
sendiri:
a. Sikap
Guru
Selama
ini guru seolah terpasung kreativitas dan jiwa inovasinya dalam melaksanakan
tugasnya bila hasil upayanya hanya selalu dikaitkan dengan hasil Ujian
Nasional. Banyak pihak yang menghakimi guru hanya berdasarkan pencapaian nilai
Ujian Nasional yang mampu diraih oleh siswanya. Bila siswanya meraih nilai
Ujian Nasional yang tinggi, maka hal ini dijadikan indikator bahwa guru yang
bersangkutan telah cukup berhasil dalam melaksanakan pembelajaran. Anggapan
yang demikian berakibat banyak guru yang cenderung pada pelatihan mengerjakan
soal kepada siswa-siswanya. Kecenderungan semacam ini justru mencederai tujuan
dan hakikat pembelajaran apresiasi sastra.
Untuk
itu, pada pemberdayaan pembelajaran apresiasi
sastra hendaknya sikap guru perlu diubah. Dalam diri guru harus
ditumbuhkan sikap untuk membuang jauh-jauh orientasi ke nilai Ujian Nasional.
Sebab, pembelajaran apresiasi sastra bukan semata-mata ditujukan agar meraih
nilai Ujian Nasional yang tinggi, melainkan pembelajaran mengenai nilai-nilai
kehidupan, mengingat banyak kandungan nilai yang terdapat dalam sastra yang
dapat dijadikan bekal siswa dalam kehidupannya.
b. Peran
Guru
Dalam
pembelajaran apresiasi sastra selama ini, terkesan bahwa guru banyak berperan
sebagai informator tunggal. Sehingga terbuka kemungkinan guru dijadikan sumber
utama dan satu-satunya sumber informasi bagi siswa. Hal ini melahirkan
kecenderungan guru untuk memerankan diri sebagai ’hakim’ yang sangat
menentukan ’ini benar’ dan ’ini salah’.
Pembelajaran
apresiasi sastra akan lebih berdaya bila guru mampu menempatkan diri sebagai:
1) Apresiator yang
menjembatani antara karya sastra sebagai bahan ajar dan siswa sebagai penikmat
karya sastra.
2) Motivator yang
mampu menumbuhkan rasa apresiasi pada diri siswa.
3) Perunding yang
mampu dengan penuh kearifan dan kebijakan mengakomodasikan berbagai tanggapan
dari siswa sebagai bentuk apresiasi mereka terhadap karya sastra yang tengah
dinikmati serta dihayati.
c. Kualifikasi
Guru
Secara
teknis, guru-guru bahasa umumnya tidak otomatis juga mampu menjadi guru sastra.
Akibatnya, pembelajaran apresiasi sastra akan cenderung bersifat
teknis-teoretis. Lebih ironis lagi bila guru sendiri tidak menyukai sastra
sehingga tak pernah menambah wawasan sastranya dengan membaca buku-buku sastra
berkualitas. Bagaimana siswa akan mencintai sastra apabila guru belum mampu
menjadi contoh bagi siswanya?
Berkenaan
dengan hal tersebut, pemberdayaan pembelajaran apresiasi sastra akan semakin
berarti apabila guru bahasa mau dan mampu meningkatkan dan mengembangkan
dirinya sebagai guru sastra. Guru harus benar-benar memahami hakikat dan tujuan
pembelajaran apresiasi sastra, termasuk di dalamnya mampu dan terampil
mengapresiasi karya sastra. Selain itu, guru juga memiliki rasa cinta kepada
sastra, memiliki pemikiran kritis dalam menganalisis karya sastra, serta
memiliki pandangan tertentu tentang sikap hidup dan nilai-nilai hidup sehingga
mampu memilih dan memilah karya sastra yang tepat untuk diberikan kepada siswa
serta cara menyajikannya.
d. Lingkungan
yang Mendukung
Pemberdayaan
pembelajaran apresiasi sastra tidak dapat dilepaskan bila lingkungan yang ada
turut mendukung. Hal ini harus diciptakan baik oleh guru, siswa, maupun
sekolah. Salah satu di antaranya adalah penyediaan bacaan-bacaan sastra. Dalam
hal ini perpustakaan memegang peran yang utama.
Hanya
saja bacaan sastra di perpustakaan sekolah seringkali sangat terbatas. Untuk
menyiasatinya, guru dapat mengajak siswa mengumpulkan bacaan sastra dari media
cetak atau internet yang disusun dalam bentuk kliping yang dapat dibaca oleh semua.
Bila upaya-upaya tersebut dapat dilakukan, bukan tidak mungkin pembelajaran
sastra di sekolah menjadi bergairah sehingga mampu mencapai tujuan yang telah
dirumuskan.
E.
Upaya
yang Bisa Dilakukan Pendidik Melalui Sastra
Sebagai
wujud untuk menyampaikan atau menginjeksikan pendidikan
karakter dalam sastra kepada peserta didik ada beberapa upaya yang bisa
dilakukan oleh pendidik dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Pendidik mengungkapkan nilai-nilai dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan pengintegrasian langsung nilai-nilai karakter yang menjadi bagian terpadu dari mata pelajaran tersebut.
karakter dalam sastra kepada peserta didik ada beberapa upaya yang bisa
dilakukan oleh pendidik dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Pendidik mengungkapkan nilai-nilai dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan pengintegrasian langsung nilai-nilai karakter yang menjadi bagian terpadu dari mata pelajaran tersebut.
1. Cerpen
Pendidik bisa menggunakan perbandingan cerita pendek berdasarkan kehidupan atau kejadian-kejadian dalam hidup para peserta didik. Bisa juga menggunakan cerita untuk memunculkan nilai-nilai karakter dengan menceritakan kisah hidup orang-orang besar. Dengan kisah nyata yang dialami orang-orang besar dan terkenal bisa menjadikan peserta didik akan terpikat dan mengidolakan serta pastinya ingin menjadi seperti idolanya tersebut.
Pendidik bisa menggunakan perbandingan cerita pendek berdasarkan kehidupan atau kejadian-kejadian dalam hidup para peserta didik. Bisa juga menggunakan cerita untuk memunculkan nilai-nilai karakter dengan menceritakan kisah hidup orang-orang besar. Dengan kisah nyata yang dialami orang-orang besar dan terkenal bisa menjadikan peserta didik akan terpikat dan mengidolakan serta pastinya ingin menjadi seperti idolanya tersebut.
2. Puisi
(lagu)
Seperti
yang kita ketahui, musik / lagu bisa memberikan efek yang sangat dalam bagi
pendengarnya. Bahkan kabar terkini yang telah kita ketahui bersama, bayi dalam
kandungan pun bisa dipengaruhi dengan lagu yang diputar dekat dengan perut
ibunya. Dengan dasar ini pendidik bisa menggunakan lagu-lagu dan musik
(musikalisasi puisi) untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam benak
peserta didik.
3. Drama
Pendidik bisa juga menggunakan drama sebagai media untuk melukiskan kejadian-kejadian yang berisikan nilai-nilai karakter. Sehingga secara audio visual serta aplikasi langsung (pementasan drama) menjadikan peserta didik lebih mudah untuk memahami dan menyerap nilai-nilai karakter tersebut. Selain itu, tugas-tugas yang bisa dikerjakan dirumah dapat mengambil contoh tentang apa yang dilihat peserta didik di televisi kemudian pendidik akan menjelaskan sekaligus meluruskan nilai-nilai apa saja yang ada dalam film di televisi tersebut. Ini akan lebih menggoreskan nilai-nilai pendidikan karakter yang didapat di benak peserta didik.
Pendidik bisa juga menggunakan drama sebagai media untuk melukiskan kejadian-kejadian yang berisikan nilai-nilai karakter. Sehingga secara audio visual serta aplikasi langsung (pementasan drama) menjadikan peserta didik lebih mudah untuk memahami dan menyerap nilai-nilai karakter tersebut. Selain itu, tugas-tugas yang bisa dikerjakan dirumah dapat mengambil contoh tentang apa yang dilihat peserta didik di televisi kemudian pendidik akan menjelaskan sekaligus meluruskan nilai-nilai apa saja yang ada dalam film di televisi tersebut. Ini akan lebih menggoreskan nilai-nilai pendidikan karakter yang didapat di benak peserta didik.
4. Novel
Menggunakan novel sebagai media untuk mengungkapkan nilai-nilai atau norma-norma dalam masyarakat melalui diskusi pun bisa digunakan oleh pendidik. Novel banyak memberikan kisah-kisah yang mampu menjadikan pembacanya berimajinasi dan masuk dalam cerita novel tersebut. Banyak penikmat novel yang terpengaruh dengan isi yang ada dalam novel, baik itu gaya berbicara, busana bahkan perilaku tentunya setelah membaca dan memahaminya. Hal ini sangat baik apabila pendidik mampu memasukkan pendidikan karakter untuk bisa mempengaruhi peserta didiknya.
Menggunakan novel sebagai media untuk mengungkapkan nilai-nilai atau norma-norma dalam masyarakat melalui diskusi pun bisa digunakan oleh pendidik. Novel banyak memberikan kisah-kisah yang mampu menjadikan pembacanya berimajinasi dan masuk dalam cerita novel tersebut. Banyak penikmat novel yang terpengaruh dengan isi yang ada dalam novel, baik itu gaya berbicara, busana bahkan perilaku tentunya setelah membaca dan memahaminya. Hal ini sangat baik apabila pendidik mampu memasukkan pendidikan karakter untuk bisa mempengaruhi peserta didiknya.
5. Pantun
Peserta didik diajak membuat berbagai pantun nasehat untuk memunculkan berbagai nilai-nilai karakter dalam kehidupan peserta didik. Nasehat-nasehat yang dibuat akan menggores diingatannya, peserta didik akan mengaplikasikannya karena nasehat itu berasal dari dirinya sendiri untuk teman-temannya.
Peserta didik diajak membuat berbagai pantun nasehat untuk memunculkan berbagai nilai-nilai karakter dalam kehidupan peserta didik. Nasehat-nasehat yang dibuat akan menggores diingatannya, peserta didik akan mengaplikasikannya karena nasehat itu berasal dari dirinya sendiri untuk teman-temannya.
6. Cerita
Lisan
Penggunaan contoh sastra lisan dalam hal ini cerita rakyat merupakan sarana yang baik untuk memberikan contoh kepada peserta didik. Apalagi cerita yang disampaikan adalah cerita rakyat dari daerah peserta didik sendiri.
Penggunaan contoh sastra lisan dalam hal ini cerita rakyat merupakan sarana yang baik untuk memberikan contoh kepada peserta didik. Apalagi cerita yang disampaikan adalah cerita rakyat dari daerah peserta didik sendiri.
Selain cara-cara di atas masih banyak
cara-cara yang lainnya yang bisa digunakan oleh pendidik atau bahkan dikombinasikan
untuk menyampaikan nilai-nilai dalam pendidikan karakter, namun jangan terlepas
dari penyeleksian atau pemilihan bahan ajar yang tepat. Karena dengan memilih
bahan ajar yang tepat, peserta didik akan merasakan kedalaman materi yang
membuat mereka menyadari makna kehidupan. Kesadaran itulah yang akan membuat
pembelajaran bukan sekadar mengajarkan materi, tetapi juga mendidik.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengaruh sastra
dalam pembentukan karakter siswa tidak hanya didasarkan pada nilai
yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif
pun sarat dengan pendidikan karakter. Kegiatan membaca, mendengarkan, dan
menonton karya sastra pada hakikatnya menanamkan karakter tekun, berpikir
kritis, dan berwawasan luas. Pada saat yang bersamaan dikembangkan kepekaan
perasaan sehingga siswa akan cenderung cinta kepada kebaikan dan
membela kebenaran.
Pada
kegiatan menulis karya sastra, dikembangkan karakter tekun, cermat, taat, dan
kejujuran. Sementara itu, pada kegiatan dokumentatif dikembangkan karakter
ketelitian, dan berpikir ke depan (visioner).
Tingkat
apresiasi sastra masyarakat sangat terkait dengan pengajaran sastra di sekolah.
Peran lembaga pendidikan sangat penting untuk menumbuhkan sikap apresiatif
terhadap karya sastra sejak dini. Pengajaran sastra harus berjalan dengan baik,
agar kemampuan dan sikap apresiatif siswa terhadap karya sastra dapat tumbuh
secara sehat.
B.
Saran
Melalui pengajaran sastra, diharapkan dapat berperan
dalam membentuk karakter yang positif pada diri siswa. Namun, pembentukan
karakter siswa itu tidak akan maksimal, atau bahkan gagal, jika pengajaran
sastra gagal menumbuhkan minat baca siswa pada karya sastra, dan mereka tetap
tidak memiliki sikap apresiatif terhadap karya sastra.
0 Response to "MAKALAH PENDIDIKAN KARAKTER"
Posting Komentar