MAKALAH AGAMA DAN POLITIK
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Agama merupakan hal yang sangat menarik untuk diperdebatkan.
Bahkan suatu hal jika tanpa membawa-bawa agama terkesan biasa saja, namun
setelah membawa agama maka akan menarik berbagai orang untuk memperdebatkannya.
Demikian juga dalam bidang politik. Betapa Politik yang melibatkan agama sangat
ramai dalam pro kontranya dibandingakan politik yang tidak melibatkan agama.
Menilik agama yang berhubungan dengan politik. Bagaimana
bisa agama dan politik bersatu. sebab seringkali orang mengartikan yang namanya
agama itu hanyalah semata-mata satu sistem peribadatan antara makhluk dengan
Tuhan Yang Maha Kuasa saja. Definisi ini mungkin tepat bagi bermacam-macam
agama. agama berperan mengoreksi politik yang menyimpang dari tujuan mulianya
menyejahterakan rakyat dan politik mesti pula membangkitkan kesadaran agama
untuk tidak terbuai dalam permainan politik lalu melupakan fungsi kritis agama
dan sikap membisu agama terhadap aktivitas politik.
Menulis agama dan politik memang ibarat menulis garis.
Karena agama harus menarik garis pisah yang jelas dari politik agar tidak
terkooptasi dan disubordinasi. Karena ketika dikooptasi politik negara, agama
hanya akan menjadi alat di tangan kekuasaan negara untuk mendapatkan
legitimasi. Agamapun akan membisu ketika ketidakadilan dan ketidakbenaran
merajalela. Namun di sisi lain agama sebagai sebuah institusi dalam masyarakat
harus pula mengoreksi politik agar hakikat sejati politik tetap terpelihara.
Garis itu bengkok, saling tindih, atau apapun hasilnya, amat tergantung pada
kecermatan kita untuk selalu mencari format baru dan tepat dalam membangun
hubungan agama dan politik.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian agama dan politik?
2. Bagaimana hubungan antara agama
dengan politik di Indonesia?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian agama dan
politik?
2.
Untuk mengetahui hubungan antara
agama dengan politik di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
C.
Pengertian Agama dan Politik
1.
Pengertian Agama
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang
universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan
pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious).
Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk dalam suprastruktur: agama terdiri
dari tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana
makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka (Sanderson, Stephen K.,
2011: 517).
Dalam kehidupan, agama merupakan identitas individu sehingga
dapat membedakannya dari orang lain. Ada banyak sekali pendapat-pendapat
mengenai makna agama. R. H. Thouless mengambil 3 definisi dimana masing-masing
definisi itu merupakan suatu segi dari segi-segi agama pribadi, definisi
tersebut adalah,
a.
Definisi Frazer
Agama
adalah mencari keredaan atau kekuatan yang tinggi dari pada manusia, yaitu
kekuasaan yang disangka oleh manusia dapat mengendalikan, menahan/menekan
kelancaran alam dan kehidupan manusia.
b.
Definisi James Martineau
Agama
adalah kepercayaan kepada yang hidup abadi, dimana diakui bahwa dengan pikiran
dan kemauan Tuhan, alam ini diatur dan kelakuan manusia diperkuat.
c.
Definisi Mattegart
Agama
adalah suatu keadaan jiwa, atau lebih tepat keadaan emosi yang didasarkan
kepercayaan keserasian diri kita dengan alam semesta.
Thouless memandang, bahwa ketiga definisi tersebut adalah
dalam pandangan ilmu jiwa umum, karena perasaan itu dapat dibagi atas 3 segi
yakni tanggapan, emosi, dan dorongan. Ketiga macam itu dipilih oleh Thouless,
karena menurut pendapatnya bahwa ketiga-tiganya merupakan tiga segi dari agama,
yaitu:
a.
Yang pertama melukiskan
cara/kelakuan.
b.
Yang kedua adalah keyakinan/pendapat
akal.
c.
Yang ketiga adalah alat-alat,
perasaan dan emosi.
Maka dari setiap definisi tentang agama, harus mengandung
unsur-unsur tersebut dan definisi yang dipandangnya lebih cocok ialah sebagai
berikut: “Agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu
yang diyakininya, bahwa sesuatu itu lebih tinggi dari pada manusia”(Zakiyah
Daratjat, 1973: 34).
Sedangkan menurut pandangan sosiolog, Emile Durkheim
mengemukakan makna agama, bahwa adanya perbedaan yang –sakral dan yang –profan
serta terangkatnya beberapa aspek kehidupan sosial ke level yang –sakral memang
merupakan syarat mutlak bagi keberadaan agama. Yang –sakral tercipta melalui
ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol
religius yang mengikat individu dalam suatu kelompok. Syarat-syarat lain dari agama adalah kepercayaan,
ritual agama dan gereja (tempat ibadah). Sedangkan definisi agama menurutnya
adalah: “kesatuan sistem kepercayaan dan praktik yang menyatu dalam sebuah
komunitas moral tunggal yang dinamai Gereja, semua melekat padanya” (Ritzer,
2011: 105).
Definisi agama menurut sosiologi adalah definisi empiris.
Agama dipandang sebagai suatu institusi yang lain yang mengemban tugas atau
fungsi agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup local,
regional, nasional, maupun mondia maka dalam tinjauannya, yang dipentingkan
ialah daya guna, dan pengaruh agama terhadap masyarakat, sehingga berkat
eksistensi dan fungsi agama cita-cita masyarakat (akan keadilan dan kedamaian,
dan akan kesejahteraan jasmani dan rohani).
Dilihat dari sudut kategori pemahaman manusia, agama
memiliki dua segi yang membedakan dalam perwujudannya, yaitu:
a. Segi kejiwaan (psychological state), yaitu suatu kondisi subjek atau kondisi dalam
jiwa manusia, berkenaan dengan apa yang dirasakan oleh penganut agama. Kondisi
inilah yang disebut dengan kondisi agama, yaitu kondisi patuh dan taat kepada
yang disembah. Kondisi itu hampir sama dengan konsep religious emotion dari
Emile Durhkeim. Emosi keagamaan seperti itu merupakan gejala individual yang
dimiliki oleh setiap penganut agama yang membuat dirinya merasa sebagai “mahluk
Tuhan”.
b. Segi objektif (objective state), segi luar yang disebut juga kejadian objektif,
dimensi empiris dari agama. Keadaan ini muncul ketika agama dinyatakan oleh
penganutnya dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis, ritual, maupun persekutuan.
Segi objektif ini lah yang bisa dipelajari apa adanya, dan dengan demikian bisa
dipelajari dengan metode ilmu sosial. Segi kedua ini mencakup adat istiadat,
upacara keagamaan, bangunan, tempat-tempat peribadatan, cerita yang dikisahkan,
kepercayaan, dan prinsip-prinsip yang dianut oleh suatu masyarakat.
Meskipun agama berkaitan dengan
berbagai keharusan, ketundukan, dan kepatuhan tetapi tidak setiap ketaatan itu
bisa disebut dengan agama; bergantung pada siapa ketaatan itu diperuntukkan dan
atas dasar motivasi apa ketaatan itu dilaksanakan. Berdasarkan hasil studi para
ahli sosiologi dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan hidup yang
harus diterapkan dalam kehidupan individu maupun kelompok.
2. Pengertian
Politik
Politik adalah proses
pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat
yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan,
khususnya dalam negara.
Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi
yang berbeda mengenai hakikat politik yang
dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu
untuk meraih kekuasaan secara konstitusional
maupun nonkonstitusional. Di
samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara
lain:
a.
politik adalah usaha yang ditempuh
warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
b.
politik adalah hal yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
c.
politik merupakan kegiatan yang
diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
Pada umumnya apa yang disebutkan diatas berkaitan dengan
bermacam-macam kegiatan dalam suatu negara, yang menyangkut proses penentuan
dan pelaksanaan tujuan-tujuan. Untuk melaksanakan tujuan, perlu ditentukan
kebijaksanaan umum yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi
sumber-sumber dan berbagai sumber daya yang ada. Untuk itu diperlukan kekuatan
dan kewenangan. Politik selalu menyangkut tujuan publik, tujuan masyarakat
sebagai keseluruhan dan bukan tujuan pribadi seseorang.
Dalam
konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan
politik, legitimasi, sistem
politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga
tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai
politik. Politik itu menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk
kegiatan partai politik dan kegiatan individu demi kepentingan bersama.
B. Hubungan
Agama dan Politik
Dalam konsepsi sebagian besar masyarakat Indonesia,
kehidupan politik juga seharusnya dilandasi oleh nilai-nilai agama. Konsepsi
ini agak berbeda dengan politik di negara Barat yang memisahkan secara tegas
antara politik dan agama. Politik dan posisi-posisi politik harus dipisahkan
secara tegas dengan agama. Konsepsi ini menghendaki agar pemimpin agama tidak
terlibat dalam politik praktis.
Mengkaji masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan
dari faktor negara atau politik. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam
merupakan faktor berpengaruh terhadap politik. Ada dua alasan mengapa hal ini
terjadi. Pertama, karena secara kuantitas umat Islam di Indonesia
merupakan mayoritas. Kedua, karena adanya pemikiran dalam umat Islam
sendiri bahwa memang Islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Deliar Noer
termasuk orang yang berpandangan bahwa Islam mempunyai konsep negara dan Islam
dengan politik tidak dapat dipisahkan. Menurut Deliar Noer, sebagai sebuah
konsep (bukan nama) negara Islam dilandasi oleh:
1. Al-Quran
dan Sunnah Rasul sebagai pegangan hidup bernegara,
2. Hukum
harus dijalankan,
3. Prinsip
Syura (Musyawarah) dijalankan,
4. Kebebasan
diberikan tempat,
5. Toleransi
antar agama.
Kebijakan
keagamaan di Indonesia telah menempuh jalan yang panjang. Hingga tahun 1960-an,
persoalan keagamaan yang beraneka ragam di tanah air belum banyak tersentuh.
Pemerintah sejak lama memandang keanekaragaman agama ini sebagai potensi
penghambat pembangunan Indonesia yang satu dan kuat. Kementerian agama yang di
bentuk pada tahun 1946 memiliki tugas yang eksplisit antara lain mengawasi
kegiatan keagamaan dan aliran-aliran/paham-paham, melakukan bimbingan dan
pembinaan terhadap gerakan mistik agar kembali ke agama induk dan mengharuskan
mereka untuk menegakkan hukum dan peribadatan agama khususnya Islam.
Tugas-tugas
ini menunjukan bahwa negara mulai menerapkan pemikiran sistemik secara lebih
tegas. Selain itu, tugas pokok lain adalah membimbing dan membina masyarakat
penganut agama resmi seperti Islam, Kristen Prostetan, Katolik, Hindu dan Budha
(Muhammadiyah dalam Gonjang-ganjing Politik. Penerbit Media Pressindo.
Hal. 53).
Pemerintah
sendiri membuat definisi agama resmi yang diakui pemerintah sebagai sistem
keyakinan kepada Tuhan yang memiliki kitab suci, nabi-nabi dan ajaran-ajaran.
Dalam hal kebijakan keagamaan ini paling tidak pemerintah melakukan tiga hal. Pertama,
membina umat yang sudah beragama di seluruh pelosok; Kedua, Memberagamakan
warga masyarakat yang dianggap belum beragama; Ketiga, Pemerintah
memerankan diri sebagai wasit sekaligus pemain dalam hubungan antarumat
beragama.
Dari sudut
pandang intrinsik, maka secara sederhana agama adalah keyakinan akan entitas
spiritual. Jika kita menggunakan definisi yang lebih kompleks. maka agama adalah suatu sistem simbol yang
bekerja memantapkan suasana jiwa dan motivasi yang kuat, mendalam dan bertahan
lama pada diri manusia dengan memformulasikan konsepsi-konsepsi keteraturan
umum mengenai keberadaan dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu
aura faktualitas sehingga suasana jiwa dan motivasi tersebut seolah-olah secara
unik nyata ada.
Dinamika
hubungan antara agama dan negara berlangsung dalam konteks instrumentalisasi
yang kerap kali ditempeli oleh muatan potensi integratif maupun disintegratif.
Dengan konkretisasi, interpretasi dan formalisasi agama dalam kehidupan yang
nyata, manusia memiliki legitimasi untuk menjadikannya sebagai instrument
kekuasaan.
Ada tiga
kemungkinan skenario politik keagamaan.: Pertama, agama dan negara
terpisah satu sama lain. Doktrin agama hanya menjadi pedoman hidup manusia
sebatas dalam keluarga dan masyarakat yang berwadahkan keorganisasian dalam
masjid, gereja, kuil, dan lain-lain. Segala sesuatu yang berurusan dengan agama
diselesaikan dalam institusi kegamaan tersebut. Prinsip utamanya adalah “Agama
adalah Agama”. Dalam kenyataan, sukar menemukan pada abad global ini suatu
institusi agama yang tidak tercemar sama sekali dengan pergumulan duniawi di
luar dari agama.
Kedua, Agama dan Negara terikat satu sama
lain (Integralistik) dalam pengertian agama memberi corak dominan atas negara.
Dalam konteks ini agama bermain penuh sebagai instrumen, yakni aktualisasi
agama di dalam sebagian besar institusi negara seperti institusi politik,
ekonomi, hukum dan lainnya.
Ketiga,
Agama ditempatkan dalam suatu sistem
negara yang mengutamakan harmoni dan keseimbangan. Agama direduksi menjadi
salah satu unsure saja dari sistem yang dipandang saling tergantung dengan
unsur-unsur lain. Kebijakan kebijakan yang merupakan konkretisasi pendekatan
sistemik ini jelas sekali menekankan kontrol yang tegas terhadap
unsur-unsurnya, termasuk unsur agama agar selalu terwujud keteraturan yang
harmonis tanpa guncangan. Setiap kali ada gejolak sekecil apapun, langsung
diredam oleh negara (pemerintah) sehingga keseimbangan tercapai kembali.
Pendekatan
ini langsung menempatkan negara (pemerintah) dalam kedudukan sentral yang
lambat laun seolah melepaskan diri dari sistem dan bahkan mengontrol sistem.
Keadaan ini membuat negara (pemerintah) semakin kuat karena sistem posisinya
merosot menjadi subordinat, kehilangan kekuatan untuk mengontrol negara. Negara
cenderung otoriter karena akumulasi kekuasaan berada di tangannya. Bagi KH
Sahal, kepolitikan merupakan realitas historis atau Sunatullah yang tidak bisa
terelakkan, menurutnya bahwa dalam proses hidupnya manusia tidak lepas dari
pengaruh watak politik.
Telah
menjadi sunatullah barangkali setiap kelompok ada yang dikuasai dan ada yang
menguasai, ada yang memerintah dan yang diperintah serta ada yang dipengaruhi
dan mempengaruhi, itulah konteks politik. Politik merupakan kebutuhan hidup
menurut naluri manusiawi. Artinya bahwa Agama dan Negara tidak dapat
dipisahkan. Kata din wasiyasah sesungguhnya menggambarkan bentuk
integrasi agama dan negara. Meskipun negara (politik) dan agama tidak dapat
dipisahkan, namun bukan berarti negara beserta produk-prosuknya harus berlabel
Islam.
Relasi agama
bagi K.H Sahal mengacu pada “simbiosis mutualisme” keduanya saling mempengaruhi
dan membutuhkan untuk kemaslahatan umat. Negara harus di beri keleluasaan untuk
mengatur aspek ideologis, karena bagaimanapun juga bagi bangsa Indonesia yang
memiliki bermacam-macam agama, agama akan lebih berfungsi positif bila
dilepaskan dari permasalahan ideologis.
Di lain
pihak, independensi agama dalam hal yang menyangkut ibadah dan ajaran keimanan
haruslah dihormati oleh negara. Pengaturannya selama ini masih dapat dititipkan
pada sejumlah perangkat formal seperti undang-undang keormasan. Tetapi pada
masa-masa yang akan datang hubungan itu akan lebih hidup bila dikembangkan
melalui dialog budaya yang hidup dan berlingkup luas.
Kekuasaan
politik haruslah sejalan dengan tujuan syariat, yaitu memelihara agama (din),
akal (aql), jiwa (nafs), harta (mal) dan keturunan (nasl).
Sementara pemimpin tidak hanya mereka yang memegang jabatan formal-struktural,
mereka yang memegang kekuasaan kultural juga disebut pemimpin. Kepemimpinan
politik kultural mempunyai fungsi yang strategis yakni sebagai kekuatan untuk
mendinamisir masyarakat, memberikan pendidikan politik tentang hak dan
kewajiban seorang warga negara di akar rumput (grass root).
Dalam
konteks hubungan agama dan negara (ulama dan penguasa) dapat dijelaskan dengan
prinsip “akomodasi kritis”, yaitu prinsip yang menuntut kemampuan para ulama untuk
menjadikan Islam sebagai kekuatan yang integratif terhadap agama. Islam harus
di pandang sebagai faktor komplementer bagi komponen-komponen lain, Islam dalam
hal ini difungsikan sebagai faktor integratif yang mendorong timbulnya
partisipasi penuh dalam rangka membentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan
berkeadilan.
Agama secara
hakiki berhungan dengan politik. Kepercayaan agama dapat mempengaruhi hukum,
perbuatan yang oleh rakyat dianggap dosa, seperti sodomi dan incest, sering
tidak legal. Seringakali agamalah yang memberi legitimasi kepada pemerintahan.
Agama sangat melekat dalam kehidupan rakyat dalam masyarakat industri maupun
nonindustri, sehingga kehadirannya tidak mungkin tidak terasa di bidang
politik. Sedikit atau banyak, sejumlah pemerintahan di seluruh dunia
menggunakan agama untuk memberi legitimasi pada kekuasaan politik.
Hubungan
politik dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik
berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan
tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan, pertama,
oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia, tidak terkecuali
politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan oleh fakta
bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan legitimasi adalah bidang
politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu memberikan legitimasi yang
paling meyakinkan karena sifat dan sumbernya yang transcendent.
Teologi Politik Kristen di Indonesia
Upaya berteologia politik telah lama
ada dalam khasanah keristenan di Indonesia. Sebagai suatu proses yang tidak
pernah berhenti, eksperemintasi berteologia politik itu telah dicatat sejarah
pada masa penjajahan. Bahkan dapat dikatakan unik, sebab upaya itu tidak
berangkat dari laboratorium intelektual, tetapi justru dari
kalangan publicans, seperti Pattimura yang melakukan gerakan politik
dengan mengangkat senjata di Maluku dan Manullang dan kawan-kawan di tanah
Batak yang melakukan bentuk-bentuk penyadaran dan pengorganisasian yang mengusung
tema-tema kemandirian dan kerja keras. Pada masa-masa pembebasan diri dari
penjajahan, orang-orang kristen juga telah melakukan bentuk-bentuk teologia
yang operasional dengan mendirikan organisasi-organisasi kemasyarakatan dan
sebagian merubah diri menjadi partai politik. Kita dapat mencatat perkumpulan
sosail Mardi Pratojo yang kemudian menjadi Partai Perserikatan Kaum Kristen
(PKC) atau Christelijke Ambonche Volksbond (CAV), dll. Hal yang sama juga
terjadi pada saat Indonesia merdeka. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) hadir
sebagai bagian dari upaya dan proses berteologia politik secara operasional.
Muatan atau tema-tema yang diusung dan dikomunikasikan kepada orang-orang
kristen adalah dari dan demi kepentingan ‘orang kristen’. Sesuatu yang seringkali
dikatakan orang sebagai lebih berpolitik ‘teknis’ ketimbang berpolitik
‘etis’. Disadari atau tidak, telah terjadi pembiaran yang berkepanjangan
dalam tataran konseptual teologia politik kristen di Indonesia. Dasar berpijak
dalam tabung ‘independensi’ gererja, dalam realitasnya seringkali diterjemahkan
sebagai netralitas dan sterilisasi politik dalam semua ruang gereja.
Orang kristen harus menghormati
kewibawaan pemerintahan dunia selama kebijakan itu dilakukan demi kesejahteraan
masyarakat dan didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Tetapi kebijakan itu
tidak boleh mengambil alih kewibawaan atau wewenang Allah. Bagaimana seharusnya
orang kristen sebagai warga negara menaati lembaga-lembaga resmi negara yang
mengatur kehidupan masyarakat dalam usahanya menegakkan kebenaran dan keadilan
kesejahteraan masyarakat ditulis di Roma 13:13. Sikap orang kristen terhadap
politik ada 3 bersifat antagonistis, rejektif, dan menyesuaikan. Respon yang
benar itulah yang lebih penting dan menentukan sikap terhadap berbagai
gejolak politik yang terjadi. Allah menghendaki orang kristen taat kepada
pemerintah, sesuai dengan pengertian bahwa pemerintah menjalankan tugas dan
wewenang yang diberikan oleh Allah. Tentunya pmerintah harus mempertanggung
jawabkannya kepada pemberi kekuasaan yaitu Allah sendiri. Jika orang kristen
tidak taat kepada pemerintah dan berpartisipasi secara aktif sebagai warga
negara yang bertanggung jawab maka citra kekristenan akan rusak. Orang Kristen
harus mengakui lembaga pemerintahan yang diadakan oleh karena kehendak Allah.
Pendekatan Agama Buddha terhadap
politik
Pendekatan Agama Buddha terhadap politik adalah kemoralan
dan tanggung jawab penggunaan kekuatan masyarakat. Sang Buddha mengkotbahkan
Tanpa Kekerasan dan Kedamaian sebagai pesan universal. Beliau tidak menyetujui
kekerasan atau penghancuran kehidupan dan mengumumkan bahwa tidak ada satu hal
yang dapat disebut sebagai suatu perang 'adil'. Beliau mengajarkan, "Yang
menang melahirkan kebencian, yang kalah hidup dalam kesedihan. Barang siapa
yang melepaskan keduanya baik kemenangan dan kekalahan akan berbahagia dan
damai". Sang Buddha tidak hanya mengajarkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian,
Beliau mungkin guru agama pertama dan satu-satunya yang pergi ke medan perang
secara pribadi untuk mencegah pecahnya suatu perang. Beliau menguraikan
ketegangan antara suku Sakya dan suku Koliya yang siap berperang atas air
Sungai Rohini. Beliau juga meminta Raja Ajatasattu supaya jangan menyerang
Kerajaan Vajji. Sang Buddha mendiskusikan penting dan perlunya suatu
pemerintahan yang baik. Beliau memperlihatkan bagaimana suatu negara dapat
menjadi korup, merosot nilainya dan tidak bahagia ketika kepala pemerintahan
menjadi korup dan tidak adil. Beliau berbicara menentang korupsi dan bagaimana
suatu pemerintahan harus bertindak berdasarkan pada prinsip- prinsip
kemanusiaan. Suatu kali Sang.Buddha berkata, "Ketika penguasa suatu negara
adil dan baik para menteri menjadi adil dan baik; ketika para menteri adil dan
baik, para pejabat tinggi adil dan baik; ketika para pejabat tinggi adil dan
baik, rakyat jelata menjadi baik; ketika rakyat jelata menjadi baik,
orang-orang menjadi adil dan baik". (Anguttara Nikaya).
Agama Buddha dapat atau harus tidak terlibat dalam proses
politik, yang merupakan suatu realitas sosial. Bagaimanapun kehidupan anggota
masyarakat dibentuk oleh hukum-hukum dan peraturan-peraturan, aturan-aturan
ekonomi, lembaga-lembaga, yang dipengaruhi oleh penataan politik dari
masyarakat tersebut. Namun, jika seorang umat Buddha berharap untuk terlibat
dalam politik, dia harus tidak menyalahgunakan agama untuk memperoleh kekuatan
politik. Juga tidak dianjurkan bagi mereka yang telah melepaskan kehidupan
duniawi untuk menjalani suatu kehidupan agama yang murni untuk secara aktif
terlibat dalam politik.
Politik dan Agama Hindu
Dalam
beberapa dasawarsa belakangan ini, system kasta tidak diakui lagi sebagai nilai
agama Hindu dan versi ini yaitu agama Hindu tanpa kasta, hanya dikomunikasikan
oleh kelompok kecil para pengikut saja dan itupun kurang berhasil. Sebab
menurut agama Hindu tradisional, hierarki kasta sosial dengan kasta brahmana
ditingkat teratas itu, ditentukan oleh Tuhan bagaimana dinyatakan dalam
kitab-kitab sucinya. Hal ini terbukti dimasa kini banyaknya orang-orang yang
beragama Hindu turut serta berpartisipasi dalam kegiatan politik. Hal ini
merupakan salah satu wujud dari keterbukaan kasta tersebut. Dalam
keikutsertaannya dalam politik, orang-orang Hindu cenderung tidak
mencampuradukan antara agama dan politik. Akan tetapi dalam keikutsertaannya
dalam politik, orang-orang Hindu tersebut tetap berpedoman pada agama yang
mereka anut.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ada tiga
kemungkinan skenario politik keagamaan.: Pertama, agama dan negara
terpisah satu sama lain. Doktrin agama hanya menjadi pedoman hidup manusia
sebatas dalam keluarga dan masyarakat yang berwadahkan keorganisasian dalam
masjid, gereja, kuil, dan lain-lain. Segala sesuatu yang berurusan dengan agama
diselesaikan dalam institusi kegamaan tersebut. Prinsip utamanya adalah “Agama
adalah Agama”. Dalam kenyataan, sukar menemukan pada abad global ini suatu
institusi agama yang tidak tercemar sama sekali dengan pergumulan duniawi di
luar dari agama. Kedua, Agama dan Negara terikat satu sama lain
(Integralistik) dalam pengertian agama memberi corak dominan atas negara. Dalam
konteks ini agama bermain penuh sebagai instrumen, yakni aktualisasi agama di
dalam sebagian besar institusi negara seperti institusi politik, ekonomi, hukum
dan lainnya. Ketiga, Agama ditempatkan dalam suatu sistem negara yang
mengutamakan harmoni dan keseimbangan. Agama direduksi menjadi salah satu
unsure saja dari sistem yang dipandang saling tergantung dengan unsur-unsur
lain. Kebijakan kebijakan yang merupakan konkretisasi pendekatan sistemik ini jelas
sekali menekankan kontrol yang tegas terhadap unsur-unsurnya, termasuk unsur
agama agar selalu terwujud keteraturan yang harmonis tanpa guncangan. Setiap
kali ada gejolak sekecil apapun, langsung diredam oleh negara (pemerintah)
sehingga keseimbangan tercapai kembali.
Hubungan
politik dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik
berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan
tenteram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan, pertama,
oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia, tidak terkecuali
politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan oleh fakta
bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan legitimasi adalah bidang
politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu memberikan legitimasi yang
paling meyakinkan karena sifat dan sumbernya yang transcendent.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Thaba. 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orde
Baru. Jakarta: Gema Insani Prees.
Dadang
Kahmad. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hendro
Puspito. 1990. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Rafael,
Raga Maran. 2007. Pengantar Sosiologi
Politik. Jakarta: PT Rineka Cipta
Smith,
Donald Eugene. 1985. Agama dan Modernisasi Politik. Jakarta: CV
Rajawali
http://id.scribd.com/doc/98736326/Makalah-Agama-Pandangan-Iman-Kristen-Terhadap-Politik-Dan-Hukum,
(diakses tanggal 21 April 2013 pukul 18.45 WIB)
0 Response to "MAKALAH AGAMA DAN POLITIK"
Posting Komentar