MAKALAH KONSEP LINK AND MATCH: FUNGSI PENDIDIKAN SEBAGAI PEMASOK TENAGA KERJA SIAP PAKAI
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dewasa ini banyak lontaran kritik terhadap sistem
pendidikan yang pada dasarnya mengatakan bahwa perluasan kesempatan belajar
cenderung telah menyebabkan bertambahnya pengangguran tenaga pendidik dari pada
bertambahnya tenaga produktif yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja.
Kritik ini tentu saja beralasan karena
data sensus penduduk memperhatikan kecenderungan yang menarik bahwa proporsi
jumlah tenaga penganggur jurusan pendidikan yang lebih tinggi ternyata lebih
besar dibandingkan dengan proporsi penganggur dari lulusan yang lebih rendah (Ace
Suryadi, 1993: 134). Dengan kata lain persentase jumlah penganggur tenaga
sarjana lebih besar dibandingkan dengan persentase jumlah penganggur lulusan
SMA atau jenjang pendidikan yang lebih rendah. Namun, kritik tersebut belum
benar seluruhnya karena cara berfikir yang digunakan dalam memberikan tafsiran
terhadap data empiris tersebut cenderung menyesatkan. Cara berfikir yang
sekarang berlaku seolah-olah hanya memperhatikan pendidikan sebagai
satu-satunya variabel yang menjelaskan masalah pengangguran.
Cara berfikir seperti ini cukup berbahaya, bukan hanya
berakibat pada penyudutan sistem pendidikan, tetapi juga cenderung menjadikan
pengangguran sebagai masalah yang selamanya tidak dapat terpecahkan.
Berdasarkan keadaan terserbut, penjelasann secara konseptual terhadap
masalah-masalah pengangguran tenaga terdidik yang dewasa ini banyak disoroti oleh masyarakat, sangat
diperlukan. Penjelasan yang bersifat konseptual diharapkan mampu mendudukan
permasalahan pada proporsi yang sebenarnya, khususnya tentang fungsi dan
kedudukan sistem pendidikan dalam kaitannya dengan msalah ketenaga kerjaan.
Berangkat dari asumsi bahwa bertambahnya tingkat pengangguran karena kegagalan
sistem pendidikan, maka diperlukan adanya pendekatan-pendekatan tertentu dalam
pendidikan dan konsep link and match perlu dihidupkan kembali dalam sistem
pendidikan.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka ada beberapa
pertanyaan terkait konsep link and match dalam pendidikan, yaitu:
1. Bagaimana
konsep dasar link and match dalam pendidikan?
2. Mengapa
link and match diperlukan dalam pendidikan?
3. Pendekatan-pendekatan
apa saja yang digunakan untuk mewujudkan link and match dalam pendidikan?
4. Bagaimana
hubungan antara pendidikan dengan ketenaga kerjaan?
C.
Tujuan
Penulisan
Berangkat dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan
penulisan ini adalah:
1. Megetahui
konsep dasar link and match dalam pendidikan.
2. Mengetahui
pentingnya link and match dalam pendidikan.
3. Mengetahui
pendekatan-pendekatan apa saja yang digunakan untuk menggunakan link and match
dalam pendidikan.
4. Mengetahui
hubungan kependidikan dan ketenaga kerjaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Link and
Match
Pada mulanya, sebelum ada pendidikan melalui sekolah seperti
sekarang, pendidikan dijalnkan secara spontan dan langsung dalam kehidupan
sehari-hari. Anak-anak petani langsung mempelajri pertanian dengan langsung
bekerja di sawah, anak-anak nelayan langsung mempelajari kelautan dan perikanan
langsung mengikuti orang dewasa menangkap ikan. Selagi mempelajari pekerjaan
yang dilakukan, mereka sekaligus juga belajar tentang nilai-nilai dan
norma-norma yang berhubungan dengan pekerjaannya. Dilihat secara demikian, maka
pendidikan pada dasarnya merupakan sesuatu yang kongkret, spontan, dan tidak
direncanakan tetapi langsung berhubungan dengan keperluan hidup. Dengan kata
lain, dalam situasi yang belum mengenal sistem sekolah, sifat pendidikan pada
dasarnya sesalu bersifat linked and matched.
Konsep keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match) antara dunia
pendidikan dan dunia kerja yang dicetuskan mantan Mendiknas Prof. Dr. Wardiman
perlu dihidupkan lagi. Konsep itu bisa menekan jumlah pengangguran lulusan
perguruan tinggi yang dari ke hari makin bertambah.
Selanjutnya Soemarso, Ketua Dewan Pembina Politeknik dan juga dosen UI mengatakan bahwa konsep Link and Match antara lembaga pendidikan dan dunia kerja dianggap ideal. Jadi, ada keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Menurut Soemarso, dengan adanya hubungan timbal balik membuat perguruan tinggi dapat menyusun kurikulum sesuai dengan kebutuhan kerja. Contoh nyata Link and Match dengan program magang. Perbaikan magang, dimaksudkan agar industri juga mendapatkan manfaat. Selama ini ada kesan yang mendapatkan manfaat dari magang adalah perguruan tinggi dan mahasiswa, sedangkan industri kebagian repotnya.
Selanjutnya Soemarso, Ketua Dewan Pembina Politeknik dan juga dosen UI mengatakan bahwa konsep Link and Match antara lembaga pendidikan dan dunia kerja dianggap ideal. Jadi, ada keterkaitan antara pemasok tenaga kerja dengan penggunanya. Menurut Soemarso, dengan adanya hubungan timbal balik membuat perguruan tinggi dapat menyusun kurikulum sesuai dengan kebutuhan kerja. Contoh nyata Link and Match dengan program magang. Perbaikan magang, dimaksudkan agar industri juga mendapatkan manfaat. Selama ini ada kesan yang mendapatkan manfaat dari magang adalah perguruan tinggi dan mahasiswa, sedangkan industri kebagian repotnya.
Di sisi lain, produk dari Perguruan Tinggi menghasilkan sesuatu yang
amat berharga dan bukan hanya sekedar kertas tanpa makna, yaitu produk
kepakaran, produk pemikiran dan kerja laboratorium. Produk-produk ini masih sangat
jarang dilirik oleh industri di Indonesia. Produk kepakaran yang sering dipakai
adalah yang bersifat konsultatif. Tetapi produk hasil laboratorium belum di
akomodasi dengan baik.
Menjalankan Link and Match bukanlah hal yang sederhana. Karena itu, idealnya,
ada tiga komponen yang harus bergerak simultan untuk menyukseskan program Link
and Match yaitu perguruan tinggi, dunia kerja (perusahaan) dan pemerintah. Dari
ketiga komponen tersebut, peran perguruan tinggi merupakan keharusan dan syarat
terpenting. Kreativitas dan kecerdasan pengelola perguruan tinggi menjadi
faktor penentu bagi sukses tidaknya program tersebut.
Ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan suatu perguruan tinggi
untuk menyukseskan program Link and Match. Perguruan tinggi harus mau melakukan
riset ke dunia kerja. Tujuannya adalah untuk mengetahui kompentensi (keahlian)
apa yang paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak
dibutuhkan dunia kerja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan salah satu
perguruan tinggi di Indonesia diketahui, keahlian (kompentensi) yang paling
banyak dibutuhkan dunia kerja adalah kemampuan komputasi (komputer),
berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan kemampuan akuntansi. Selain itu,
perguruan tinggi juga harus mampu memprediksi dan mengantisipasi keahlian
(kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan teknologi sepuluh tahun ke
depan.
Seharusnya perguruan tinggi mulai menjadikan kompetensi yang dibutuhkan
dunia kerja sebagai materi kuliah di kampusnya. Dengan demikian, diharapkan,
lulusan perguruan tinggi sudah mengetahui, minimal secara teori, tentang kompetensi apa yang dibutuhkan
setelah mereka lulus. Meskipun demikian, perguruan tinggi tidak harus
menyesuaikan seluruh materi kuliahnya dengan kebutuhan dunia kerja. Sebab,
harus ada materi kuliah yang berguna bagi mahasiswa yang termotivasi untuk melanjutkan studi
ke jenjang strata yang lebih tinggi.
Langkah penting lainnya, perguruan tinggi harus menjalin relasi dan
menciptakan link dengan banyak perusahaan agar bersedia menjadi arena belajar
kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan magang langsung (on the
spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya siap secara teori tetapi
juga siap secara praktik.
Jika program Link and Match berjalan baik, pemerintah juga diuntungkan dengan
berkurangnya beban pengangguran (terdidik). Karena itu, seyogianya pemerintah
secara serius menjaga iklim keterkaitan dan mekanisme implementasi ilmu dari
perguruan tinggi ke dunia kerja sehingga diharapkan program Link and Match ini
berjalan semakin baik dan semakin mampu membawa manfaat bagi semua pihak.
Manfaat yang dapat dipetik dari pelaksanaan Link and Match sangat besar.
Karena itu, diharapkan semua stake holders dunia pendidikan bersedia membuka
mata dan diri dan mulai bersungguh-sungguh menjalankannya. Perguruan tinggi
harus lapang dada menerima bidang keahlian (kompentensi) yang dibutuhkan dunia
kerja sebagai materi kuliah utama. Perusahaan juga harus membuka pintu
selebar-lebarnya bagi mahasiswa perguruan tinggi yang ingin magang (bekerja) di
perusahaan tersebut. Sedangkan Pemerintah harus serius dan tidak semata
memandang program Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) sebagai proyek
belaka.
Secara tradisional teori kependidikan menekankan tiga tujuan instruksional pokok: kognitif, afektif
dan psikomotorik. Banyak orang berpendapat bahwa sisi afektif dari pendidikan
adalah yang paling penting. Seperti ditekankan oleh Paola friere, suatu konsep
pendidikan, dimana otak manusia hanya seperti rekening bank tidak berlaku atau
sesuai lagi. Tujuan yang lebih berkaitan dengan proses menyadarkan orang bahwa
kemampuan berfikir dan menentukan identitas diri sekarang ini jauh lebih
penting. Pendidikan dan pembelajaran adalah proses bukan
produk akhir. Ivan Illich pernah mengatakan bahwa kita tidak boleh mengijinkan
pendidikan formal mengganggu proses belajar terus menerus. Tidak selayaknya
orang berhenti dari proses belajar sesudah pendidikan formal selesai
(Sindhunata, 2000: 130).
B.
Pendekatan dalam Mewujudkan Link and Match
1.
Pendekatan Sosial
Pendekatan sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan
masyarakat pada saat ini. Pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan
pendidikan dan pada pemerataan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan (Husaini
Usman, 2006: 56). Menurut A.W. Gurugen pendekatan sosial merupakan pendekatan tradisional
bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan fasilitas
demi memenuhi tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta memungkinkan
pemberian kesempatan kepada murit dan orang tua secara bebas (Djumberansyah
Indar, 1995: 30). Sebagai contoh penerapan pendekatan ini adalah diterapkannya
sistem ganda melalui kebijakan Link and Match.
Menurut Bohar Soeharto perencanaan sosial adalah proses cara menjelaskan
dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan masyarakat atau berhubungan dengan
aspek sosial dari kehidupan individu untuk mencapai tujuan secara efektif dan
efisien (Bohar Soeharto, 1991: 28).
Pendekatan yang dikemukakan Geruge ini bersifat tradisional dimana penekanan ini didasarkan kepada tujuan untuk memenuhi tuntutan atau permintaan seluruh individu terhadap pendidikan pada tempat dan waktu tertentu dalam situasi perekonomian, politik, dan kebudayaan yang ada pada waktu itu. Ini berarti bahwa sektor pendidikan harus menyediakan lembaga-lembaga pendidikan serta fasilitas untuk menampuk seluuruh kelompok umur yang ingin menerima pendidikan.
Pendekatan yang dikemukakan Geruge ini bersifat tradisional dimana penekanan ini didasarkan kepada tujuan untuk memenuhi tuntutan atau permintaan seluruh individu terhadap pendidikan pada tempat dan waktu tertentu dalam situasi perekonomian, politik, dan kebudayaan yang ada pada waktu itu. Ini berarti bahwa sektor pendidikan harus menyediakan lembaga-lembaga pendidikan serta fasilitas untuk menampuk seluuruh kelompok umur yang ingin menerima pendidikan.
Pendekatan sosial dalam perencanaan pendidikan sebagaimana dimaksud
diatas, pernah dituang secara tepat dalam Robbins Comunitte on Higher Education
di Inggris pada tahun 1963 dengan alasan pemilihan pendektan ini bahwa: ”all
young person qualified by ability and attaint ment to pursue a full time course
in higher education should have the opportunity to do so” (Bohar Soeharto,
1991: 28).
Selanjutnya dalam pendekatan ini ada beberapa kelemahan dalam pendekatan
ini diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Pendekatan ini
mengabaiakan masalah alokasi dalam skala nasional, dan secara samar tidak
mempermasalahkan besarnya sumber daya pendidikan yang dibutuhkan arena
beranggapan bahwa penggunaan sumberdaya pendidikan yang terbaik adalah untuk
segenap rakyat Indonesia.
b. Pendekatan ini
mengabaiakn kebutuhan ketenagakerjaan (man power planning) yang diperlukan
dimasyarakat sehingga dapat menghasilkan lulusan yang sebenarnya kurang
dibutuhkan masyarakat.
c. Pendekatan ini
cenderung hanya menjawab pemerataan pendidikan saja sehingga kuantitas lebih
diutamakan dari pada kualitanya (Syaefudin Sa’ud, 2006: 236).
2.
Pendekatan Ketenagakerjaan
Pendekatan yang dipakai dalam penyusunan perencanaan pendidikan suatu
negara sangat tergantung kepada kebijakan pemerintah yang sedang dilaksanakan.
Karenanya wajar jikalau timbul pendekatan yang berbeda-beda antara beberapa
negara dan juga terjadi perbedaan dalam pendekatan perencanaan antara berbagai
periode pembangunan dalam satu negara. Dalam kebijakan pemerintah (sebut saja
kebijakan lima tahunan), disana tergambar secara jelas harapan-harapan yang
akan dan harus dipenuhi oleh sektor pendidikan. Dengan kata lain kebutuhan akan
pendidikan yang akan menjadi sasaran dalam perencanaan selalu dijadikan
penuntun atau bisa dikatakan sebagai kebijakan awal perencanaan.
Di dalam pendekatan ketenagakerjaan ini kegiatan-kegitan pendidikan
diarahkan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja pada
tahap permulaan pembangunan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja dari
segala tingkatan dan dalam berbagai jenis keahlian.
Dalam keadaan ini kebanyakan negara mengharapkan supaya pendidikan
mempersiapkan dan menghasilkan tenaga kerja yang terampil untuk pembangunan,
baik dalam sektor pertanian, perdagangan, industri dan sebagainya (Jusuf Enoch,
1992: 90). Untuk itu perencana pendidikan harus mencoba membuat perkiraan
jumlah dan kualitas tenaga kerja dibutuhkan oleh setiap kegiatan pembangunan
nasional.
Dalam hal ini perencana pendidikan dapat menyakinkan bahwa penyediaan
fasilitas dan pengarahan arus murid benar-benar didasarkan atas perkiraan
kebutuhan tenaga kerja tadi. Akan tetapi metode-metode untuk memperkirakan
kebutuhan tenaga kerja perlu ditetapkan terlebih dahulu sesuai dengan
kepentingan dan kondisi negara yang bersangkutan. Salah satu metode misalnya
bukan hanya sekedar memperhatikan kebutuhan saja tetapi perlu meneliti berbagai
jenis tenaga yang telatih yang diperlukan oleh negara atas dasar perbandingan
atau ratio yang seimbang, misalnya perbandingan antara insiyur dan teknisi
ahli.
Pendidikan ketenagakerjaan ini sering dipergunakan oleh negara-negara
yang sudah berkembang ataupun negara yang teknologinya sudah maju, dimana
setiap waktu diperlukan jenis keahlian yang baru. Ahli teknologi modern dengan
menciptakan teori dan sistem yang baru dengan sendirinya mendorong teknologi
untuk berkembang secara pesat dan hal ini menyebabkan pula timbulnya kebutuhan
akan tenaga ahli dari jenis yang baru untuk menangani atau mengelolanya.
Negara-negara yang mempergunakan pendekatan ketenagakerjaan mengarahkan
kegiatan-kegiatan pendidikannya secara teratur kepada usaha untuk memenuhi
tuntutan dunia lapangan kerja dalam segala bidang. Para ahli ekonomi
mengharapkan agar ada keseimbangan antara penambahan lapangan kerja dengan
peningkatan pendapatan nasionl. Penambahan lapangan kerja akan meningkatkan
pendapatan nasional, pendapatan nasional yang telah ditingkatkan akan memberi
peluang untuk memperluas lapangan kerja. Ini berarti penyerapan tenaga kerja
akan lebih banyak.
Perencana pendidikan diminta untuk merencanakan kegiatan/usaha
pendidikan sedemikian rupa sehingga menjamin setiap individu, tentunya seorang
lulusan lembaga pendidikan dapat terjun ke masyarakat dengan suatu kemampuan
untuk menjadi seorang pekerja yang produktif. Dengan kata lain sistem
pendidikannya harus menghasilkan lulusan dari berbagai tingkat dan jenis yang
siap pakai.
Dalam pendekatan keperluan akan tenaga kerja (manpower approach), jumlah
tenaga kerja yang dibutuhkan dihitung dari jumlah pendapatan nasional yang
direncanakan atau yang diperhitungkan akan dicapai. Dengan kata lain, anak
didik melalui sistem pendidikan harus disiapkan menjadi tenaga kerja, dan
perencanaan mengenai keperluan akan tenaga kerja harus diintegrasikan secara
menyeluruh ke dalam perencanaan ekonomi. Jadi, dal;am merencanakan keprluan
tenaga kerja, perkembangan ekonomi dimasa depan dianggap sebagai variabel yang
independen karena dianggap sebagai tujuan atau target yang ditetapkan secara
tersendiri.
Menurut pendekatan ini, perhitungan kebutuhan tenaga kerja dan
perencanaan pendidikan yang ditujukan kearah pembetukan tenaga kerja dianggap sebagai
prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang secara struktural seimbang dan sebagi
prasyarat bagi sistem pendidikan yang fungsional. Kebutuhan akan tenaga kerja
semat-mata dari pertumbuhan ekonomi di masa depan dianggap relevan bagi alokasi
tenaga kerja yang efisien dan bagi penggunaan secara optimal sumber-sumber yang
tersedia pada sistem pendidikan.
Cara pendekatan persoalan pendidikan seperti ini dapatt dikatkan sebagai
pendekatan ekonomi uni-dimensional atau pendekatan pendidikan yang ditujuakan
kepada pasaran kerja, dimana pembiayaan-pembiayaan pendidikan diperlakukan
sebagai pengeluaran konsumsi dan bukan sebagai pengeluaran investasi
(Sindhunata, 2001: 17).
Dalam teorinya pendekatan ini lebih mengutamakan keterkaitan lulusan
sistem pendidikan dengan tuntutan akan kebutuhan tenaga kerja, didalam
pendekatan ini juga mempunyai kelemahan, dimana ada tiga kelemahan yang paling
utama, yaitu;
a. Mempunyai peranan
yang terbatas dalam perencanaan pendidikan, karena pendekatan ini mengabaikan
keberadaaan sekolah umum karena hanya akan menghasilkan pengangguran saja,
pendekatan ini lebih mengutamakan sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi
kebutuhan kerja.
b. Menggunakan
klasifikasi rasio permintaan dan persediaan
c. Tujuan dari pada
pendekatan ini hanyalah untuk memenuhan kebutuhan tenaga kerja, disisi lain
tuntutan dunia kerja berubah ubah sesuai dengan cepatnya perubahan zaman
(Husaini Usman, 2006: 59).
Blaug dan Faure menyimpulkan bahwa masalah pengangguran dikalangan
terdidik dapat ditekan dengan memperbaiki sistem dan perencanaan pendidikan
yang baik. Perlu kita cermati sebenarnya peningkatan pengangguran bukan
semata-mata kesalahan dunia pendidikan, peningkatan pengangguran di karenakan
sempitnya lapangan kerja, sempitnya lapangan kerja disebabkan pemerintah yang
kurang bisa membuka lapangan kerja yang baru.
Perbaikan sistem dan perencanaan pendidikan bukan berarti pendidikan
harus melahirkan atau meluluskan lulusan yang siap pakai. Kalau yang dimaksud
dengan siap pakai ialah kemampuan lulusan yang mengenali dan menguasai
permasalahan rutin serta mampu mengaplikasikan ilmunya; maka bukan pada
tempatnya hal itu di belajarkan pada pendidikan formal yang ada sekarang ini.
Perencanaan pendidikan di Indonesia selain menggunkan pendekatan sosial
juga menggunakan pendekatan ketenagakerjaan. Disadarai dengan benar bahwa tanpa
tenaga pembangunan yang ahli, terampil dan sesuai dengan lapangan kerja tidak
mungkin pembangunan nasional dapat berjalan dengan lancar. Namun dalam
kenyataannya masih banyak hambatan-hambatan dalam usaha menyusun perencanaan
pendidikan dengan menggunakan pendekatan ketenagakerjaan ini, khususnya di
negara berkembang seperti Indonesia.
Beberapa hambatan pokok antara lain sebagai berikut:
a. Belum tersedianya
data dan informasi yang memadai untuk dapat menjawab pertanyaan sehubungan
dengan berapa banyak lapangan kerja yang ada menurut jenisnya; berapa jumlah
tenaga kerja menurut pendidikannya yang dapat diserap; bagaimana pengembangan
usaha/lapangan kerja ini di masa mendatang dan bagaimana proyeksi tenaga kerja
yang akan dibutuhkan; dan sebagainya.
b. Perencanaan
pendidikan, bila ingin menggunakan pendekatan ketenagakerjaan sangat memerlukan
data dan proyeksi kebutuhan tenaga kerja di masa mendatang. Selain perkiraan
akan kebutuhan tenaga kerja, juga masih diperlukan persyaratan yang jelas
mengenai mutu tenaga yang dituntut oleh pasaran tenaga kerja atau kualifikasi
lulusan lembaga pendidikan yang menjadi persyaratan untuk masing-masingjenis pekerjaaan.
c. Walaupun sekiranya
data dan informasi mengenai ketenagakerjaan tersedia secara memadai, namun
hambatan itu akan tetap masih ada terutama dalam hal pengadaan tenaga kerja itu
sendiri melalui pendidikan formal. Penyebab utama ialah ketidakmampuan sistem
pendidikan nasional untuk mengadakan penyesuaian dengan berbagai ragam
kebutuhan akan keahlian dan kemampuan lulusannya (Jusuf Enoch, 1992: 93-95).
Pemerintah tidak mungkin secara cepat mempersiapkan berbagai kelembagaan
pendidikan untuk mempersipakan lulusan yang siap pakai memasuki lapangan kerja
yang sudah menunggu. Hal ini bukan disebabkan biaya yang tidak mendukung, tapi
lebih dari itu pengadaan tenaga instruktur yang berkualifikasi baik, pengadaan
lat dan ryang praktek yang memenuhi tuntutan lapangan kerja serta fasilitas
lainnya sungguh memerlukan waktu untuk mewujudkannya. Disamping itu, kurikulum
harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan
Putu Pendit bahwa "kurikulum harus memenuhi kebutuhan lapangan".
Kurikulum, sebagai bagian dari pendidikan, bukan semata-mata memenuhi
permintaan tenaga kerja di saat ini. Kurikulum sebagai alat dari pendidikan
harus mengandung di dalamnya upaya menyiapkan peserta didik dengan pengetahuan
dan kemampuan yang berlaku jauh lebih lama daripada perkembangan terakhir atau
peristiwa sesaat.
C.
Pendidikan dan
Ketenagakerjaan
Apakah pendidikan formal merupakan penentu dalam menunjang pertumbuhan
ekonomi?. Apakah pengembangan sumber daya manusia selalu dilakukan melalui
pendidikan formal?. Titik singgung antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi
adalah produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan,
semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap
pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human
Capital. Teori Human Capital menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan
produktivitas kerja.
Teori ini merasa yakin bahwa pertumbuhan suatu masyarakat harus dimulai
dari prodiktivitas individu. Jika setiap individu memiliki penghasilan yang
tinggi karena pendidikannya juga tinggi, pertumbuhan msyarakat dapat ditunjang
karenanya. Teori Human Capital ini menganggap bahwa pendidikan formal sebagai
suatu investasi, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Dari teori ini
timbul beberapa model untuk mengukur keberhasilan pendidikan bagi pertumbuhan
ekonomi, misalnya dengan menggunakan teknik cost benefit analysis, model
pendidikan tenaga kerja dan lain sebagainya.
Namun dalam kenyataannya, asumsi-asumsi yang digunakan oleh teori Human
Capital tidak selalu benar. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Cummings
bahwa di Indonesia ternyata menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda antara
negara maju dan negara berkembang, yaitu bahwa pendidikan formal hanya
memberikan kontribusi kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan lulusan
pendidikan formal dibandingkan dengan faktor-faktor luar sekolah.
Teori Human Capital dianggap tidak berhasil, maka muncullah teori baru
sebagai koreksi terhadap teori sebelumya, yaitu teori kredensialisme. Teori ini
mengungkapkan bahwa strukrur masyarakat lebih ampuh dari pada individu dalam
mendorong suatu pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan formal hanya dianggap
sebagai alat untuk mempertahankan status quo dari para pemenang status sosial
yang lebih tinggi.Menurut teori ini perolehan pendidikan formal tidak lebih
dari suatu lambang status (misalnya melalui perolehan ”ijazah” bukan karena
produktivitas) yang mempengaruhi tingginya penghasilan.
Dua teori yang dikemukan diatas, masing-masing memiliki kaitan erat
dengan fungsi sistem pendidikan yang diungkap oleh Sayuti Hasibuan. Menurutnya,
fungsi sistem pendidikan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan meliputi dua
dimensi penting, yaitu: 1). Dimensi kuantitatif yang meliputi fungsi sistem
pendidikan dalam pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan
kebutuhan lapangan kerja yang tersedia, 2). Dimensi kualitatif yang menyangkut
fungsinya sebagai penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi
sumber penggerak pembangunan atau sebagai driving force (Sayuti Hasibuan,
1987).
Sistem pendidikan sebagai suatu sistem pemasok tenaga kerja terdidik
lebih banyak diilhami oleh teori Human Capital. Sistem pendidikan memiliki arti
penting dalam menjawab tuntutan lapangan kerja yang membutuhkan tenaga kerja
terampil dalam berbagai jenis pekerjaan. Penyediaan tenaga kerja terdidik tidak
hanya harus memenuhi kebutuhan akan suatu jumlah yang dibutuhkan. Akan tetapi,
yang lebih penting ialah jenis-jenis keahlian dan keterampilan yang sesuai
dengan kebutuhan dunia industri. Teori Human Capital percaya bahwa pendidikan
memiliki anggapan lapangan kerja yang membutuhkan kecakapan dan keterampilan
tersebut juga sudah tersedia.
Fungsi pendidikan sebagai penghasil tenaga penggerak pembangunan
(driving force) cenderung lebih sesuai dengan teori Kredensialisme. Sistem
pendidikan harus mampu membuka cakrawala yang lebih luas bagi tenaga yang
dihasilkan, khususnya dalam membuka lapangan kerja baru. Pendidikan harus dapat
menghasilkan tenaga yang mampu mengembangkan potensi masyarakat dalam
menghasilkan barang dan jasa termasuk cara-cara memasarkannya.
Kemampuan ini amat penting dalam rangka memperluas lapangan kerja dan
lapangan usaha. Dengan demikian, lulusan sistem pendidikan tidak bergantung
hanya kepada lapangan kerja yang telah ada yang pada dasarnya sangat terbatas,
akan tetapi mengembangkan kesempatan kerja yang masih potensial.
Teori Kredensialisme merasa yakin bahwa pelatihan kerja merupakan media
yang strategis dalam menjembatani antara pendidikan dengan kebutuhan lapangan
kerja. Jika ada masalah ketidaksesuaian, hal ini dianggap sebagai ”gejala
persediaan” (supply phenomina), yaitu ketidaksesuaian antara pendidikan dan
lapangan kerja yang diungkapkan sebagai gejala ketidakmampuan sistem pendidikan
dalam menghasilkan lulusan yang mudah dilatih atau yang dapat membelajarkan
diri agar menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebutuhan pasar.
Ketidaksesuain tersebut mungkin juga dapat dianggap sebagi gejala
prmintaan (demand phenomina), yaitu ketidaksesuaian tersebut tidak semata-mata
disebabkan oleh sistem pendidikan itu sendiri, tetapi lapangan kerja juga belum
memfungsikan sistem pelatihan kerja secara optimal. Jika ketidaksesiaian anatra
keterampilan kerja dengan kebutuhan dunia industri dianggap sebagai demand
phenomina, sitem pelatihan kerja juga harus merupakan bagian yang integral di
dalam industri atau perusahaan. Dalam hubungan dengan hal tersebut, dunia industri
akan berfungsi sebagai training ground. Jika industri atau perusahaan sudah
berfungsi sebagai training ground, produktivitas tenaga kerja secara langsung
merupakan kontrolnya. Pelatihan dalam industri atau perusahaan ialah tempat
yang paling tepat untuk dapat menghasilakn tenaga kerja yang siap pakai (ready
trained), sementara sistem pendidikan formal secara maksimal harus mampu
menghasilkan tenaga potensial atau yang memiliki kecakapan dasar yang dapat
dikembangkan lebih jauh di dunia kerja.
Sekat-sekat yang ada antara pendidikan, pelatihan dan tenaga kerja
seperti yang kita alami dewasa ini, setidak-tidaknya secara konseptual tidak
terjadi dalam masyarakat industri modern. Diperlukan program yang terintegrasi
antara dunia pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan oleh dunia industri
(Tilaar, 1999: 178). Program-program pelatihan tidak hanya dilaksanakan di
dalam industri, tetapi sistem pendidikan sekolah dan luar sekolah harus
menyelenggarakan program pelatihan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Dalam kaitan ini perlu ada refungsionalisasi SISDIKNAS yang membuka diri
terhadap keterlibatan penuh dari masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
nasional. Dengan sistem yang seperti itu, bukan berarti akan menghilangkan
pengangguran, tentu saja masalah pengangguran akan selalu ada karena berbagai
sebab ekonomis ataupun non-ekonomis namun masalah pengangguran setidaknya dapat
diminimalisir.
Fungsi pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja terdidik dan terlatih
dapat diuji berdasarkan kemampuannya dalam memenuhi jumlah angkatan kerja yang
dibutuhkan oleh lapangan kerja yang telah ada atau yang diperkirakan tersedia
dalam suatu sitem ekonomi. Untuk menguji kemampuan ini diperlukan perbandingan
antara persediaan angkatan kerja yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dan
latihan dengan kebutuhan tenaga kerja dalam lapangan kerja yanga ada menurut
kategori tingkat pendidikan pekerja.
Terjadinya kelebihan persediaan tenaga kerja berpendidikan dasar ini
disebabkan oleh masih banyak tersedianya lapangan kerja pada sektor tradisional
dan sektor informal pada saat truktur tenaga kerja telah mulai bergeser ke
tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Keadaan ini didukung pila oleh kenyataan
bahwa kelebihan persediaan tenaga kerja terjadi pada tingkat-tingkat pendidikan
yang lebih tinggi, dan yang menjadi akibatnya pengangguran tenaga terdidik atau
lulusan Perguruan Tinggi akan terus bertambah setiap tahun.
Salah satu sebab kesenjangan supply dan demand pendidikan tinggi ialah
kesenjangan antara keinginan mahasiswa (dan dorongan orang tua serta persepsi
masyarakat) dengan kebutuhan akan tenaga kerja. Mahasiswa lebih menyenangi
program studi profesional seperti ahli hukum dan ekonomi dibanding dengan
program teknologi maupun pertanian. Gejala ini terjadi juga di negara industri
maju dan sangat kuat di negara berkembang. Sebaliknya kebutuhan akan tenaga
kerja yang banyak ialah di bidang industri dan pertanian.
Angka partisipasi dan bertambahnya lulusan Perguruan Tinggi belum dengan
sendirinya meningkatkan produktivitas kerja karena adanya pengangguran sarjana
yang semakin meningkat. Data pendidikan nasional kita menunjukkan kecenderungan
sebagai berikut: 1). Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar
kemungkinan terjadinya pengangguran; 2). Pada tingkat pendidikan SLTP kebawah
cenderung terdapat kekurangan tenaga kerja terdidik; 3). Tamatan SLTA cenderung
untuk menganggur dan jumlahnya semakin besar; 40. surplus lulusan Perguruan
Tinggi cenderung berlipat ganda dari tahun ke tahun.
Gambaran mengenai kesenjangan supply dan demand lulusan pendidikan
tinggi kita buka terletak pada angka absolutnya, karena sebenarnya kita masih
kekurangan tenaga lulusan Perguruan Tinggi. Kekurangan ini masih dipersulit
lagi dengan adanya ”mis-match” jenis keahlian yang diproduksi oleh pendidikan
tinggi kita.
Menurut Darlaini Nasution SE ada tiga faktor mendasar yang menjadi
penyebab masih tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Ketiga faktor
tersebut adalah, ketidaksesuaian antara hasil yang dicapai antara pendidikan
dengan lapangan kerja, ketidakseimbangan demand (permintaan) dan supply
(penawaran) dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan masih
rendah. Ia menjelaskan, lapangan pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja
umumnya tidak sesuai dengan tingkat pendidikan atau ketrampilan yang dimiliki.
Umumnya perusahaan atau penyedia lapangan kerja membutuhkan tenaga yang
siap pakai, artinya sesuai dengan pendidikan dan ketrampilannya, namun dalam
kenyataan tidak banyak tenaga kerja yang siap pakai tersebut. Justru yang
banyak adalah tenaga kerja yang tidak sesuai dengan job yang disediakan.
Kalau kita flasback pada tahun-tahun yang lalu, Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja pada tahun 1997 jumlah pengangguran terbuka sudah mencapai sekitar 10% dari sekitar 90 juta angkatan kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah inipun belum mencakup pengangguran terselubung. Jika persentase pengangguran total dengan melibatkan jumlah pengangguran terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka angkanya sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah penganggur mencapai sekitar 36 juta orang. Adapun pengangguran terselubung adalah orang-orang yang menganggur karena bekerja di bawah kapasitas optimalnya. Para penganggur terselubung ini adalah orang-orang yang bekerja di bawah 35 jam dalam satu minggunya. Jika kita berasumsi bahwa krisis ekonomi hingga saat ini belum juga bisa terselesaikan maka angka-angka tadi dipastikan akan lebih melonjak.
Kalau kita flasback pada tahun-tahun yang lalu, Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja pada tahun 1997 jumlah pengangguran terbuka sudah mencapai sekitar 10% dari sekitar 90 juta angkatan kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah inipun belum mencakup pengangguran terselubung. Jika persentase pengangguran total dengan melibatkan jumlah pengangguran terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka angkanya sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah penganggur mencapai sekitar 36 juta orang. Adapun pengangguran terselubung adalah orang-orang yang menganggur karena bekerja di bawah kapasitas optimalnya. Para penganggur terselubung ini adalah orang-orang yang bekerja di bawah 35 jam dalam satu minggunya. Jika kita berasumsi bahwa krisis ekonomi hingga saat ini belum juga bisa terselesaikan maka angka-angka tadi dipastikan akan lebih melonjak.
Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4
juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya
tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap hanya sekitar
1,3 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total
pengangguran jadinya akan melampauai 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman,
jika kita mengacu pada data-data tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar
3,5 sampai 4% belumlah memadai. Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996,
perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja
90,1 juta orang. Tahun 1996 perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja
dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen.
Tahun 1997 dan 1998, pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun
1996, karena pada tahun 2007 adalah awal mula terjadinya krisis moneter.
Ketika menginjak tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000
ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun 2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan dengan baik.
ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun 2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan dengan baik.
Dan kini, pada tahun 2008 ini jumlah pengangguran di Indonesia
ditargetkan turun menjadi 8,9 persen dibanding 2007 yang masih 9,7 persen.
Untuk mengurangi jumlah pengangguran maupun kemiskinan, pemerintah perlu
melakukan berbagai langkah strategis seperti pemberdayaan masyarakat. Untuk
mendukung pemberdayaan itu, pemerintah harus memfasilitasi dan menciptakan
iklim yang kondusif. Namun, banyak tantangan yang dihadapi pemerintah dalam
mengupayakan langkah tersebut, terutama karena keterbatasan dana.
Pengangguran intelektual di Indonesia cenderung terus meningkat dan
semakin mendekati titik yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2003 jumlah
pengangguran intelektual diperkirakan mencapai 24,5 persen. Pengangguran
intelektual ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu
menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga
seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing.
Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja
yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang
gelar.
Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di
negara kita adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor
formal sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka
kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di
sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan.
kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di
sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan.
Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun
upaya perluasan kesempatan pendidikan dari pendidikan menengah sampai
pendidikan tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu
harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka
salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan
pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam
berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi
teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang
monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Di negara-negara maju,
pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih besar.
Di negara kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai
kebiasaan menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial,
bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun sayangnya para
siswa tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas
serta cerdas dalam memahami dan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu
pengetahuan alam para siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang
cenderung hanya melatih kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan
bukannya mempertajam penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir.
Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal
matematika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau
kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal
tipe soalnya. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita
ketinggalan jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju.
Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam
profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik
kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius
membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni.
Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing
dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan.
Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi.
Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh, misalnya setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional.
Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing
dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan.
Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi.
Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh, misalnya setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan artinya produktif dan remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro
(khusus). Kebijakan mikro (khusus) dapat dijabarkan dalam beberapa poin:27
Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran
bahwa setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering
tidak menyadari dan mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan
setiap pribadi sanggup mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat
menciptakan kehidupan yang lebih baik, bernilai dan berkualitas bagi dirinya
sendiri maupun masyarakat luas.
Kepribadian yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi
yang jauh ke depan, berani mengambil tantangan serta mempunyai mindset yang
benar. Itu merupakan tuntutan utama dan mendasar di era globalisasi dan
informasi yang sangat kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang. Perlu
diyakini oleh setiap orang, kesuksesan yang hakiki berawal dari sikap mental
kita untuk berani berpikir dan bertindak secara nyata, tulus, jujur matang,
sepenuh hati, profesional dan bertanggung jawab. Kebijakan ini dapat
diimplementasikan menjadi gerakan nasional melalui kerja sama dengan lembaga
pelatihan yang kompeten untuk itu.
Kedua, melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal
dan terpencil sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan
komunikasi. Ini akan membuka lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai
jenis maupun tingkatan.
Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan
penganggur. Hal itu dapat dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan
Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT
Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai
devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di
Indonesia akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus.
Keempat, menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak
jenis perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA),
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan
maupun berkelompok. Itu semua perlu segera dibahas dan disederhanakan sehingga
merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan
masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan
lingkungan yang tidak sehat. Sampah, misalnya, terdiri dari bahan organik yang
dapat dijadikan kompos dan bahan non-organik yang dapat didaur ulang. Sampah sebagai
bahan baku pupuk organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan kerja dan
pupuk organik itu dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah tandus yang
berdekatan untuk meningkatkan produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai ekonomis
tinggi dan akan menciptakan lapangan kerja.
Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional.
Lembaga itu dapat disebutkan sebagai job center dan dibangun dan dikembangkan
secara profesional sehingga dapat membimbing dan menyalurkan para pencari
kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain sumber daya manusianya
(brainware), perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), manajemen
dan keuangan. Lembaga itu dapat di bawah lembaga jaminan sosial penganggur atau
bekerja sama tergantung kondisinya.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi lebih ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Bagi pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan,
keuangan dan aset lainnya yang memadai dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah
Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri (BUMD-PJTKI). Tentunya
badan itu diperlengkapi dengan lembaga pelatihan (Training Center) yang
kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat banyak peluang di
negara lain. Di samping itu, perlu dibuat peraturan tersendiri tentang
pengiriman TKI ke luar negeri seperti di Filipina.
Kedelapan, penyempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional
(Sisdiknas). Sistem pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas
pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu reorientasi supaya dapat mencapai
tujuan pendidikan secara optimal. Pengembangan sistem pendidikan nasional perlu
direstrukturisasi. Perestroika sistem pendidikan tinggi meliputi berbagai
aspek, antara lain keseimbangan program studi dan peningkatan mutu.
Kesembilan, upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial
(PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK). PHI dewasa ini sangat banyak berperan
terhadap penutupan perusahaan, penurunan produktivitas, penurunan permintaan
produksi industri tertentu dan seterusnya. Akibatnya, bukan hanya tidak mampu
menciptakan lapangan kerja baru, justru sebaliknya bermuara pada PHK yang
berarti menambah jumlah penganggur.
Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) mempunyai letak geografis yang strategis yang
sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat potensial sebagai
negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu dikelola lebih baik supaya
dapat menciptakan lapangan kerja yang produktif dan remuneratif.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Konsep Link and Match (keterkaitan dan kesepadanan) merupakan
konsep keterkaitan antara lembaga pendidikan denagn dunia kerja, atau denagn
kata lain Link and Match ini adalah keterkaitan antara pemasok tenaga kerja
dengan penggunanya. Dengan adanya keterkaitan ini maka pendidikan sebaagi
pemasok tenaga kerja dapat mengadakan hubunga-hubungan dengan dunia
usaha/industri.
2.
Dengan link dan match ini suatu lembaga khususnya Perguruan
Tinggi bisa mengadakan kerja sama dengan pihak lain khususnya dengan perusahaan
atau industri agar mahasiswa bisa magang di perusahaan tersebut. Perguruan
tinggi harus mau melakukan riset ke dunia kerja. Denagn adanya Link and Match
tersebut Perguruan Tinggi dapat mengetahui kompentensi (keahlian) apa yang
paling dibutuhkan dunia kerja dan kompetensi apa yang paling banyak dibutuhkan
dunia kerja. Selain itu, Perguruan Tinggi juga akan dapat memprediksi dan
mengantisipasi keahlian (kompetensi) apa yang diperlukan dunia kerja dan
teknologi sepuluh tahun ke depan. Dan yang lebih penting Perguruan Tinggi harus
menjalin relasi dan menciptakan link dengan banyak perusahaan agar bersedia
menjadi arena belajar kerja (magang) bagi mahasiswa yang akan lulus. Dengan
magang langsung (on the spot) ke dunia kerja seperti itu, lulusan tidak hanya
siap secara teori tetapi juga siap secara praktik.
3.
Adapun pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan Link and
Match adalah pendekatan social dan pendekatan ketenagakerjaan. Pendekatan
sosial merupakan pendekatan yang didasarkan atas keperluan masyarakat yang mana
pendekatan ini menitik beratkan pada tujuan pendidikan dan pemerataan
kesempatan dalam mendapatkan pendidikan. pendekatan sosial merupakan pendekatan
tradisional bagi pembangunan pendidikan dengan menyediakan lembaga-lembaga dan
fasilitas demi memenuhi tekanan tekanan untuk memasukan sekolah serta
memungkinkan pemberian kesempatan kepada murit dan orang tua secara bebas. Pendekatan
ketenagakerjaan merupakan pendekatan yang mengutamakan kepada keterkaitan
luusan sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai
sektor pembangunan dengan tujuan yang akan dicapai adalah bahwa pendidikan itu
diperlukan untuk membantu lulusan memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik
sehingga tingkat kehidupannya dapat diperbaiki.
4.
Pendidikan formal dianggap sebagai penentu dalam menunjang
pertumbuhan ekonomi, dan titik temu antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi
adalah produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan,
semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap
pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human
Capital yang menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan
produktivitas kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Cammings,
Williams. Studi Pendidikan dan Tenaga Kerja pada Beberapa Industri Besar di
Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian BP3K.
Enoch,
Jusuf. 1992. Dasar-Dasar Perencanaan. Jakarta: Bumi Aksara.
Hasibuan,
Sayuti. 1987. Changing Manpower Requirements in The Face of Non-Oil Growth,
Labor Force Growth and Fast Tehnological Change. Jakarta: Bappenas.
Indar,
Djumberansyah. 1995. Perencanaan Pendidikan Strategi dan Implementasinya.
Surabaya: Karya Aditama.
Limongan,
Andreas. Masalah Pengangguran di Indonesia. Diakses Tanggal 07 Januari
2008.
Sa’ud,
Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin Makmun, 2006. Perencanaan Pendidikan Suatu
Pendekatan Komprehensif . Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet II.
Sindhunata
(ed). 2000. Menggegas Paradigma Baru Pendidikan: Demokrasi, Otonomi, Civil
Society, Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius.
Sindhunata
(ed), 2001. Pendidikan Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta:Kanisius
Soeharto,
Bohar. 1991. Perencanaan Sosial Kasus Pendekatan. Bandung: Armico
Suryadi, Ace dan H.A.R. Tilaar. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar Bandung: Rosdakarya
Suryadi, Ace dan H.A.R. Tilaar. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar Bandung: Rosdakarya
Tilaar,
H.A.R. 1999. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosdakarya. Cet IV
Usman,
Husaini. 2006. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara
0 Response to "MAKALAH KONSEP LINK AND MATCH: FUNGSI PENDIDIKAN SEBAGAI PEMASOK TENAGA KERJA SIAP PAKAI"
Posting Komentar