SEJARAH HAM
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan
kumpulan hak-hak dasar yang dimiliki manusia. Hak-hak ini inheren dalam
kedirian manusia dan dimiliki sejak lahir. Seseorang mendapat hak-hak dasar ini
karena dia manusia. Sehingga, HAM juga sering disebut sebagai negative
rights atau hak-hak yang pada dasarnya tidak membutuhkan pengakuan
hukum tentang keberadaannya. Tanpa diatur dalam sebuah perundang-undangan atau
perjanjian internasional-pun, HAM memang sudah ada. Jenis hak ini pada awalnya
muncul karena maraknya berbagai tindakan yang merendahkan harkat dan martabat
manusia. Berbagai tindakan tidak berprikemanusiaan seperti pembunuhan, genoside, perbudakan,
penjajahan, dan lain-lain telah mewarnai sejarah manusia. Maka, kemunculan HAM
pada dasarnya sangat terkait dengan semangat pembelaan terhadap harkat dan
martabat manusia. HAM muncul untuk mengembalikan hak-hak dasar manusia yang
saat itu telah banyak tercerabut.
Secara umum, HAM dapat didefinisikan
sebagai hak-hak yang diklaim dimiliki oleh semua orang tanpa memperhatikan
negara, ras, suku, budaya, umur, jenis kelamin dan lain-lain. Hak-hak ini
bersifat universal dan dapat diterapkan pada siapapun dan dimanapun. Namun,
tidak semua klaim tentang hak, terutama dari kelompok atau orang tertentu dapat
disebut HAM. Sebagai contoh, tuntutan seorang dosen atas tambahan gaji atau
perbaikan fasilitas kantornya tidak dapat disebut ‘hak’ atau HAM jika tuntutan
tersebut mereduksi tingkat kualitas pendidikan mahasiswa. Dalam kasus ini, maka
pendidikan yang diklaim sebagai HAM, yaitu bahwa hak mahasiswa atas pendidikan
memiliki prioritas yang lebih tinggi ketimbang tuntutan dosen tersebut. Dengan
demikian, jika terjadi konflik yang diakibatkan oleh adanya klaim hak dari
orang atau kelompok tertentu maka HAM diprioritaskan dan mengatasi setiap klaim
yang ada. Sebuah klaim hak untuk kepentingan orang atau kelompok tertentu tidak
boleh bertentangan dengan hak-hak fundamental yang dimiliki oleh setiap orang.
Adapun, ciri-ciri HAM, sebagaimana
diungkapkan oleh Mansour Fakih, dkk, adalah; Pertama,HAM tidak
perlu diberikan, dibeli atau diwarisi. Hak asasi patut dimiliki karena
kemanusiaan.Kedua, HAM berlaku untuk semua orang, tanpa memandang
jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik, asal usul sosial
bangsa, Ketiga, HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun
mempunyai hak untuk melanggar atau membatasi hak asasi orang lain. Orang tetap
memiliki HAM meskipun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau
melanggarnya.
Dalam sejarah Barat, HAM berupa
pengakuan terhadap hak-hak moral dasar tentang harkat dan martabat manusia
telah berkembang sejak zaman Yunani Kuno (khususnya Stoa), Romawi Kuno, abad
pertengahan Kristen, sampai zaman modern. Pada perkembangan selanjutnya, tepatnya
di Inggris pada abad 17, HAM telah dikodifikasi dalam berbagai dokumen,
seperti Magna Charta Libertatum, 1215, Habeas
Corpus, 1679, Bill of Right, 1689, yang kemudian
sangat berpengaruh bagi munculnya United State Constitution di
Amerika, 1789. Sementara di Prancis, muncul Declaration of the Rights
of Man and Citizen. Contoh-contoh yang diberikan Inggris, Amerika dan
Prancis ini kemudian banyak mempengaruhi konstitusi tertulis berbagai negara di
Benua Eropa seperti Belanda (1798), Swedia (1809), Spanyol (1812), Norwegia
(1814), Belgia (1831), Liberia (1847), Sardinia (1848), Denmark (1848) dan
Prusia (1850).
Pada perkembangan berikutnya,
sejarah modern HAM muncul dalam berbagai upaya politik dan hukum dalam skala
yang lebih besar atau internasional. Pada abad 19, lahir upaya-upaya untuk
menghapus perbudakan dan melindungi hak kaum buruh. Upaya ini terus berlanjut
sampai pada akhirnya Liga Bangsa-Bangsa tahun 1926 mengkodifikasikan The
League of Nations Conventions to Suppress the Slave Trade and Slavery (Konvensi
Liga Bangsa-Bangsa untuk Menghapus Perbudakan dan Perdagangan Budak).
Keprihatinan terhadap HAM juga muncul dengan dibentuknya International
Labour Organization (Organisasi Buruh Internasional) pada 1919
serta International Committee of the Red Cross (Komite Palang
Merah Internasional) pada saat Konferensi Internasional di Jenewa tahun 1863.
Meletusnya Perang Dunia II pada 1939
menjadi titik balik bagi HAM. Bebagai pengalaman Perang Dunia II mencapai titik
klimaksnya berupa pembunuhan massal umat Yahudi oleh NAZI dan membiarkan
pemenang perang menghilangkan jalan bagi jaminan HAM dan kebebasan. Hal ini
memunculkan kesadaran akan pentingnya menciptakan struktur yang menegakkan
perdamaian antar negara di garis akhir. Selama priode ini pula, Presiden Amerika,
Roosevelt memberkan pidatonya yang terkenal dengan “Pesan 6 Januari 1941” yang
menegaskan empat kebebasan berdemokrasi. Selanjutnya pada 1944 lahir Deklarasi
Philadelphia yang diadopsi dari konferensi ILO yang diadakan pada Mei 1944.
Deklarasi tersebut menegaskan pentingnya menciptakan perdamaian dunia
berdasarkan keadilan sosial dan perlindungan seluruh umat manusia dalam
mengejar perkembangan material dan spiritual mereka secara bebas, bermartabat,
aman secara ekonomi dan kesamaan kesempatan.
Perkembangan selanjutnya dari HAM
tidak bisa dilepaskan dari keberadaan dan peran PBB. PBB lahir di tengah
pencarian upaya untuk membangun aliansi antar negara untuk memastikan
perdamaian dunia. Pada 26 Juni 1945 lahirlah Piagam PBB yang pada intinya
memiliki tiga gagasan dasar, yakni, pertama, keterkaitan
antara perdamaian, keamanan internasional dan kondisi yang lebih baik bagi
kesejahteraan ekonomi dan sosial di satu sisi dengan perhatian terhadap HAM di
sisi yang lain. Kedua, perlindungan internasional terhadap HAM
disebutkan sebagai salah satu tujuan utama PBB. Ketiga, negara-negara
anggota anggota diberikan tugas legal untuk memastikan bahwa hak-hak dan
kebebasan yang ada ditegakkan secara luas dan efektif.
Rentang sejarah HAM kemudian
ditandai dengan terbentuknya Komisi HAM PBB pada 16 Februari 1946. Komisi ini
mengajukan usulan kepada Dewan Umum PBB tentang pentingnya suatu Deklarasi
Universal HAM, Konvensi tentang kebebasan sipil, status perempuan, kebebasan
informasi, perlindungan warga minoritas dan pencegahan diskriminasi. Sebagai
hasilnya, pada 1948, lahirlah Universal Declaration of Human
Rights (UDHR) yang merupakan tonggak paling penting bagi pengakuan dan
perlindungan HAM internasional. UDHR diyakini mampu memberikan definisi paling
sahih mengenai kewajiban menghormati HAM bagi sebuah negara yang ingin
bergabung dengan PBB.
Menyusul disetujuinya UDHR, PBB
kemudian mengundangkan International Covenan on Civil and Political
Rights (ICCPR) dan International Covenan on Economic, Social
and Cultural Rights (ICESCR) pada 1966, yang kemudian diikuti dengan
dua Protokol Fakultatif pada Hak Sipil dan Politik. UDHR dan dua Kovenan ini
kemudian lazim disebut sebagai International Bill of Rights (Undang-undang
HAM Internasional). Ditinjau dari perspektif hukum, dengan adanyaInternational
Bill of Rights ini, maka HAM memiliki kekuatan hukum mengikat,
khususnya bagi negara-negara penanda tangan.
Berbagai peraturan tentang HAM
internasional baik berupa Deklarasi, Kovenan, Traktat, Perjanjian, kemudian
lazim disebut sebagai Konvensi. Saat ini, PBB telah menghasilkan banyak sekali
Konvensi yang mengatur berbagai hak dasar manusia, mulai dari ICCPR dan ICESCR,
perlindungan terhadap anak, wanita, golongan minoritas, buruh, ketentuan
hukuman mati, dan lain-lain. Saat ini, tercatat 90 lebih Konvensi yang telah
dihasilkan PBB.
Dalam perdebatan tentang HAM,
hak-hak yang tercantum dalam berbagai Konvensi PBB di atas mengkerucut pada
pengelompokan HAM yang dibagi ke dalam tiga generasi. Generasi HAM
menggambarkan isi dan ruang lingkup serta jenis HAM. Pembagian HAM menjadi tiga
generasi pada awalnya dikemukakan oleh Karel Vasak, yaitu generasi pertama yang
terdiri dari hak-hak sipil dan politik (liberte), generasi kedua,
terdiri dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (egalite) dan generasi
ketiga, terdiri dari hak-hak solidaritas (fraternite).
Generasi pertama HAM yang terdiri
dari hak-hak sipil dan politik berasal dari tradisi intelektual Abad 18 yang
diwarnai oleh semangat Enlightment dan perkembangan filsafat
politik liberal. Sebagai pengaruh dari faham liberal dan doktrin sosial
ekonomi laissez faire, generasi ini meletakkan posisi HAM pada
terminologi yang negatif. Generasi ini menghargai ketiadaan intervensi negara
dalam HAM. Hak-hak dari generasi pertama juga sering disebut sebagainegative
rights dimana langkah yang lebih 3diperlukan adalah proteksi daripada
realisasi. Hak-hak dari generasi ini tertuang dalam pasal-pasal 2-21 UDHR dan
ICCPR.
Sementara generasi kedua yang
terdiri dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya berakar pada tradisi Sosialis,
khususnya Saint Simon pada awal Abad 19 di Prancis dan diperkenalkan melalui
perjuangan revolusioner. Hak-hak dari generasi ini merupakan respon terhadap
pelanggaran dan penyelewengan dari perkembangan kapitalis. Generasi kedua sering
juga disebut sebagai positive rights, karena menuntut peran
yang lebih aktif dan intervensi dari negara. Hak-hak ini dapat ditemukan pada
pasal 22-27 UDHR dan ICESCR.
Adapun generasi ketiga mencakup
hak-hak solidaritas dan merupakan rekonseptualisasi dari dua generasi
sebelumnya. Generasi ini juga sering didefiniskan sebagai hak kolektif karena
hak-hak yang diperjuangkan lebih merupakan hak-hak yang dimiliki oleh suatu
komunitas, populasi, masyarakat atau negara ketimbang hak-hak perorangan.
Kemunculan generasi ini dapat difahami sebagai produk dari proses kebangkitan
dan kejatuhan negara-negara pada abad 20. Pasal 28 UDHR, mencantumkan hak dari
generasi ini.
Sejarah mutakhir perkembangan HAM
menunjukkan tingkat penerimaan yang tinggi terhadap ide ini di berbagai belahan
dunia, baik Barat maupun non Barat. Berbagai organisasi regional seperti di
Eropa Barat, Amerika, Afrika dan Asia juga membuat berbagai peraturan dan
perjanjian HAM. Langkah ini kemudian menghasilkan berbagai instrumen regional
HAM, diantaranya, European Convention on Human Rights (ECHR)
1952, American Convention on Human Rights (ACHR) 1969, African
(Banjul) Charter on Human and People’s Rights, 1981,Bangkok
Declaration 1993, Asian Human Rights Charter, 1997
dan Cairo Declaration on Human Rights in Islam, 1990.Sementara
di tingkat nasional, sebagian besar Konvensi PBB mendapat persetujuan mayoritas
negara anggota. Dukungan ini terlihat dari tingginya jumlah penandatangan
berbagai Konvensi yang telah dihasilkan PBB.
Saat ini, HAM, menurut Rhoda E.
Howard mengutip pendapat Durkheim, telah menjadi fakta sosial, dimana cara
bertindak, berfikir dan merasa yang berada di luar individu dan mendapat
kekuatan koersif, yang menjadi alasan mengendalikan manusia. Sebagai fakta
sosial, HAM mempengaruhi kebijakan publik, membantu kelompok dan individu
mendapatkan keadilan dan membangkitkan perasaan malu di kalangan yang menikmati
HAM dan mengetahui bahwa orang lain tidak demikian. Konsensus tentang jenis
keadilan seperti HAM ini berpengaruh pada tindakan sosial di seluruh dunia.
Dalam pengertian ini, konsensus ini (HAM) menjadi ideologi sosial universal.
Singkatnya, HAM telah menjadi kenyataan objektif perkembangan sosial masyarakat
dan dapat dikatakan menjadi ide yang paling mendapat penerimaan dan pengakuan
dari sebagian besar negara di dunia.
0 Response to "SEJARAH HAM"
Posting Komentar