Sejarah Kampung Adat Lewohala
Sejarah Kampung Adat Lewohala
Nama Kampung
Nama kampung: Lewohala Lolon Melu-Tanah Wuring
Lamabura). Merupakan salah satu Kampung adat di Desa Jontona–tepatnya di Lereng
Gunung Ile Ape-Kecmatan Ile Ape-Kabupaten Lembata-NTT
Nama Lewohala berasal dari nama depan seorang
prajurit perang yang bernama:“Hala Tede” yang pada saat perang
perebutan tanah Lewohala dialah yang menumpas Hulubalang terkenal pihak lawan
yang bernama: “Ekan Watan Lolon”
Nama Lewohala juga berasal dari nama sebuah
pohon yakni: pohon “Hala”(generasi), pohon tersebut yang kemudian
dijadikan lambang dari Lewohala yang mencerminkan keindahan dan keteduhan serta
kedamaaian
SEJARAH KAMPUNG LEWOHALA
Masyarakat adat Lewohala pada mulanya berasal
dari kepulauan Maluku (Serang Gorang Abo Muar). Pada tahun 1000 masehi, Nenek
Moyang kami berangkat meniggalkan tempat asalnya mencari tempat baru untuk
didiami. Adapun alasan perpindahan sebagai berikut:
1. Sengketa
antara kakak beradik ( puke kawi lusi lei, geni kawa magarai)
2. Perang antar
kampung yang tidak berkesudahan
3. Terdesak oleh
pendatang-pendatang baru
Dengan demikian nenek moyang kami mulai membuat
perahu ( tula tena tani laya) dan menyiapkan segala keperluan untuk berlayar
mencari tempat hunian baru. Mereka kemudian berlayar ke arah barat Nusantara
(seba nuho gena katan).
Setelah beberapa lama dalam pelayaran, tibalah
mereka di suatu tempat yang dikenal dengan nama pulau Lepan Batan –Keroko
Puken (uli taga sao songe-kebo tena lulu laya).
Cukup lama mereka tinggal disana dan akrab
dengan penduduk-penduduk disekitar yakni: Kedang Kalikur.
Pada suatu hari masyarakat Serang Gorang
membuat pesta dan mengundang orang Kedang untuk menghadiri pesta mereka. Tuan
pesta membunuh ternak berupa kambing dan babi untuk menjamu para tamu. Anehnya
masyarakat Kedang tidak berselera dengan lauk pauk yang dihidangkan. Para tamu
hanya mau makan jika disajikan daging belut (tuna), karena daging belut tidak
tersedia, pesta akhirnya ditunda. Para pelaya diperintahkan untuk mencari belut
di laut ( perepa/hutan bakau). Belut yang dicari di dalam hutan bakau tak juga
ditemukan. Sementara dalam pencarian, tiba-tiba para pelayan bertemu dengan
seorang pencari ikan, kepada pencari ikan para nelayan bertanya; adakah ia (
pencari ikan) pernah melihat tuna? Jawab pencari ikan” saya hanya pernah
mendengar ceritra bahwa disini ada tuna piaraan dalam lubang bakau, milik
seorang tuan tanah”. Mendengar itu para nelayan langsung menuju ketempat dimana
tuna dipelihara dan memasang api di depan lubang. Sambil menunggu keluarnya
tuna, mereka bernyanyi (sole) sebagai berikut: “ lodo hau tuna bera lodo hau,
tobo miang pae wenge tuna bera lodo hau”.
Karena kepanasan akhirnya tuna tersebut keluar,
dengan gembira para pelayan mengambil dan membawanya pulang untuk disajikan
sebagai hidangan perjamuan dengan para tamu dari Kedang.
Sepanjang malam acara pesta digelar, sole-oha
memecah kesunyian malam. Kira-kira pukul 03.00 pagi, awan mendung menutup
langit, guruh gemuruh Guntur disertai petir menggelegar seakan membelah bumi,
bersamaan dengan datangnya hujan nan lebat, banjir bandang segera melanda
kampung, keramaian pesta berubah seketika, masyarakat menjadi ketakutan.
Pembesar kampung membunyikan nafiri pertanda bahaya segera menimpa. Tak berapa
selang, terasa gempa mengguncang bumi, bersamaan dengan laut pasang, bencana
hebat melanda kampung lepan batan-keroko puken (blebu lebu, blera lerang),
ditengah ketakutan, pembesar kampung mengumumkan agar masyarakat segera
menyelamatkan diri.
Masing-masing mereka lalu menyelamatkan diri
menggunakan perahu. Ada yang kemudian berlayar ke arah utara, selatan, timur
dan barat. Yang berlayar menyusuri pantai utara lalu tiba di Kedang (meru wetan
tuka-para wailolon), sedangkan yang berlayar menyusuri pantai selatan kemudian
melabuhkan perahunya di nila wuyo kape, lama lera dan lewo bala, sebagian lagi
terus berlayar dan tiba di pulau adonara dan pulau solor (wulo sodong-arang
bao). Wulo sodong, tanah boleng, arang bao, waiwuring- sagu arang.
Nenek moyang cukup lama mendiami kedang dibawah
pimpinan ola baga tugu wulan dan pati useng kei lera sedangkan yang di adonara
dibawah pimpinan pati arakiang dan kayo wua boli ama.
Tidak lama nenek moyang tinggal di waiwuring
dan sagu arang, karena semacam penyakit aneh menimpah yakni: penyakit ketili
witi dan udung lawaj. Mereka akhirnya mengambil keputusan untuk mencari tempat
baru. Mereka berlayar menuju ile anakoda, dan sempat menurunkan sebagian di
lewokea (lewotolok-sekarang) dan sebagian berlayar terus ke arah utara timur.
Dan tibalah mereka di bui baran dan melabuhkan perahunya.
Disamping tanjung lakadoni bapak hali sabo ama
sempat menggal sebuah sumur di depan jong bute balu bihang, mereka kemudian
memutuskan untuk menetap. Setelah sebulan mereka tinggal, terjadila perundingan
diantara mereka untuk membagi tugas dan tempat tinggal.
Pembagian itu yakni:
1. Kaka
lewo bolo
2. Arin
lewo lere
Kaka lewo bolo tinggal di lereng gunung ile ape
dengan tugas: tanam kelapa, pisang, pinang dan siri. Sedangkan arin lewo lere
tingggal diantara pantai dan gunung yakni: kewatu moting dan sekaligus bertugas
mencari ikan (nelayan), masak garam, bakar kapur untuk dibarter antara mereka.
Kakan lewo bolo kemudian menetap disebuah
tempat bernama mita rota guma gole. Ditempat tersebut sudah ada penghuninya
yakni tede tawa tanah, disana mereka hidup bersama. Kedatangan mereka atas
undangan tede tawa tanah untuk membantu melawan musuhnya yang bernama sadu rupa
lima letu dan ekan watan lolon.
Setelah saling mengenal mereka kemudian
berunding untuk membangun kekuatan bersama menyerang musuh sadu rupa lima letu
dan ekan watan lolon. Perang cukup banyak memakan korban, baik korban jiwa
maupun harta beda. Namun demikian musuh besar belum berhasil ditumpas. Karena
terus saja mengalami kekalahan mereka kemudian meminta bantuan dari
saudara-saudara mereka yang tinggal di kedang tepatnya yang tinggal di meru
watan tuka para wailolon dibawah pimpinan ola baga tugu wulan dan pati usen kei
lera.
Beberapa delegasi diutus untuk menemui ola baga
tugu wulan dan pati usen kei lera. Ola baga tugu wulan dan pati usen kei lera,
kemudian menyetujui permintaan dan akhirya berangkat bersama. Dalam perjalanan
pulang mereka sempat melabuhkan perahunya di wai bao hadakewa. Dari situ mereka
berlayar lagi menuju okang paga wewa matan. Adapun barang yang dibawah oleh ola
baga tugu wulan dan pati usen kei lera adalah:
1. Wuhu
pito labi lema (senjata kuno)
2. Sedo
wu nake lolong (ritual pesta kacang)
3. Api
lera ku keneheng (alat pembuat api dari bambu)
Di okang paga wewan matan telah mereka berjumpa
dengan para pembesar kakan lewo bolo dan arin lewo lere, juga pembesar tana
tawa, perjumpaan diwarnai isak tangis.
Mereka kemudian berunding untuk membangun
strategi perang melawan musuh. Perang demi perang dilalui namun musuh belum
juga berhasil ditumpas.
Oleh karena sering mengalami kekalahan, mereka
kemudian mengutus delegasi menemui sadu rupa lima letu untuk berunding.
Strategi ini boleh dibilang berhasil, putri kesayangan sadu rupa lima letu somi
solang gewo (kewa kala nidi) dinikahkan dengan a’wote abo ama (soge laka rowe)
dari suku serang gorang.
Perkawinan dimaksud untuk mencari tahu rahasia
perang dan kekuatan sadu rupa lima letu serta benteng pertahanan sadu rupa lima
letu. Somi salang gowa akhirnya membeberkan seluruh rahasia kekuatan ayahnya
sadu rupa lima letu kepada suaminya a’ wote abo ama (soge laka rowe).
Berbekal ceritra dari somi solang gewo, nenek
moyang kemudian mulai berundig dan membangun strategi baru.
Diceritrakan bahwa: sadu rupa lima letu dan
ekan watan lolon bertempat tinggal di atas pohon (lewwa). Salah satu kebiasaan
sadu rupa lima letu adalah membuang air kencing melalui saluran yang terbuat
dari sebatang bambu bulu.
Suatu malam di kediaman sadu rupa lima letu
sedang berlangsung pesta pernikahan yang meriah, saat yang ditunggu-tunggu pun
tiba. Panglima a’ wote abo ama (soge laka rowe) bergerak menuju kediaman sadu
rupa lima letu dan menunggu persis didekat saluran bambu. Tak lama berselang,
terdengar derap langkah sadu rupa lima letu.
A’ wote abo ama dengan segera memasukan
panahnya kedalam lubang saluran, setelah terlihat air seni menetes panah pun
dilepas. Sadu rupa ima letu tewas seketika dan jatuh dari atas pohon lewwa. A’
wote abo ama lalu memotong kaki dan tangan sadu rupa lima letu dan kemudian
dibawanya menuju namang (tempat hiburan) dimana seluruh masyarakat sadu rupa
lima letu sedang berpesta. Ia lalu membuangkaki dan tangan sadu rupa lima letu
ketengah kerumunan. Melihat itu masyarakat menjadi panik, ditengah kepanikan
seorang tukang sole masih sempat lagukan solenya yang berbunyi: “ sedan aku
digelema, pelali lei ge sadu rupa lima letu lei hae. Tutu padu solang dama dai
hotoro uhe “ obor kemudian dinyalakan untuk memastika kaki dan tangan
siapa yang dibuang itu. Masyarakat terkejut dan semakin panik ketika mengetahui
bahwa kaki dan tangan tersebt milik panglima besar mereka sadu rupa lima letu.
Karena ketakutan mereka kemudian melarikan diri untuk bersembunyi. Ketika pagi
menjelang, ekan watan lolon membunyikan nafiri untuk memanggil masyarakatnya
berkumpul dan menguburkan mayat panglima besar mereka.
Suasana haru menyelimuti masyarakat sadu rupa
lima letu. Kesedihan itu semakin menjadi ketika kemudian diketahui bahwa orang
yang menbunuh sadu rupa lima letu adalah suami dari somi solang gewo- a’ wote
abo ama. Akibat kejadian ini perang sempa terhenti untuk beberapa saat.
Namun setelah itu, ekan watan lolon membangun
lagi kekuatan untuk melancarkan serangan kepada suku serang gorang dan tanah
tawa. Lagi-lagi korban berjatuhan terlebih pada suku serang gorang dan suku
tanah tawa. Dituturkan pula bahwa, perang saat itu menyebar sampai ke
lewotolok. Ekan watan lolon dan pasukannya selalu menang dalam pertempuran itu.
Oleh karena kemenangan dalam peperangan, ekan watan lolon kemudian melagukan
sebuah sole sebagai berikut: “ jadi hala, hala lawa jadi hala, tolok ile ale
gole, lawa jadi hala”. Sole sindiran ini menyebabkan kemarahan besar pihak
serang gorang dan tanah tawa. Strategi perang baru pun mulai disusun. Para
prajurit serang gorang pun diperintahkan panglimanya untuk menggali lubang
jebakan dan memasang ranjau pada tempat yang biasa dilalui ekan watan lolon
musuh besar mereka.
Strategi ini berhasil menangkap ekan watan
lolon. Tubuh ekan watan lolon kemudian ditarik ke kampung serang gorang oleh
panglima hala tede dan prajuritnya. Rakyat serang gorang yang selama ini
memendam kemarahan berbondong-bondong datang menyaksikan musuh besar mereka
yang berhasil ditangkap. Tak ketinggalan kaum ibu, yangdatang dengan membawa
pisau dan mengiris sedikit demi sedikit tubuh ekan watan lolon. Luka yang
mengangah kemudian disirami garam bercampur Lombok dan cuka. Tidak puas dengan
perlakuan itu, ekan watan lolon kemudian diseret ke lewotolok untuk didera.
Dalam perjalanan pulang ekan watan lolon meratapi nasibnya sebagai berikut: “
kaka sadu take kae, nong go ekan watan lolon gali hae, pana-pana kai mataj lali
kepa bunu tali, gawi-gawi kai lola weli wulo dopi lara. Tanah sira paji ike
ekan laga doni pama buto bote nai doan kuma doro nai lela”. Pada akhirnya ekan
watan lolon meninggal dan dimakamkan disebuah tempat yang bernama “kepa tawa”
Meninggalnya dua panglima perang ini membuat
rakyat watowita dan kumata bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Dibawah
pimpinan anak kandung sadu rupa lima letu yang bernama leba letu, mereka
kemudian pergi mencari tempat hunian baru.
TERBENTUKNYA KAMPUNG LEWOHALA
(Honi tobo wani pae lewohala)
Berdirinya kampung Lewohala ditandai dengan
upacara sejuk dingin yang disebut dengan: “ tewu tanah sira paji, wulu
bure bala kenera, hodi ekan lagadoni lodan sode
namang gole”. (upacara menebus tanah dengan sebatang gading-moko dan
kalung emas/Lodan). Benda adat tersebut di atas diberikan kepada suku witak
lamawaleng, luwo waleng koli baran.
Wulu Bure Bala Kenerang dibawah ke Koli Buto
sedangkan Lodan Sode Namang Gole dibawah ke Ebak. Setelah penyerahan
benda-benda adat tersebut, masyarakat Serang Gorang dan masyarakat Tanah Tawa
dibawa pimpinan para pembesarnya masing-masing membangun Lewotanah Lewohala.
Masyarakat kemudian membangun rumah untuk dihuni sebanyak tujuh pulu tujuh buah
rumah yang kemudian berkembang menjadi tujuh pulu tujuh suku, (jumlah rumah
adat tersebut masih tetap dipertahankan sampai sekarang). Setelah kampung
terbentuk, masyarakat kemudian berunding untuk memilih pemimpin yang akan
memimpin Lewohala yang lazim disebut Belen Raya. Adapun tata cara
pemilihan Belen Raya adalah sebagai berikut: dilakukan lomba menarik bambu yang
dipotong, tanpa dibersihkan dari ranting dan daun. Syarat dalam perlombaan
adalah bambu ditarik dengan posisi terbalik, yakni bagian ujung bambu berada
didepan.
Titik star lomba adalah kampung (Lewohala)
sampai ke pantai. Suku yang sampai terlebih dahulu di pantai berhak menjadi
pemimpin. Lomba ini kemudian dimenangkan oleh suku Serang Gorang atau suku
pendatang. Hasil perlombaan ini dianulir oleh suku Tanah Tawa, karena suku
pendatang berlaku curang dalam perlombaan. Akhirnya disepakati cara kedua yakni
dengan membuat Ceremony adat gantung domba (peke ehang).
Masing-masing pihak menanggung seekor domba, domba tersebut digantung pada saat
bersamaan. Namun sebelumnya, masing-masing pihak menyampaikan doa.
Upacara dimulai, domba digantung. Dua ekor
domba mati pada jam yang sama, tetapi domba milik suku Tanah Tawa kakinya
tertutup, yang menandakan bahwa tidak ada jalan. Selain itu jasad domba berbauh
dan dipenuhi ulat berbulu serta lalat. Sedangkan domba milik suku Pendatang
(Serang Gorang) mati dengan kaki terbuka, serta tidak berbauh. Keadaan inilah
yang kemudian diputuskan bahwa suku pendatanglah yang paling berhak memimpin
kampung Lewohala.
Walaupun demikian dalam struktur pemerintahan
asli saat itu tetap melibatkan suku asli. Adapun pembagian tersebut adalah
sebagai berikut:
Ø Belen Werang dijabat oleh
Serang Gorang
Ø Belen Leing dijabat
oleh Serang Gorang
Ø Raya Lein dijabat oleh
Tawa Tanah
Ø Raya Werang dijabat
oleh Serang Gorang
Benda adat seperti yang disebutkan diatas,
berupa Moko Lodon dan Gadingseluruhnya ditanggung oleh Serang
Gorang untuk menebus tanah Lewohala.
Batas wilayah adat lewohala:
1.
Utara
: Gunung Ile Ape
2.
Selatan :
Teluk Waienga- Teluk Lewoleba
3.
Timur
: Desa Lamawolo
4.
Barat
: Desa Ama Kaka dan Desa Tagawiti
Suku-Suku yang mendiami kampung Lewohala:
1. Wungu Belen
terdiri dari:
a. Gesi
Making
b. Domaking
c. Laba
Making
d. Halimaking
e. Soro
Making
f. Krowe
Making
g. Duli Making
h. Tede Making
i. Lewo
Kedang
j.
Roga Making
k. Beni Making
l.
Puho Boto
m. Lado Angin
n. Lewo Hura
o. Puka Lolong
p. Lewo Tubun-
Narawayong
q. Au Urang
2. Wungu Blumer
a.
Pureklolon
b. Matarau
c.
Balawanga
d. Lamatapo
e.
Lamawalang
f.
Lamablolu
g. Bekayo
h. Langoday
i.
Lamabahy
j.
Atanila
k. Langotukan
l.
Lewokdanga
Desa-Desa komunitas adat Lewohala:
1. Baopuke
2. Waiwaru
3. Kimakama
4. Muruona
5. Woipuke
6. Ohe
7. Bao
III. Sejarah Kedatangan
Penghuni Suku
Penghuni suku yang mendiami Lewohala umumnya
berasal dari kepulauan Maluku (Serang Gorang Abo Muar).
Awal mula dari Serang Gorang, Nenek Moyang
berada dibawah naungan satu suku besar yakni: “ Suku Seram Sara Luka, Luwa
Goran Lobi Au” sedangkan suku asli yang sudah menetap terlebih dahulu
adalah Suku Duli Making Dan Tede Making ( Tawa Tanah-Gere Ekan).
IV. Tradisi Yang Diwariskan
Tradisi yang diwariskan nenek moyang adalah
hasil ciptaan dan buah pikir dari para leluhur yang di bawah dari serang
gorang.
V. Hukum
Adat
1. Adat
Perkawinan
: Pain Napan
2. Adat
Kematian
: Keju Maten
3. Penghamilan
Liar : Gowa Sagi
4.
Selingkuh
: Turu Tobo
5. Merapas Isteri
Orang : Toban Nukan, Gui Kele
VI. Tokoh-tokoh purba
1. Pati Arakian
2. Kayo Wuan Boli
Ama
3. Oikeko Lado
Rua
4. Wotan
Waiwuring
5. Ola Baga Tugu
Wulan
6. Pati Useng Kei
Lera
7. Sibeni Bunu
Tiwa
8. Kerua Sili
Lolo
9. Duli Tede
Hala-A’ Wote Abo Ama
10. Gesi-Do-Laba-Beni
11. Hali-Sorong-Ola Abo Ama
12. Tede Pure Balawanga
13. Nila Tutu Lungu-Lura Toda Wolo
14. Pure Dong Laba-Hore Laba Taran
15. Laba Lele Demo Ama
16. Aba Taran Gorang
VII. Jenis Ritual Adat
Ø Pesta Kacang
Urutannya sebagai berikut:
a. Sawe
Nuku (Penggantung Nuki di Koke Atamuki)
b. Tuka Kiwan-Lua
Watan (Pergi Pulang Gunung Pantai) untuk menyuguhkan sesajian bagi para leluhur
ditampat upacara (Nuba Nara)
c. Belai:
Perjamuan bersama bagi anak gadis Wungu Belumer di Koke
d. Dora – Dope:
Berburu ayam piaraan untuk sesajian para Leluhur
e. Pau
Lango: Perjamuan anak suku di rumah adat masing-masing.
f. Sora
Utan Lango Belen: Perjamuan bersama di rumah besar untuk beberapa suku tertentu
(Suku-Suku Wungu Belen)
g. Penu Koke Lera
Tena: Perjamuan bersama di kelima Koke Lewohala sesuai pembagian kelompok suku.
h. Juang wua:
Pawai siri pinang yang dilakukan oleh Belen Raya Lewo Werang dan Belen Raya Lewolein
(Hebo Elo Tora Woke)
i.
Ina Ratang: Perjamuan bersama anak-anak gadis Belen Raya Lewowerang
VIII. Struktur Lembaga Adat
IX. Sejarah Rumah Adat
Pada awalnya Nenek Moyang tidak memiliki tempat
tinggal. Hidup mereka sangat menggantungkan nasibnya pada alam sekitarnya,
hidup mereka selalu berpindah-pindah dengan maksud mencari makan di hutan.
Setelah terjadi perkembang biakan manusia, dari
satu garis keturunan mereka mulai berpikir untuk membangun pondok-pondok
sederhana untuk tinggal bersama.
Adapun tujuan dari tinggal bersama adalah:
1. Mudah
membangun kekompakan untuk membelah diri dari serangan musuh
2. Mudah
mengadakan upacara-upacara seromonial adat dan ritual yang dibutuhkan
3. Saling
membantu dalam segala kesulitan yang dihadapi
Seiring dengan bertambahnya jumlah manusia,
rumah-rumah semakin banyak dibangun. Selain itu mereka yang terlahir dari satu
garis keturunan bersepakat untuk membangun sebuah rumah sebagai induk (bliwo
kawa) yang sengaja dibiarkan kosong dan hanya dipakai pada saat tertentu,
seperti membuat ritual adat.
Adapun tujuan dari pembangunan rumah sendiri
adalah menjaga bentrok intern antara sesama kakak beradik yang
dapat menghancurkan kerukunan keluarga.
Proses pembuatan rumah adat
a.
Pembuatan Dena (Dolu Alang) / Boti Atu – Borang Kota
b. Pengadaan
bahan-bahan local
-
Pengadaan tiang
-
Pengadan palang (munung-mape)
-
Pengadaan kuda-kuda dan tongkat kuda-uda (nu lake-wola wae)
-
Palang atas, bawah, muka dan belakang (nore-kawang-blope)
-
Pengadaan bahan-bahan penangkis bala/penyakit (kotemane)
-
Pengadaan atap dan tali pengikat setelah semua bahan siap, membangun
rumah sampai selesai.
c. Fungsi
rumah adat
-
Tempat membuat upacara adat
-
Tempat berkumpul anggota-anggota suku dan kepala suku untuk suatu urusan adat
d. Bentuk dan
arti rumah adat
-
Atap : melambangkan kekompakan
anggota suku
-
Dinding : kekuatan
-
Tiang : melambangkan peran
anggota suku
-
Balai utama: tempat ritual (kenata bele, liri wanan)
-
Tempat tidur (uli one), mada-pendopo
-
Hoi : tempat
menyimpan makanan
-
Bentuk rumah adat: empat (4) air
X. Tempat
ritual di kampung adat
a. Rumah
adat / rumah besar
b. Koke-bale:
tempat perjamuan bersama
c.
Nepi-basa: tempat upacara piara kambing
d. Manfaat rumah
adat: tempat berdoa dan pemberian sesajian kepada para leluhur
e.
Sanksi : apabila upacara tidak dilakukan sesuai
ketentuan jadwal dan aturan mainnya maka penyakit yang dapat berujung kematian
akan menimpa
XI. Benda purba kala
Barang-barang peninggalan benda purbakala
adalah sbb:
Moko, gading, guci, maeriam kuno, piring tanah,
belaong, lodan, parang dan tombak.
Semua barang-barang kuno sebagai bukti sejarah
ini disemayamkan pada balai utama (kenata belen) dan mempunyai kekuatan gaib.
Apabila ada yang dengan sengaja dan secara tahu dan mau merusak, mencuri untuk
kepentingannya maka malapetaka akan menimpanya sepanjang hidup, bahkan sampai
pada anak keturunannya.
XII. Makanan tradisional
1.
Ketemak/kebose/munga
2. Nasi campur
jagung dan kacang
3. Keleso/lepi
4. Putu, ubi
kukus, ubi bakar
XIII. Jenis pakian adat dan fungsinya
1. Wate hebe,
topo, kerokong: pakian harian/pesta dan dapat digunakan untuk hadiah bagi
anak-anak pada saat pernikahan
2. Wate mea:
digunakan untuk balas gading dan juga hadiah buat anak gadis pada saat
pernikahan
3.
Senai/kewodu/senawe: pakian harian buat pria
XIV. Tarian adat
1. Hedung/ tari
perang
2. Tari rotan
3. Tari neba
4. Tari tambang
5. Tari bambu
XV. Permainan tradisional
1. Eda
2. Pesu
3. Bie
4. Kote
5. Kemote
6. kepasa
XVI. Kearifan local (muru naki)
1. Larangan
memetik kelapa
2. Larangan
menangkap ikan
3. Larangan
membuka kebun baru
XVII. Mata pencaharian
1. Bertani
2. Nelayan
3. Berburuh
4. Tenun ikat
0 Response to "Sejarah Kampung Adat Lewohala"
Posting Komentar