SUKU BETAWI
Suku Betawi adalah sebuah suku bangsa di Indonesia yang
penduduknya umumnya bertempat tinggal di Jakarta.
Sejumlah pihak berpendapat bahwa
Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.
Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum
berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia.
Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang
baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok
etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar,Ambon, Melayu dan Tionghoa.
Namun pihak lain berpendapat bahwa
Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa pada masa lalu
ternyata tidak sepenuhnya benar karena eksistensi suku Betawi menurut sejarawan
Sagiman MD telah ada serta mendiami Jakarta dan sekitarnya sejak zaman batu
baru atau pada zaman Neoliticum, penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa
sebagaimana orang Sunda, Jawa, dan Madura. Pendapat Sagiman MD tersebut senada dengan Uka
Tjandarasasmita yang mengeluarkan monografinya "Jakarta Raya dan
Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)" mengungkapkan
bahwa Penduduk Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3500 - 3000 sebelum
masehi.
Namun menurut sebagian Peneliti yang
sepaham dengan Lance Castles yang pernah meneliti tentang Penduduk Jakarta
dimana Jurnal Penelitiannya diterbitkan tahun 1967 oleh Cornell University
dikatakan bahwa secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi
adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan
oleh Belanda ke Batavia. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok
etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Melayu serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.
Pada penelitiannya Lance Castles
menitik beratkan pada empat sketsa sejarah yaitu :
1. Daghregister, yaitu catatan harian
tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
2. Catatan Thomas Stanford Raffles
dalam History of Java pada tahun 1815.
3. Catatan penduduk pada Encyclopaedia
van Nederlandsch Indie tahun 1893
4. Sensus penduduk yang dibuat pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1930.
Dimana semua sketsa sejarahanya
dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke 17), sketsa inilah yang oleh
sebagian ahli lainnya dirasakan kurang lengkap untuk menjelaskan asal mula Suku
Betawi dikarenakan dalam Babad Tanah Jawa yang ada pada abad ke 15 (tahun
1400-an Masehi) sudah ditemukan kata "Negeri Betawi"
Kata Betawi digunakan
untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Mengenai asal mula kata Betawi,
menurut para ahli dan sejarahwan ada beberapa acuannya :
·
Pitawi
(Bahasa Melayu Polynesia Purba) yang artinya larangan. Perkataan ini mengacu
pada komplek bangunan yang dihormati di Batu Jaya. Sejarahwan Ridwan Saidi
mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan di Batu Jaya, Karawang merupakan sebuah Kota
Suci yang tertutup, sementara Karawang, merupakan Kota yang terbuka.
·
Betawi
(Bahasa Melayu Brunei) di mana kata "Betawi" digunakan untuk menyebut
giwang. Nama ini mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi, yang
banyak ditemukan giwang dari abad ke-11 M.
·
Flora
guling Betawi (cassia glauca), famili papilionaceae yang merupakan jenis
tanaman perdu yang kayunya bulat seperti guling dan mudah diraut serta kokoh.
Dahulu kala jenis batang pohon Betawi banyak digunakan untuk pembuatan gagang
senjata keris atau gagang pisau. Tanaman guling Betawi banyak tumbuh di Nusa
Kelapa dan beberapa daerah di pulau Jawa dan Kalimantan. Sementara di Kapuas
Hulu, Kalimantan Barat, guling Betawi disebut Kayu Bekawi. Ada perbedaan
pengucapan kata "Betawi" dan "Bekawi" pada penggunaan
kosakata "k" dan "t" antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu,
dan ini biasa terjadi dalam bahasa Melayu, seperti kata tanya apakah atau
apatah yang memiliki persamaan makna atau arti.
Kemungkinan nama Betawi yang berasal
dari jenis tanaman pepohonan ada kemungkinan benar. Menurut Sejarahwan Ridwan
Saidi Pasalnya, beberapa nama jenis flora selama ini memang digunakan pada
pemberian nama tempat atau daerah yang ada di Jakarta, seperti Gambir, Krekot,
Bintaro, Grogol dan banyak lagi. "Seperti Kecamatan Makasar, nama ini tak
ada hubungannya dengan orang Makassar, melainkan diambil dari jenis rerumputan"
Sehinga Kata "Betawi"
bukanlah berasal dari kata "Batavia" (Nama lama KotaJakarta pada masa Hindia Belanda). Dikarenakan nama Batavia lebih merujuk kepada wilayah
asal nenek moyang orang Belanda
“
|
“Batavia is the Latin name for the
land of the Batavians during Roman times. This was roughly the area around
the city of Nijmegen, Netherlands, within the Roman Empire. The remainder of
this land is nowadays known as Betuwe. During the Renaissance, Dutch
historians tried to promote these Batavians to the status of
"forefathers" of the Dutch people. They started to call themselves
Batavians, later resulting in the Batavian Republic, and took the name
"Batavia" to their colonies such as the Dutch East Indies, where
they renamed the city of Jayakarta to become Batavia from 1619 until about
1942, when its name was changed to Djakarta (this is the short for the former
name Jayakarta, later respelt Jakarta; see: History of Jakarta). The name was
also used in Suriname, where they founded Batavia, Suriname, and in the
United States where they founded the city and the town of Batavia, New York.
This name spread further west in the United States to such places as Batavia,
Illinois, near Chicago, and Batavia, Ohio.”.
|
”
|
Batavia merupakan nama Latin untuk
tanah Batavia pada zaman Romawi. Perkiraan kasarnya berada sekitar kota
Nijmegen, Belanda, dalam Kekaisaran Romawi. Sisa lahan ini kini dikenal sebagai
Betuwe. Selama Renaisans, sejarawan Belanda mencoba untuk mempromosikan Batavia
menjadi sebuah status "nenek moyang" dari orang-orang Belanda.
Kemudian mereka mulai menyebut diri Orang-orang atau penduduk Batavia, kemudian
hal tersebut mengakibatkan munculnya Republik Batavia, dan mengambil nama
"Batavia" untuk koloni mereka seperti Hindia Belanda, dimana mereka
mengganti nama menjadi dari Kota Jayakarta menjadi Batavia dari 1619 sampai
sekitar 1942, ketika namanya diubah menjadi Djakarta (ini adalah kependekan
dari nama mantan Jayakarta, kemudian dirubah kembali ejaannya menjadi Jakarta).
Nama itu (Batavia) juga digunakan di Suriname, di mana mereka mendirikan Batavia,
Suriname, dan di
Amerika Serikat di mana mereka mendirikan kota dan kota Batavia, New York. Nama
ini menyebar lebih jauh ke barat di Amerika Serikat untuk tempat-tempat seperti
Batavia, Illinois, dekat Chicago, dan Batavia, Ohio.
Kemudian penggunaan kata Betawi
sebagai sebuah suku yang pada masa hindia belanda, diawali dengan pendirian
sebuah organisasi yang bernama Perkoempoelan Kaoem Betawi yang lahir pada tahun 1923.
Sejarah
Berikut merupakan pemaparan para
ahli tentang sejarah betawi.
Periode Sebelum Masehi
Sejarah Betawi diawali pada masa
zaman batu yang menurut Sejarawan Sagiman MD sudah ada sejak zaman neolitikum.
Sementara Yahya Andi Saputra (Alumni Fakultas Sejarah UI), berpendapat bahwa
penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa. Menurutnya, dahulu kala
penduduk di Nusa Jawa merupakan satu kesatuan budaya. Bahasa, kesenian, dan
adat kepercayaan mereka sama. Dia menyebutkan berbagai sebab yang kemudian
menjadikan mereka sebagai suku bangsa sendiri-sendiri.
·
Pertama,
munculnya kerajaan-kerajaan di zaman sejarah.
·
Kedua,
kedatangan penduduk dari luar Nusa Jawa.
·
Terakhir,
perkembangan kemajuan ekonomi daerah masing-masing.
Penduduk asli Betawi berbahasa Kawi
(Jawa kuno). Di antara penduduk juga mengenal huruf hanakacara (abjad bahasa
Jawa dan Sunda). Jadi, penduduk asli Betawi telah berdiam di Jakarta dan
sekitarnya sejak zaman dahulu.
Periode Setelah Masehi
Periode Awal
Abad ke-2
Pada abad ke-2, Menurtut Yahya Andi
Saputra Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara atau
Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor. Penduduk asli Betawi adalah
rakyat kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu perda gangan dengan Cina telah
maju. Bahkan, pada tahun 432 Salakanagara telah mengirim utusan dagang ke Cina.
Abad ke-5
Pada akhir abad ke-5 berdiri
kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum. Menurut Yahya, ada yang
menganggap Tarumanagara merupakan kelanjutan kerajaan Salakanagara. Hanya saja
ibukota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi kali Citarum.
Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak
ibukota kerajaan di tepi sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka
diidentifikasi dengan sungai Bekasi. Candra berarti bulan atau sasi, jadi ucapan
lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran
Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan
Tarumanengara yang termashur itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli
pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka
sejak saat itu rakyat Tarumanagara mengenal persawahan menetap. Pada zaman
Tarumagara kesenian mulai berkembang. Petani Betawi membuat orang -orangan
sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini diberi baju dan bertopi, yang
hingga kini ma sih dapat kita saksikan di sawah-sawah menjelang panen. Petani
Betawi menyanyikan lagu sambil mengge rak-gerakkan tangan orang-orangan sawah
itu. Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri
menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran.
Pendu duk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan merdeka
punya kagoembiraan. Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan gamelan. Nelayan
juga bergembira menyambut panen laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka
dapatkan dari laut. Karenanya mereka mengadakan upacara nyadran. Ratusan perahu
nelayan melaut mengarak kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.
Abad ke-7
Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara
ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha. Di zaman kekuasaan
Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera. Mereka mendirikan
pemukiman di pesi sir Jakarta. Kemudian bahasa Melayu menggantikan kedudukan
bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan terjadinya perkawinan
antara penduduk asli dengan pendatang Melayu. Bahasa Melayu mula-mula hanya
dipakai di daerah pesisir saja. Kemudian meluas sehingga ke daerah kaki Gunung
Salak dan Gu nung Gede. Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting.
Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi
martabat keluarga. Dalam keluarga Betawi ayah disebut babe. Tetapi ada juga
yang menyebutnya baba, mba, abi atau abah — pengaruh para pendatang dari Hadra
maut. Ibu disebut mak. Tetapi tidak kurang banyaknya yang menyebut nyak atau
umih. Anak pertama dinamakan anak bongsor dan anak bungsu dinamakan anak
bontot.
Pada sekitar abad ke-10. Saat
terjadi persaingan antara wong Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan wong Jawa
yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini kemudian menjadi perang
dan membawa Cina ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka
terganggu. Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah Barat mulai
dari Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri
dikendalikan Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.
Sriwijaya kemudian meminta mitranya
yaitu Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial
Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi ternyata Syailendara abai maka Sriwijaya
mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode
itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya
– karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukin awal – bahasa
Melayu yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di
Kerajaan Kalapa. Sejarahwan Ridwan Saidi mencontohkan, orang “pulo”, yaitu
orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup
sangat kencang dan membahayakan nelayan dengan “musim barat” (bahasa Melayu),
bukan “musim kulon” (bahasa Sunda), orang-orang di desa pinggiran Jakarta
mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (bahasa Melayu Kalimantan
bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”.
Periode Kolonialisasi Eropa
Abad ke-16
Perjanjian antara Surawisesa (raja
Kerajaan Pajajaran) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis
untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan
campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah
campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik Keroncong atau dikenal
sebagai Keroncong Tugu.
Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai
pusat kegiatan niaganya, Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka
lahan pertanian dan membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu VOC banyak
membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung
praktik perbudakan. Itulah
penyebab masih tersisanya kosa kata dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi
kini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru
Nusantara hingga Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh
suku bangsa pendatang asing tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang
banyak dipengaruhi unsur Arab dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta
juga menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke
Batavia, Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung
Makassar dan Kampung Bugis. Rumah
Bugis di
bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung
Bugis yang
dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah
seperti ini di daerah Kota.
Abad ke-20
Pada April 1967 di majalah Indonesia
terbitan Cornell University, Amerika, Lance Castles mengumumkan penelitiannya
menyangkut asal-usul orang Betawi. Hasil penelitian yang berjudul “The Ethnic
Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi terbentuk pada sekitar
pertengahan abad 19 sebagai hasil proses peleburan dari berbagai kelompok etnis
yang menjadi budak di Batavia.
Secara singkat sketsa sejarah
terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri dari :
1. Daghregister, yaitu catatan harian
tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
2. Catatan Thomas Stanford Raffles
dalam History of Java pada tahun 1815.
3. Catatan penduduk pada Encyclopaedia
van Nederlandsch Indie tahun 1893
4. Sensus penduduk yang dibuat
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Oleh karena klasifikasi penduduk
dalam keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya dapat diperbandingkan,
untuk memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal abad
19 hingga awal abad 20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut
mungkin tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya
itulah data sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan walaupun hasil kajian
yang dilakukan Lance Castles mendapatkan banyak kritikan karena hanya
menitikberatkan kepada skesta sejarah yang baru ditulis tahun 1673.
Mengikuti kajian Lance Castles
antropolog Universitas
Indonesia, Dr. Yasmine Zaki
Shahab, MA memperkirakan,
etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas
studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance
Castle. Di zaman
kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan
bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai
golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Hasil
sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang
sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Bali, Jawa, Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. Kemungkinan
kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan
penduduk pribumi (Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian
terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.
Sepuluh tahun setelah pengumuman
hasil penelitian Lance Castles yakni pada tahun 1977 arkeolog Uka Tjandarasasmita
mengemukakan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman
Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)". Uka memang tidak menyebut
monografinya untuk menangkis tesis Castles, tetapi secara arkeologis telah
memberikan bukti-bukti yang kuat dan ilmiah tentang sejarah penghuni Jakarta
dan sekitarnya dari masa sebelum Tarumanagara di abad 5.
Dikemukakan bahwa paling tidak sejak
zaman neolitikhum atau batu baru (3500 – 3000 tahun yang lalu) daerah Jakarta
dan sekitarnya dimana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung,
Cisadane, Kali Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh
masyarakat manusia. Beberapa tempat yang diyakini itu berpenghuni manusia itu
antara lain Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa
Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati,
Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua,
Cipete, Pasar Jumat, Karang Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan
Serpong. Jadi menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta.
Dari alat-alat yang ditemukan di
situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus
dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah
mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga
mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur.
Suku Betawi
Pada zaman kolonial Belanda tahun 1930, kategori orang Betawi yang
sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data
sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi
mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Namun menurut Uka Tjandarasasmita
penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum masehi.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal
pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan
sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat
tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang
Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik
dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap
orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang
Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa
orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia
yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut
yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia
tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang
kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Setelah kemerdekaan
Sejak akhir abad yang lalu dan
khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga
orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang
lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka
semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar
Jakarta. Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini
terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah salah satu caranya
’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.
Seni dan kebudayaan
Seni dan Budaya asli Penduduk
Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis, semisal giwang-giwang
yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi yang berasal dari
abad ke 11 masehi. Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran
budaya antara suku asli dengan dari beragam etnis pendatang atau yang biasa
dikenal dengan istilah Mestizo. Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara
atau kemudian dikenal dengan "Kalapa" (Sekarang Jakarta) merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan
luar Nusantara, Percampuran budaya juga datang pada masa Kepemimpinan Raja
Pajajaran, Prabu Surawisesa dimana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian
dengan Portugal dan dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli dan
Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.
Suku-suku yang mendiami Jakarta
sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak
menyerap dari budaya luar, sepertibudaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi sebagai penduduk asli
Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta
dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsiBanten. Budaya Betawi pun tersingkirkan
oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan
budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.
Bahasa
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum,
yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal
dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga yang berpendapat bahwa suku
bangsa yang mendiami daerah sekitar "Kalapa" (sekarang Jakarta) juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto
Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura,
pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh
karena itu, tidak heran kalau penduduk asli Betawi yang pada awalnya berbahasa
Kawi dan mendiami daerah sekitar pelabuhan Sunda Kalapa (jauh sebelum Sumpah
Pemuda) sudah menggunakan bahasa Melayu, bahkan ada juga yang mengatakan suku
lainnya semisal suku Sunda yang mendiami wilayah inipun juga ikut menggunakan
Bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatera dan Kalimantan Barat, penggunaan
bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang dari wilayah Melayu lainnya
semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra ketika dimintai
tolong oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah barat Sungai
Cimanuk sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya - Kediri yang dimediasi oleh
China yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang
digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda diwilayah lainnya tersebut maka
pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang
tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi. Walau demikian, masih banyak nama
daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung,
Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan
tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang
digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian,
Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang
digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah
Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas
dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi
tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah
"a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai
dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni
daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu,
Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester
(Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet,
Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa
Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan
Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan
Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra
dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa''(mengapa).
Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir
bernada "a" keras mati seperti "ain" mati dalam cara baca
mengaji Al Quran.
Musik
Dalam bidang kesenian, misalnya,
orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi
musik Arab,Keroncong
Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidordan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti
"Kicir-kicir".
Tari
Seni tari di Jakarta merupakan
perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya
tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek dan lain-lain. Pada awalnya,
seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong
dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis.
Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang
dinamis.
Drama
Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini
biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi
lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat
berinteraksi langsung dengan penonton.
Cerita rakyat
Cerita rakyat yang berkembang di
Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi
baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras".
Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. cerita
lainnya ialah Mirah
dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan
Boing dan
yang lainnya.
Senjata tradisional
Senjata khas Jakarta adalah bendo atau
golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.
Kepercayaan
Sebagian besar Orang Betawi menganut
agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku
Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan
campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa,
raja Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis
membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa.
Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
Profesi
Di Jakarta, orang Betawi sekarang sebagai hasil asimilasi antar suku bangsa,
sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut
lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan
dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja
jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan
pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga
banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh
warga Kemanggisan.
Kampung yang sekarang lebih dikenal
dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di
mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di
jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di
kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda
dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar,
ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet aslinya adalah
orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu program Ganefo yang
dicetuskan oleh Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan
sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga
Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena salah satu asal-muasal
berkembangnya suku Betawi adalah dari asimilasi (orang Nusantara, Tionghoa,
India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum
disesuaikan pada cara pandang etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.
Perilaku dan sifat
Asumsi kebanyakan orang tentang
masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi,
pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil.
Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo Gubernur DKI Jakarta (2007 - 2012) .
Ada beberapa hal yang positif dari
Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang
dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga
sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama
yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai
pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi
dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang Betawi sangat menghormati
budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih
memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti
lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan
sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi
di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari
masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi
tersebut
0 Response to "SUKU BETAWI"
Posting Komentar