makalah sejarah berdirinya dinasti bani umayyah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada umayyah bin Abd Syams bin Abd Manaf. Ia adalah seorang tokoh penting di tengah Quraisy pada masa jahiliyah. Yang memiliki cukup unsur untuk berkuasa di zaman jahiliyah yakni keluarga bangsawan cukup kekayaan dan mempunyai sepuluh orang putra. Orang yang memiliki unsur tersebut di zaman jahiliyah berarti telah mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan. Ia dan pamannya Hasyim bin Abd Manaf selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan. Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyyah Bin Abu Sufyan Bin Harb. Muawiyyah disamping sebagai pendiri daulah Bani Abbasiyah juga sekaligus menjadi khalifah pertama.
Awal kedaulatan bagi kedaulatan bani umayah adalah sepeninggal khalifah Ali bin Abi Thalib, yang mana gubernur Syam tampil sebagai pemimpin Islam yang kuat. Muawiyyah Bin Abu Sufyan Bin Harb yang dulunya gubernur Syam, menggantikan posisi Ali Bin Abi Thalib sebagai sebagai pemimpin Islam dengan cara yang bisa dbilang curang.
Muawiyyah dipandang sebagai pembangun Dinasti yang oleh sebagian besar sejarawan awalnya dipandang negatif. Keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang saudara di Siffin dicapai melalui cara yang curang. Lebih dari itu, Muawiyyah juga dituduh sebagai penghianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam, karena dialah yang mula-mula mengubah pimpinan Negara dari seorang yang dipilih oleh rakyat menjadi kekuasaan raja yang diwariskan turun-temurun (monarchi heridites).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah?
2. Siapa Saja Para khalifah Dinasti Umayah?
3. Apa Saja Kemajuan pada Masa Dinasti Umayyah
4. Apa Saja Penyebab Kehancuran Dinasi Umayyah
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Bagimana Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah
2. Untuk Mengetahui Para khalifah Dinasti Umayyah
3. Untuk Mengetahui Kemajuan pada Masa Dinasti Umayyah
4. Untuk Mengetahui Penyebab Kehancuran Dinasi Umayyah
BAB II
PEMBAHASAN
PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYYAH
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah
Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada umayyah bin Abd Syams bin Abd Manaf. Ia adalah seorang tokoh penting di tengah Quraisy pada masa jahiliyah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abd Manaf selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan.
Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyyah Bin Abu Sufyan Bin Harb. Muawiyyah disamping sebagai pendiri daulah Bani Abbasiyah juga sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota kekuasaan Islam dari Kuffah ke Damaskus.
Muawiyyah dipandang sebagai pembangun Dinasti yang oleh sebagian besar sejarawan awalnya dipandang negatif. Keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang saudara di Siffin dicapai melalui cara yang curang. Lebih dari itu, Muawiyyah juga dituduh sebagai penghianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam, karena dialah yang mula-mula mengubah pimpinan Negara dari seorang yang dipilih oleh rakyat menjadi kekuasaan raja yang diwariskan turun-temurun (monarchi heridites).
Diatas segala-galanya dilihat dari sikap dan prestasi politiknya yang menakjubkan, sesungguhnya Muawiyyah adalah seorang pribadi yang sempurna dan pimpinan besar yang berbakat. Didalam dirinya terkumpul sifat-sifat seorang penguasa, politikus, dan administrator.
Muawiyyah tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman politik telah memperkaya dirinya dengan kebijakan-kebijakan dalam memerintah, mulai dari salah seorang pemimpin pasukan di bawah komando panglima Abu Ubaidah Bin Jarrah yang berhasil merebut wilayah-wilayah Palestina, Suriah, dan Mesir dari tangan imperium Romawi yang telah menguasai tiga daerah itu sejak tahun 63 SM, kemudian Muawiyyah menjabat kepala wilayah di Syam yang membawahi Suryah dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus selama kira-kira 20 tahun semenjak di angkat oleh khalifah Umar. Khalifah Utsman telah menobatkannya sebagai “Amir al- Bahr” (prience of the sea) yang memimpin aramada besar dalam menyerbu ke kota Konstantinopel walaupun belum berhasil.
Muawiyyah berhasil mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya dikarenakan kemenangan diplomasi di siffin dan terbunuhnya khalifah Ali. Melainkan sejak semula gubernur Suriah itu memiliki “basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya dimasa depan.
Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat suriah dan dari Bani Umayyah sendiri. Penduduk suriah yang lama diperintah oleh muawiyyah mempunyai pasukan yang kokoh, terlatih, dan disiplin di garis depan dalam peperangan melawan romawi. Mereka bersama-sama dengan kelompok bangsawan kaya Mekkah dari keturunan umayah berada sepenuhnya dibelakang Muawiyah dan memasokkannya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak ada habisnya, baik moral, tenaga manusia, maupun kekayaan. Negara suriah sendiri terkenal makmur dan menyimpan sumber alam yang melimpah. Ditambah lagi bumi Mesir yang berhasil dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran dan suplay bertambah bagi Muawiyyah.
Kedua, sebagai seorang administrator, Muawiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat perhatian khusus, yaitu ‘Amr bin Ash, Mugirah bin Syu’bah, dan ziyad bin Abihi. Ketiga pembantu Muawiyah merupakan empat politikus yang sangat mengagumkan di kalangan muslim Arab, akses mereka sangat kuat dalam membina perpolitikan Muawiyah.
Amr bin Ash sebelum masuk Islam dikagumi oleh bangsa Arab, karena kecakapannya sebagai mediator antara Quraisy dan suku-suku Arab lainnya jika terdapat perselisihan. Setelah menjadi muslim hanya beberapa bulan menjelang penaklukan mekkah, nabi segera memanfaatkan kepandaiannya itu sebagai pemimpin militer dan diplomat. Tokoh besar ini terutama dikenang sebagai penakluk Mesir di zaman Umar dan menjabat gubernur pertama diwilayah itu. Setelah wafatnya Khalifah Utsman ‘Amr mendukung Muawiyah dan ditunjuk olehnya sebagai penengah dalam peristiwa tahkim. Sayang hanya dua tahun ia mendampingi Muawiyah. Orang kedua adalah Mugirah bin Syu’bah seorang politikus independen. Karena keterampilan politiknya yang besar, Muawiyah mengangkatnya menjadi gubernur di kuffah yang meliputi wilayah Persia bagian utara, suatu jabatan yang pernah dipegangnya kira-kira satu atau dua tahun semasa pemerintahan Umar. Keberhasilan Mugirah yang utama adalah kesuksesan menciptakan situasi yang aman dan mampu meredam gejolak penduduk Kufah yang sebagian besar pendukung Ali, sedangkan orang ketiga bernama Ziyad bin Abihi, seorang pemimpin kharismatik yang netral, ditetapkan oleh Muawiyah memangku jabatan gubernur di Basrah dengan tugas khusus di Persia selatan. Sikap politiknya yang tegas, adil, dan bijakasana menjamin kekuasaan Muawiyah kokoh diwilayah provinsi paling timur itu yang dikenal sangat gaduh dan sukar diatur.
Ketiga, Muawiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat “hilm”, sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu. Seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
Gambaran dari sifat mulia tersebut dalam diri Muawiyah setidak-tidaknya tampak dalam keputusannya yang berani memaklumkan jabatan khalifah secara turun-temurun. Situasi ketika Muawiyah naik ke kursi kekhalifahan mengandung banyak kesulitan. Anarkisme tidak dapat lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan moral, sehingga hilanglah persatuan umat.
B. Para khalifah Dinasti Umayyah
Masa kekuasaan Dinasti Umayah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. Khalifah yang pertama adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, sedangkan khalifah yang terakhir adalah Marwan bin Muhmmad. Di antara mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa diberbagai bidang sesuai dengan kehendak zamannya, sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patut dan lemah.
Ø Adapun urutan khalifah Umayah adalah seabagai berikut:
1. Muawiyyah I bin Abi Sufyan 41-60H/661-679M
2. Yazid I bin Muawiyah 60-64H/679-683M
3. Muawiyah II bin Yazid 64H/683M
4. Marwan I bin Hakam 64-65H/683-684M
5. Abdul Malik bin Marwan 65-86H/684-705M
6. Al-Walid I bin Abdul Malik 86-96H/705-714M
7. Sulaiman bin Abdul Malik 96-99H/714-717M
8. Umar bin Abdul Aziz 99-101H/717-719M
9. Yazid II bin Abdul Malik 101-105H/719-723M
10. Hisyam bin Abdul Malik 105-125H/723-742M
11. Al-Walid II bin Yazid II 125-126H/742-743M
12. Yazid bin Walid bin Malik 126H743M
13. Ibrahim bin Al-Walid II 126-127H/743-744M
14. Marwan II bin Muhammad 127-132H/744-750M
Para sejarawan umumnya sependapat bahwa para khalifah terbesar dari daulah Bani Umayyah adalah Muawiyah, Abdul Malik, dan Umar bin Abdul Aziz.
Muawiyah bin Abi Sufyan adalah bapak pendiri Dinasti Umayyah. Dialah tokoh pembangun yang besar. Namanya disejajarkan dalam deretan Khulafaur rasyidin. Bahkan kesalahannya yang menghianati prinsip pemilihan kepala Negara oleh rakyat, dapat dilupakan orang karena jasa-jasa dan kebijaksanaan politiknya yang mengagumkan. Muawiyah mendapat kursi kekhalifahan setelah Hasan bin Ali bin Abi Thalib bedamai dengannya pada tahun 41 H. umat Islam sebagiannya membaiat Hasan setelah ayahnya itu wafat. Namun Hasan menyadari kelemahannya sehingga ia berdamai dan menyerahkan kepemimpinan umat kepada Muawiyyah sehingga tahun itu dinamakan ‘amul Jama’ah, tahun persatuan. Muawiyah menerima khalifahan di Kuffah dengan syarat-syarat yang diajukan oleh Hasan, yakni:
a. Agar muawiyah tidak menaruh dendam terhadap seorang pun penduduk Irak;
b. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka;
c. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun;
d. Agar Muawiyah membayar kepada saudaranya, Husain 2 juta dirham;
e. Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi Syams.
Muawiyah dibaiat oleh umat Islam di Kufah, sedangkan Hasan dan Husain dikembalikan ke Madinah. Hasan wafat dikota Nabi itu pada tahun 50 H. diantara jasa-jasa Muawiyah adalah mengadakan dinas pos kilat dengan menggunakan kuda-kuda yang selalu siap di tiap pos. ia juga berjasa mendirikan Kantor Cap (percetakan mata uang), dan lain-lain.
Muawiyah pada tahun 60 H di Damaskus karena sakit dan digantikan oleh anaknya, Yazid yang telah ditetapkannya sebagai putra mahkota sebelumnya. Yazid tidak sekuat ayahnya dalam memerintah, banyak tantangan yang di hadapinya, antara lain ialah membereskan pemberontakan kaum syi’ah yang telah membaiat Husain sepeninggal Muawiyah. Terjadi perang di Karbala yang mengakibatkan terbunuhnya Husain, cucu nabi itu. Yazid menghadapi para pemberontak di Mekkah dan Madinah dengan keras. Dinding ka’bah runtuh dikarenakan terkena lemparan manjaniq, alat pelempar batu kearah lawan. Peristiwa tersebut merupakan aib besar pada masanya.
Penduduk Madinah memberontak terhadap Yazid dan memecatnya kemudian untuk mengangkat Abdullah bin Hanzalah dari kaum Anshar. Mereka juga memenjarakan kaum Umayyah di Madinah dan mengusirnya dari kota suci kedua bagi umat Islam itu, sehingga terjadilah bentrok fisik antara pasukan yang dikirim oleh Yazid yang dipimpin oleh Muslim bin Uqbah Al-Murri, dan penduduk Madinah. Peperangan antara kedua pasukan itu terjadi di Al-Harrah yang dimenangkan oleh pasukan Yazid, pada tahun 63 H.
Khalifah Abdul Malik adalah orang kedua yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani Umayyah yang disebut-sebut sebagai pendiri kedua bagi keadaulatan Umayyah. Ia dikenal sebagai seorang khalifah yang dalam ilmu agamanya, terutama di bidang fiqh. Ia telah berhasil mengembalikan sepenuhnya integritas wilayah dan wibawa kekuasaan keluarga Umayyah dari segala pengacau Negara yang merajalela pada masa-masa sebelumnya. Khalifah Abdul Malik memerintah paling lama, yakni 21 tahun ditopang oleh para pembantunya yang termasuk orang kuat dan menjadi kepercayaannya, seperti Al-Hajjaj bin Yusuf yang gagah berani di medan perang, dan Abdul Aziz, saudaranya yang dipercaya memegang jabatan sebagai gubernur Mesir. Khalifah Abdul Malik wafat tahun 86 H dan diganti oleh putranya yang bernama Al-Walid.
Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik memerintah sepuluh tahun lamanya (86-96 H). pada masa pemerintahannya, kekayaan dan kemakmuran melimpah ruah. Kekuasaan Islam melangkah ke Spanyol dibawah pimpinan pasukan Thariq bin Ziyad ketika Afrika utara dipegang oleh gubernur Musa bin Nushair. Karena kekayaan melimpah maka ia sempurnakan pembangunan gedung-gedung, pabrik-pabrik, dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para khalifah yang berlalu lalang di jalur tersebut. Ia membangun masjid Al-Amawi yang terkenal hingga masa kini di Damaskus. Disamping itu, ia menggunakan kekayaan negerinya untuk menyantuni para yatim-piatu, fakir miskin dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta, dan sakit kusta. Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik wafat tahun 96 H, dan di gantikan oleh adiknya, Sulaiman sebagaimana wasiat ayahnya.
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik tidak sebijak kakaknya, ia kurang bijaksana, suka harta sebagaimana yang diperlihatkan ketika ia menginginkan harta rampasan perang dari Spanyol yang dibawa oleh Musa bin Nushair. Ia menginginkan harta itu jatuh ketangannya, bukan ketangan kakanya, Al-Walid yang saat itu masih hidup meskipun dalam keadaan sakit. Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dibenci oleh rakyatnya karena tabiatnya yang kurang bijaksana itu. Para pejabatnya terpecah belah, demikian pula masyarakatnya. Orang-orang yang berjasa di masa para pendahulunya disiksanya, seperti keluarga Hajjaj bin Yusuf dan Muhammad bin Qasim yang menundukkan India. Ia menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya sebelum meninggal pada tahun 99 H.
Adapun khalifah yang ketiga yang besar adalah Umar bin Abdul Aziz. Meskipun masa pemerintahannya yang sangat singkat, namun Umar merupakan ‘lembaran putih’ Bani Umayyah dan sebuah periode yang berdiri sendiri, mempunyai karakter yang tidak terpengaruh oleh berbagai kebijaksanaan daulah Bani Umayyah yang banyak disesali. Ia yang merupakan personifikasi sorang khalifah yang taqwa dan bersih, suatu sikap yang jarang sekali ditemukan pada sebagian besar pemimpin Bani Umayyah.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz berubah tingkah lakunya, ia menjadi seorang zahid, sederhana, bekerja keras, dan berjuang tanpa henti sampai akhir hayatnya yang hanya memerintah kurang lebih dua tahun. Khalifah yang adil itu berusaha memperbaiki segala tatanan yang ada pada masa pemerintahannya, seperti menaikkan gaji para gubernurnya, memeratakan kemakmuran dengan memberi santunan kepada fakir dan miskin, dan memperbarui dinas pos. ia juga menyamakan kedudukan orang-orang non-Arab sebagai warga Negara kelas dua, dengan orang-orang Arab. Ia mengurangi beban pajak dan menghentikan pembayaran jizyah bagi orang Islam baru. Khalifah Umar meninggal pada tahun 101 H dan diganti oleh Yazid II bin Abdul Malik (101-105 H). pada masa pemerintahannya timbul lagi perselisihan antara kaum Mudariyah dan Yamaniyah. Pemerintahannya yang singkat itu mempercepat proses kemunduran Umayyah. Kemudian di gantikan oleh khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Khalifahan Umayah mulai mundur sepeninggal khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Masih ada empat khalifah lagi setelah Hisyam yang memerintah hanya dalam waktu tujuh tahun, yakni Al-Walid II bin Yazid II, Yazid III bin Al-Walid, Ibrahim bin Al-Walid dan Marwan bin Muhammad adalah penguasa Umayyah terakhir yang terbunuh di Mesir oleh pasukan Bani Abbasiyah pada tahun 132 H/750 M.
C. Masa Kemajuan Dinasti Umayyah
Masa pemerintahan Bani Umayah terkenal sebagai suatu era agresif, dimana perhatian tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang terhenti sejak zaman kedua khulafaur rasyidin terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai masuk kedalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, jazirah Arab, Syiria, Palestina, sebagian daerah Anatolia, Irak, Persia, Afganistan, India dan negeri-negeri sekarang dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgiztan, yang termasuk Soviet Rusia.
Menurut Prof. Ahmad Syalabi, penaklukan militer di zaman Umayyah mencakup tiga front penting, yaitu sebagai berikut.
Pertama, front melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan sasaran keutama pengepungan ke ibu kota Konstantinopel, dan penyerangan kepulau-pulau di Laut Tengah.
Kedua, front Afrika Utara. Selain menundukkan daerah hitam Afrika, pasukan muslim juga menyebrangi Selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
Ketiga, front timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi kejalur ini dibagi menjadi dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah di seberang sungai Jihun (Ammu Darya). Sedangkan yang lainnya ke arah selatan menyusuri Sind, wilayah India bagian barat[1].
Di samping keberhasilan tersebut, bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan berbagai bidang, baik politik (tata pemerintahan) maupun sosial kebudayaan. Dalam bidang politik, Bani Umayah menyusun tata pemerintahan yang sama sekali baru, untuk memenuhi tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin kompleks. Selain mengangkat majelis penasehat sebagai pendamping, khalifah Bani Umayyah dibantu oleh beberapa seorang sekretaris untuk membantu pelaksanaan tugas, yang meliputi:
1. Katib Ar-Rasail, sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat-menyurat dengan para pembesar setempat.
2. Katib Al-Kharraj, sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran Negara.
3. Katib Al-Jundi, sekretaris yang bertugas menyelenggarakan berbagai hal yang berkaitan dengan ketentaraan.
4. Katib Asy-Syurtah, sekretaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
5. Katib Al-Qudat, sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.
Dalam bidang sosial budaya, Bani Umayah telah membuka terjadinya kontrak antar bangsa-bangsa muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki tradisi yang luhur seperti Persia, Mesir, Eropa, dan sebagainya.
Ø Kemajuan Bidang Peradaban
Dinasti Umayah meneruskan tradisi kemajuan dalam berbagai bidang yang telah dilakukan masa kekuasaan sebelumnya, yaitu masa kekuasaan khulafaur Rasyidin. Dalam bidang peradaban Dinasti Umayah telah menemukan jalan yang lebih luas kearah pengembangan dan perluasan berbagai bidang ilmu pengetahuan, dengan bahasa Arab sebagai media utamanya.
Menurut Jurji Zaidan (George Zaidan) beberapa kemajuan dalam bidang pengembangan ilu pengetahuan antara lain sebagai berikut.
1. Pengembangan Bahasa Arab
Para penguasa Dinasti Umayyah telah menjadikan Islam sebagai daulah (negara), kemudian di kuatkannya dan dikembangkanlah bahasa Arab dalam wilayah kerajaan Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi dalam tata usaha Negara dan pemerintahan sehingga pembukuan dan surat-menyurat harus menggunakan bahasa Arab, yang sebelumnya menggunakan bahasa Romawi atau bahasa Persia di daerah-daerah bekas jajahan mereka dan di Persia sendiri.
2. Marbad Kota Pusat Kegiatan Ilmu
Dinasti Umayyah juga mendirikan sebuah kota kecil sebagai pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pusat kegiatan ilmu dan kebudayaan itu dinamakan Marbad, kota satelit dari Damaskus. Di kota Marbad inilah berkumpul para pujangga, filsuf, ulama, penyair, dan cendekiawan lainnya, sehingga kota ini diberi gelar ukadz-nya Islam.
3. Ilmu Qiraat
Ilmu qiraat adalah ilmu seni baca Al-qur’an. Ilmu qiraat merupakan ilmu syariat tertua, yang telah di bina sejak zaman khulafaur rasyidin. Kemudian masa Dinasti Umayyah dikembangkan sehingga menjadi cabang ilmu syariat yang sangat penting. Pada masa ini lahir para ahli qiraat ternama seperti Abdullah bin Qusair (w. 120 H) dan Ashim bin Abi Nujud (w. 127 H).
4. Ilmu Tafsir
Untuk memahami al-quran sebagai kitab suci diperlukan interpretasi pemahaman secara komprehensif. Minat untuk menafsirkan al-quran dikalangan umat Islam bertambah. Pada masa perintisan ilmu tafsir, ulama yang membukukan ilmu tafsir yaitu Mujahid (w. 104 H).
5. Ilmu Fiqh
Setelah Islam menjadi daulah, maka para penguasa sangat membutuhkan adanya peraturan-peraturan untuk menjadi pedoman dalam menyelesaikan berbagai masalah.
6. Ilmu Nahwu
Pada masa Dinasti Umayyah karena wilayahnya berkembang secara luas, khususnya kewilayah di luar Arab, maka ilmu nahwu sangat diperlukan.
7. Ilmu Jughrafi dan Tarikh
Ilmu Jughrafi dan tarikh pada masa Diaasti Umayyah telah berkembang menjadi ilmu tersendiri. Demikian pula ilmu tarikh (ilmu sejarah) baik sejarah umum maupun sejarah Islam pada khususnya.
8. Usaha penerjemahan
Untuk kepentingan dakwah Islamiyah, pada masa Dinasti Umayyah di mulai pula penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari bahasa-bahasa lain kedalam bahasa Arab. Dengan demikian, jelaslah bahwa gerakan penerjemahan telah dimulai pada zaman ini, hanya baru berkembang secara pesat pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah[2].
9. Ilmu Hadis
Ketika kaum muslimin telah berusaha memahami al-quran ternyata ada satu hal yang juga sangat mereka butuhkan, yaitu ucapan-ucapan nabi yang di sebut hadis. Oleh karena itu, timbullah usaha untuk mengumpulkan hadis, menyelidiki asal-usulnya sehingga akhirnya menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan ilmu hadis.
Umar Ibn Abd Al-Aziz adalah khalifah yang memelopori penulisan (tadwin) hadis. Beliau memerintahkan kepada Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hajm (120 H) gubernur Madinah, untuk menuliskan hadis yang ada dalam hafalan-hafalan penghafal hadis. Umar Ibn Abn Al-Aziz menulis surat sebagai berikut:
“Periksalah hadis Nabi Muhammad SAW., dan tuliskanlah karena aku khawatir bahwa ilmu (hadis) akan lenyap dengan meninggalnya ulama dan tolaklah hadis selain dari Nabi SAW., hendaklah hadis disebarkan dan diajarkan dalam majelis-majelis sehingga orang-orang yang tidak mengetahui menjadi mengetahuinya; sesungguhnya hadis itu tidak akan rusak sehingga disembunykan (oleh ahlinya).”
Atas perintah khalifah, pengumpulan hadis dilakukan oleh ulama. Diantaranya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Muslim Ibn Ubaidillah Ibn Shihab Az- zuhri (guru Imam Malik). Akan tetapi, buku hadis yang dikumpulkan oleh Imam Az-Zuhri tidak diketahui dan tidak sampai kepada kita. Dalam sejarah tercatat bahwa ulama yang pertama membuktikan hadis adalah Imam Az-Zuhri[3].
D. Masa Kehancuran Dinasi Umayyah
Meskipun kejayaan telah di raih oleh Bani Umayah ternyata tidak bertahan lebih lama, dikarenakan kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari pihak luar.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran, yaitu sebagai berikut:
1. System pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab, yang lebih menentukan aspek senioritas, pengaturannya tidak jelas.
2. Latar belakang terbentuknya Dinasti Bani Umayyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai konflik yang terjadi di masa Ali.
3. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia utara (bani Qais) dan Arab selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam semakin runcing.
4. Lemahnya pemerintahan daulah Bani Umayyah jug disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, sebagian besar golongan awam kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung runtuhnya kekuasaan dinsti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori olek keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-Muthalib[4].
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah di atas dapat disimpulkan:
1. Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah, nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada umayyah bin Abd Syams bin Abd Manaf. Ia adalah seorang tokoh penting di tengah Quraisy pada masa jahiliyah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abd Manaf selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan. Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyyah Bin Abu Sufyan Bin Harb. Muawiyyah disamping sebagai pendiri daulah Bani Abbasiyah juga sekaligus menjadi khalifah pertama.
2. Para khalifah Dinasti Umayyah, masa kekuasaan Dinasti Umayah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. Khalifah yang pertama adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, sedangkan khalifah yang terakhir adalah Marwan bin Muhmmad.
3. Masa Kemajuan Dinasti Umayyah, Dinasti Umayah meneruskan tradisi kemajuan dalam berbagai bidang yang telah dilakukan masa kekuasaan sebelumnya, yaitu masa kekuasaan khulafaur Rasyidin. Dalam bidang peradaban Dinasti Umayah telah menemukan jalan yang lebih luas kearah pengembangan dan perluasan berbagai bidang ilmu pengetahuan, dengan bahasa Arab sebagai media utamanya.
4. Masa Kehancuran Dinasi Umayyah, meskipun kejayaan telah di raih oleh Bani Umayah ternyata tidak bertahan lebih lama, dikarenakan kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari pihak luar.
1. Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah, nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada umayyah bin Abd Syams bin Abd Manaf. Ia adalah seorang tokoh penting di tengah Quraisy pada masa jahiliyah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abd Manaf selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan. Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyyah Bin Abu Sufyan Bin Harb. Muawiyyah disamping sebagai pendiri daulah Bani Abbasiyah juga sekaligus menjadi khalifah pertama.
2. Para khalifah Dinasti Umayyah, masa kekuasaan Dinasti Umayah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. Khalifah yang pertama adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, sedangkan khalifah yang terakhir adalah Marwan bin Muhmmad.
3. Masa Kemajuan Dinasti Umayyah, Dinasti Umayah meneruskan tradisi kemajuan dalam berbagai bidang yang telah dilakukan masa kekuasaan sebelumnya, yaitu masa kekuasaan khulafaur Rasyidin. Dalam bidang peradaban Dinasti Umayah telah menemukan jalan yang lebih luas kearah pengembangan dan perluasan berbagai bidang ilmu pengetahuan, dengan bahasa Arab sebagai media utamanya.
4. Masa Kehancuran Dinasi Umayyah, meskipun kejayaan telah di raih oleh Bani Umayah ternyata tidak bertahan lebih lama, dikarenakan kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari pihak luar.
DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim. 2011. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Samsul Munir Amir. 2009. Sejarah peradaban islam. Jakarta: Amzah.
Dedi Supriyadi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
0 Response to "makalah sejarah berdirinya dinasti bani umayyah"
Posting Komentar