Sosiologi pendidikan

  1. Pendahuluan
Perkembangan sosiologi pendidikan sempat tenggelam dan terpuruk sebelum berakhirnya Perang dunia II.  Namun Lester Frank Word (1841- 1913) salah seorang pelopor sosiologi di Amerika mencetuskan gagasan baru yang ditulis dalam buku yang berjudul Applied Sociology (Sosiologi Terapan), yang mengkaji perubahan –perubahan masyarakat karena usaha manusia. Gagasan tersebut dikembangkan oleh John Dewey (1859 – 1952) dalam karyanya School and Society yang memandang bahwa hubungan lembaga pendidikan dengan masyarakat itu sangat penting. Pemikiran Dewey kemudian dikembangkan lagi dengan bukunya yang berjudul Democracy and Eduation (Demokrasi dan Pendidikan) pada tahu 1916 mendorong berkembangnya sosiologi pendidikan.
REPORT THIS AD

Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kualitas kehidupan seseorang. Melalui pendidikan manusia dituntut berpikir, bersikap, bertindak serta melaksanakan setiap peran yang dimainkan dalam hidupnya. Pendidikan saat ini diarahkan untuk membantu peserta didik menjadi mandiri dan terus belajar sepanjang hidupnya, sehingga melalui proses pembelajaran peserta didik dapat memperoleh hal-hal yang membantu individu menghadapi tantangan dalam menjalani kehidupan ini.
Banyak persolan-persoalan pendidikan yang harus ditangani agar proses pendidikan berjalan sesuai yang diharapkan. Kadang-kadang persoalan  pendidikan tidak hanya dapat diselesaikan dengan menggunakan pendekatan pendidikan, namun perlu juga diselesaikan dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Sehingga peran sosiologi pendidikan menjadi hal yang sangat penting  karena menyangkut  usaha- usaha untuk mencapai tujuan pendidikan secara universal.
Perkembangan sosiologi pendidikan sebagai ilmu pengetahuan dimulai sejak awal abad ke 20 yang merupakan bagian dari sosiologi. Namun sebenarnya sosiologi pendidikan lahir bersamaan dengan munculnya persoalan-persoalan pendidikan yang tidak teratasi. Banyaknya persoalan pendidikan yang tidak teratasi menyebabkan dunia pendidikan mengalami kesulitan dalam perkembangannya.
 Sosiologi Dan Sosiologi Pendidikan
  1. Konsep Sosiologi
Menurut Ibnu Chaldun, sosiologi adalah ilmu yang  mempelajari tentang masyarakat manusia dalam bentuknya yang bermacam-macam, watak dan ciri-ciri dari pada tiap-tiap bentuk itu dan hukum yang menguasai perkembangan. Sementara Prof. Groenman mendefinisikan sosiologi sebagai suatu ilmu yang mempelajari tindakan-tindakan manusia dalam usahanya menyesuaikan diri dalam suatu ikatan. Penyesuaian ini meliputi: menyesuaikan diri terhadap lingkungan geografi, menyesuaikan diri pada sesama manusia, penyesuaian diri dengan lingkungan kebudayaan sekelilingnya.
Menurut Emile Durkheim,  Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial, yakni fakta yang mengandung cara bertindak, berpikir, berperasaan yang berada di luar individu di mana fakta-fakta tersebut memiliki kekuatan untuk mengendalikan individu. Menurut Selo Sumardjan dan Soelaeman SoemardiSosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial. Menurut Soejono Sukamto, Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat. Menurut Pitirim SorokinSosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.
Sosiologi mempelajari masyarakat secara ilmiah dengan objek kajiannya adalah tentang kehidupan kelompok manusia beserta hasil interaksi sosial dari kehidupan kelompok manusia. Secara sederhana objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat. Selain itu seorang tokoh sosiologi modern, juga mencoba merumuskan kriteria bagi adanya masyarakat, yaitu suatu sistem sosial yang swasembada (self-subsistem), melebihi masa hidup individu normal, merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya. Ada juga tokoh sosiologi modern, Edwar Shils yang menekankan kriteria masyarakat pada aspek pemenuhan kebutuhan sendiri yang dibaginya dalam tiga komponen yaitu pengaturan, reproduksi sendiri, dan penciptaan diri. Dari berbagai rumusan masyarakat tersebut dapat kalian artikan bahwa masyarakat secara sosiologis mempunyai makna khusus yang berbeda dengan penggunaan kata sehari-hari karena tidak semua kumpulan manusia di suatu tempat disebut masyarakat. Masyarakat atau Society adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, hidup bersama-sama cukup lama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Lantas mengapa masyarakat disebut sebagai sistem sosial? Sistem merupakan bagian-bagian yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Sedangkan sistem sosial itu terdiri dari tindakan-tindakan sosial yang dilakukan individu-individu sebagai anggota masyarakat yang saling berinteraksi satu sama lain sehingga terwujud keharmonisan dalam masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat disebut sebagai sistem sosial karena tidak hanya terdiri dari kumpulan individu saja tetapi individuindividu yang saling mengadakan interaksi sosial.
  1. Konsep sosiologi Pendidikan
Sosiologi pendidikan terdiri dari dua kata, sosiologi dan pendidikan. Dilihat dari istilah etimologi kedua kata ini berbeda makna, namun dalam sejarah hidup dan kehidupan serta budaya manusia, keduanya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, terutama dalam sistem memberdayakan manusia dimana sampai saat ini memanfaatkan pendidikan sebagai instrumen pemberdayaan tersebut. Gunawan (2006:2) mengemukakan definisinya tentang sosiologi pendidikan, yaitu ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis. Sosiologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek pendidikan, baik itu struktur, dinamika, masalah-masalah pendidikan ataupun aspek-aspek lainnya secara mendalam melalui analisis atau pendekatan sosiologis.
Sosiologi pendidikan dapat dilihat dari 2 segi, yaitu : (1)Sosiologi Pendidikan adalah suatu kajian yang mempelajari hubungan antara masyarakat, dimana terjadi interaksi sosial dengan pendidikan di dalamnya. Dapat kita lihat dalam hubungan ini bagaimana masyarakat memengaruhi pendidikan, begitu juga sebaliknya bagaimana pendidikan memengaruhi masyarakat. (2)Sosiologi Pendidikan adalah suatu pendekatan sosiologis yang diterapkan pada fenomena pendidikan. Pendekatan sosiologis meliputi konsep, variabel, metode dan teori yang digunakan dalam sosiologi untuk memahami kenyataan sosial, serta di dalamnya terdapat kompleksitas aktivitas yang berkaitan dengan pendidikan.
  1. Ruang Lingkup Sosiologi
Sebagai ilmu pengetahuan, sosiologi mengkaji lebih mendalam pada bidangnya dengan cara bervariasi. Misalnya seorang sosiolog mengkaji dan mengamati kenakalan remaja di Indonesia saat ini, mereka akan mengkaji mengapa remaja tersebut nakal, mulai kapan remaja tersebut berperilaku nakal, sampai memberikan alternatif pemecahan masalah tersebut. Hampir semua gejala sosial yang terjadi di desa maupun di kota baik individu ataupun kelompok, merupakan ruang kajian yang cocok bagi sosiologi, asalkan menggunakan prosedur ilmiah. Ruang lingkup kajian sosiologi lebih luas dari ilmu sosial lainnya. Hal ini dikarenakan ruang lingkup sosiologi mencakup semua interaksi sosial yang berlangsung antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, serta kelompok dengan kelompok di lingkungan masyarakat. Ruang lingkup kajian sosiologi tersebut jika dirincikan menjadi beberapa hal, misalnya antara lain:
  1. Ekonomi beserta kegiatan usahanya secara prinsipil yang berhubungan dengan produksi, distribusi,dan penggunaan sumber-sumber kekayaan alam;
  2. Masalah manajemen yaitu pihak-pihak yang membuat kajian, berkaitan dengan apa yang dialami warganya;
  3. Persoalan sejarah yaitu berhubungan dengan catatan kronologis, misalnya usaha kegiatan manusia beserta prestasinya yang tercatat, dan sebagainya.
Sosiologi menggabungkan data dari berbagai ilmu pengetahuan sebagai dasar penelitiannya. Dengan demikian sosiologi dapat dihubungkan dengan kejadian sejarah, sepanjang kejadian itu memberikan keterangan beserta uraian proses berlangsungnya hidup kelompok-kelompok, atau beberapa peristiwa dalam perjalanan sejarah dari kelompok manusia. Sebagai contoh, riwayat suatu negara dapat dipelajari dengan mengungkapkan latar belakang terbentuknya suatu negara, faktor-faktor, prinsip-prinsip suatu negara sampai perjalanan negara pada masa yang akan datang. Sosiologi mempertumbuhkan semua lingkungan dan kebiasaan manusia, sepanjang kenyataan yang ada dalam kehidupan manusia dan dapat memengaruhi pengalaman yang dirasakan manusia, serta proses dalam kelompoknya. Selama kelompok itu ada, maka selama itu pula akan terlihat bentuk-bentuk, cara-cara, standar, mekanisme, masalah, dan perkembangan sifat kelompok tersebut. Semua faktor tersebut dapat memengaruhi hubungan antara manusia dan berpengaruh terhadap analisis sosiologi.
  1. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Ruang lingkup sosiologi pendidikan tersebut pada dasarnya untuk mempererat dan meningkatkan tujuan pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, sosiologi pendidikan tidak akan keluar dari upaya-upaya agar pencapaian tujuan dan fungsi pendidikan tercapai menurut pendidikan itu sendiri.
Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang :
  1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain, yang mempelajari :
    • Fungsi pendidikan dalam kebudayaan
    • Hubungan sistem pendidikan dan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan.
    • Fungsi sistem pendidikan dalam memelihara dan mendorong proses sosial dan perubahan kebudayaan.
    • Hubungan pendidikan dengan kelas sosial atau sistem status.
    • Fungsionalisasi sistem pendidikan formal dalam hubungannya dengan ras, kebudayaan, atau kelompok – kelompok dalam masyarakat.
  2. Hubungan kemanusiaan di sekolah yang meliputi :
    • Sifat kebudayaann sekolah khususnya yang berbeda dengan kebudayaan di luar sekolah.
    • Pola interaksi sosial atau struktur masyarakat sekolah.
  3. Pengaruh sekolah pada perilaku anggotanya, yang mempelajari :
    • Peranan sosial guru.
    • Sifat kepribadian guru.
    • Pengaruh kepribadian guru terhadap tingkah laku siswa.
    • Fungsi sekolah dalam sosialisasi anak – anak.
  4. Sekolah dalam komunitas, yang mempelajari pola interaksi antara sekolah dengan kelompok sosial lain di dalam komunitasnya, yang meliputi :
    • Pelukisan tentang komunitas seperti tampak dalam pengaruhnya terhadap organisasi sekolah.
    • Analisis tentang proses pendidikan seperti tampak terjadi pada sistem sosial komunitas kaum tidak terpelajar.
    • Hubungan antara sekolah dan komunitas dalam fungsi kependidikannya.
    • Faktor – faktor demografi dan ekologi dalam hubungannya dengan organisasi sekolah.
Keempat bidang yang dipelajari tersebut sangat esensial sebagai sarana untuk memahami sistem pendidikan dalam kaitannya dengan keseluruhan hidup masyarakat (Wayan Ardhana, 1986 : Modul 1/67)
  1. Perbedaan Sosiologi, Ilmu Sosial Dan Ilmu Pengetahuan Sosial
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.
Ilmu sosial dasar adalah ilmu yang didasari berdasarkan suatu nilai dalam berkependudukan yang bertempat di suatu Negara. Bisa dengan cara menilai, menyimpulkan, dan juga menganalasis suatu permasalahan yang ada di sekitarnya, menggunakan suatu nilai yang  terpenting dalam ilmu sosial dasar. Nilai penting dalam ilmu sosial dasar yaitu fakta, konsep, dan teori, semua nilai tersebut diambil dari sejarah, ekonomi, geografi sosial,sosiologi, antropologi, psykologi sosial.
Pengertian ilmu pengetahuan sosial lebih diartikan dengan “penelaahan atau kajian tentang masyarakat”. Ilmu Pengetahuan Sosial itu sendiri mempunyai arti ilmu yang mempelajari tentang hubungan sosial di dalam bermasyarakat. Ilmu Pengetahuan Sosial juga mengajarkan kita dalam berinteraksi yang baik dengan masyarakat sekitar. Misalnya, kita harus menghormati orang yang lebih tua, berbicara dengan bahasa yang baik dan benar, dan bersikap sopan santun.
Perbedaan sosiologi, ilmu sosial dan ilmu pengetahuan sosial adalah :
  1. Ilmu sosial diberikan di Perguruan Tinggi, sosiologi diberikan di sekolah menengah dan perguruan tinggi sedangkan Ilmu Pengetahuan Sosial diberikan hanya di Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan.
  2. Ilmu Sosial dan sosiologi merupakan satu matakuliah/mata pelajaran yang tunggal, sedangkan  Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan kelompok dari sejumlah mata pelajaran (untuk sekolah lanjutan).
  3. Ilmu Sosial lebih tertuju kepada pembentukan sikap dan kepribadian, sosiologi lebih kepada hubungan timbal balik dan ciri-ciri sosial, sedang Ilmu Pengetahuan Sosial diarahkan kepada pembentukan pengetahuan dan ketrampilan intelektual.
  1. Ilmu Sosial Berparadigma Ganda
  2. Paradigma Fakta Sosial
Paradigma fakta sosial secara umum merupakan terminologi yang diadopsi dari karya Durkheim mengenai fakta sosial. Menurut Durkheim, fakta sosial terdiri dari dua macam yakni dalam bentuk material dan dalam bentuk non material. Menurut Blau, ada dua tipe dasar dari fakta sosial, yakni nilai-nilai umum dan norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam sub kultur.Dalam paradigma fakta sosial teori-teori yang tercakup di dalamnya antara lain teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori makro. Penganut paradigma fakta sosial cenderung menggunakan metode kuesioner dan interview dalam penelitian empirisnya.
  1. Paradigma Definisi Sosial
Paradigma yang kedua adalah definisi sosial, yang nampaknya lebih diwarnai oleh pemikiran Weber tentang tindakan sosial, yakni tindakan sosial murni, tindakan berorientasi tujuan, tindakan yang dibuat-buat, dan tindakan atas dasar kebiasaan. Adapun paradigma ini mengakumulasi teori aksi, interaksionisme simbolik, dan fenomenologi sebagai bagian daripadanya. Penganut paradigma ini lebih merasa nyaman menggunakan metode observasi dalam penelitian mereka.
  1. Paradigma Perilaku Sosial
Paradigma yang terakhir adalah perilaku sosial, yang lebih didominasi oleh arus pemikiran B. F. Skinner yang mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviorisme ke dalam ilmu sosiologi. Perilaku sosial memusatkan perhatiannya pada bermacam obyek sosial juga obyek non sosial. Adapun teori yang tergabung dalam paradigma ini antara lain behavioral sociology dan teori exchange.
Perbedaan Antar Paradigma (Suatu Penilaian)
Sebenarnya yang menjadi titik perbedaan pada tiga paradigma di atas bukanlah mengenai keragaman pandangan para sosiolog, tetapi terletak pada pokok persoalan yang dikaji. Ritzer sendiri membuat sebuah skema yang menerangkan posisi variabilitas pada masing-masing paradigma, pada paradigma perilaku sosial variabelnya bersifat individual, pada paradigma defisini sosial variabelnya bersifat individual – grup, dan pada paradigma fakta sosial variabelnya bersifat grup.
Menuju Paradigma Sosiologi yang Terpadu
Ritzer menyadari bahwa pembedahan teori dan kecenderungan arah berpikir sosiolog yang ia temukan dalam tiga paradigma, masing-masing membuat posisi paradigma menguat seiring dengan bertambahnya jumlah pengusung, serta pengokohan bangunan paradigma yang diusung. Setiap paradigma berada pada dimensi yang ekslusif subyektif sehingga meredupsi peran yang dapat pula diberikan oleh paradigma lainnya dalam memandang realitas sosial. Ritzer mengemukakan bahwa dalam upaya menutu paradigma sosiologi yang terpadu, entah kapan itu akan terwujud, sebaiknya mampu mengakomodir aras generas yang dilalui oleh ketiga paradigma tersebut, yang diharapkan mampu menjelaskan kesatuan makro obyektif seperti birokrasi, struktur makro subyektf seperti kultur, fenomena mikro obyekfi seperti pola-pola interaksi sosial, dan juga fakta-fakta mikro subyekfi seperti proses pembentukan realitas. Sebenarnya tidak hanya Ritzer seorang yang mengemukakan paradigma dalam ilmu sosiologi, ilmuwan sosial lainnya juga memiliki pembagian teorisasi sosiologi yang didasarkan pada cara pandangnya masing-masing.
  1. Teori Sosiologi Mikro
  2. Teori Fenomenologi
Fenomenologi secara etimologi berasal dari kata “phenomenon” yang berarti realitas yang tampak, dan “logos” yang berarti ilmu. Sehingga secara terminology, fenomenologi adalah ilmu berorientasi untuk dapat mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak. Fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak berdiri sendiri karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran lebih lanjut. Fenomenologi menerobos fenomena untuk dapat mengetahui makna (hakikat) terdalam dari fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh-tokoh fenomenologi:Edmund Husserl, Alfred Schutz, Peter L. Berger. Ahli teori sosiologi-fenomenologi yang paling menonjol adalah Alfred Schutz, seorang murid Husserl yang berimigrasi ke Amerika Serikat setelah munculnya fascism di Eropa, melanjutkan karirnya sebagai bankir dan guru penggal-waktu (part-time). Dia muncul di bawah pengaruh filsafat pragmatis dan interaksionisme-simbol; barngkali cara terbaik untuk mendekati karyanya adalah melihatnya sebagai bentuk interaksionisme yang lebih sistematik dan tajam. Akan tetapi, dalam karya klasiknya yang berjudul The Phenomenology of the Social World, bagaimanapun, dia tertarik dengan penggabungan pandangan fenomenologi dengan sosiologi melalui suatu kritik sosiologi terhadap karya Weber. Dia mengatakan bahwa reduksi fenomenologis, pengesampingan pengetahuan kita tentang dunia, meninggalkan kita dengan apa yang ia sebut sebagai suatu “arus-pengalaman” (stream of experience). Sebutan fenomenologis berarti studi tentang cara dimana fenomena hal-hal yang kita sadari muncul kepada kita, dan cara yang paling mendasar dari pemunculannya adalah sebagai suatu aliran pengalaman-pengalaman inderawi yang berkesinambungan yang kita terima melalui panca indera kita. Fenomenologi tertarik dengan pengidentifikasian masalah ini dari dunia pengalaman inderawi yang bermakna, suatu hal yang semula yang terjadi di dalam kesadaran individual kita secara terpisah dan kemudian secara kolektif, di dalam interaksi antara kesadaran-kesadaran. Bagian ini adalah suatu bagian dimana kesadaran bertindak (acts) atas data inderawi yang masih mentah, untuk menciptakan makna, didalam cara yang sama sehingga kita bisa melihat sesuatu yang bersifat mendua dari jarak itu, tanpa masuk lebih dekat,mengidentifikasikannya melalui suatu proses dengan menghubungkannya dengan latar belakangnya. Hal ini mengantarkan kita kepada salah satu perbedaan yang jelas antara fenomenologi dan bentuk lain dari teori tindakan: “tindakan” sejauh ini mengacu pada tindakan manusi dalam berhubungan satu denan yang lain dan lingkungannya. Bagi fenomenologi juga sama halnya, bahkan tindakan terutama ditujukan kepada proses internal dari kesadaran (manusia), baik individualataupun kolektif. Sekali tindakan itu ditransformasikan ke dalam fikiran kita, ia menjadi sulit untuk keluar lagi dan ini mempunyai konsekuensinya pada usaha untuk memperluas sosiologi-fenomenologis menjadi sebuah teori tentang masyarakat seperti juga tentang pribadi. Menurut Schutz, cara kita mengkonstruksikan makna diluar dari arus utama pengalaman ialah melalui proses tipikasi. Dalam hal ini termsuk membentuk penggolongan atau klasifikasi dari pengalaman dengan melihat keserupaannya. Jadi dalam arus pengalaman saya, saya melihat bahwa objek-objek tertentu pada umumnya memiliki ciri-ciri khusus, bahwa mereka bergerak dari tempat ke tempat, sementara lingkungan sendiri mungkin tetap diam. Jadi, kita menentukan apa yang Schutz sebutkan sebagai “hubungan-hubungan makna” (meanings contexs), serangkaian kriteria yang dengannya kita mengorgnisir pengalaman inderawi kita ke dalam suatu dunia yang bermakna. Hubungan-hubungan makna iorganisir secara bersama-sama, juga melalui proses tipikasi, ke dalam apa yang Schutz namakan “kumpulan pengetahuan” (stock of knowledge). Kalau kita tetap pada tingkat kumpulan pengetahuan umum (commomsense knowledge), kita diarahkan kepada studi-studi yang berlingkup kecil, mengenai situasi-situasi tertentu, yang merupakan jenis karya empiris. Dimana interaksionisme simboliklah yang lebih unggul. Secara umum karya Schutz telah digunakan untuk memberikan konsep-konsep kepekaan yang lebih lanjut, sering secara implicit. Saya kira tiada satupun studi empiris yang menggunakannya secara sistematik kecuali melalui pengembangan etnometodologi. Namun demikian, Peter Berger telah mencoba secara sistematis untuk mengembangkan fenomenologi menjadi suatu teori mengenai masyarakat.
Sosiologi-fenomenologi memiliki kemampuan tertentu untuk bersifat sangat menarik dan sekaligus membosankan. Khususmya di dalam fungsionalisme structural, ia merupakan suatu perubahan yang menyegarkan, yang bergerak dari kategori-kategori teoritis yang sangat abstrak, yang sedikit sekali keitannya dengan dunia sosial yang kita alami, dan langsung masuk ke dalam kehidupan sehari-hari.
  1. Teori Etnografi
Etnografi berasal dari 2 kata yaitu ethnos artinya bangsa, dan graphy atau grafien artinya gambaran atau uraian. Jadi, etnografi adalah uraian atau gambaran tentang bangsa-bangsa di suatu tempat dan di suatu waktu. Gambaran bangsa-bangsa tersebut meliputi adat istiadat, susunan masyarakat, bahasa, peralatan yang digunakan, aktivitas ekonominya dan gambaran fisik bangsa tersebut, misalnya warna kulit, tinggi badan, rambut, bentuk muka dan sebagainya. Uraian tentang adat istiadat suatu suku bangsa sebenarnya telah ada beberapa abad sebelum masehi, seperti yang ditulis oleh Herodotus di abad V SM yaitu orang yunani yang menulis tentang orang bangsa Mesir, I Tsing di abad VII M yang menulis tentang perjalanannya ke berbagai daerah baik yang ada di cina, maupun di luar cina. Penulis etnografi dari Arab tercatat Ibnu Khaldun, ia menulis tentang berbagai suku bangsa di luar bangsa Arab. Selain itu, Ibnu Batutah banyak mengadakan perjalanan ke Asia tengah. Di masa romawi tercatat Tacitus dan Caisar, yang menulis tentang bangsa Germania dan Gana. Seorang pencatat adat kebiasaan bangsa asing lainnya adalah Marcopolo yang banyak menulis tentang kisah perjalanannya mengembara ke negara-negara di Asia. Tulisan-tulisan yang dianggap penting karena mempengaruhi lahirnya ilmu antropologi adalah tulisan-tulisan yang dibuat oleh orang Eropa pada akhir abad XV dan awal XVI. Pada waktu itu, mereka mulai berekspansi dengan mengadakan perjalanan ke Afrika, Asia, Oseania, dan Amerika. Perjalanan itu dilakukan oleh para musafir, pelaut, pendeta penyiar agama Nasrani Lapran-laporan para pegawai pemerintah bangsa Eropa yang ditugaskan di daerah jajahan, dan para peneliti ilmu bumi (geografi) serta ilmu alam yang mengadakan pembuktian teori-teorinya.
Deskripsi tentang suku bangsa tersebut banyak menarik perhatian kalangan pelajar sehingga muncul anggapan-anggapan sebagai berikut:
  1. Sebagian orang Eropa memandang bangsa-bangsa di luar Eropa itu dianggap sebagai manusia liar sehingga muncul istilah orang primitif dengan kebudayaan liar (savages).
  2. Sebagian orang Eropa memandang adanya orang-orang yang masih memiliki sifat-sifat baik yang masih murni, belum mendapatkan pengaruh-pengaruh jahat atau buruk yang ada di bangsa Eropa waktu itu.
  3. Sebagian lagi ada yang menganggap adat istiadat mereka aneh dan unik, sehingga muncul dorongan untuk mengumpulkan berbagai benda yang ada hubungannya dengan suku-suku bangsa tersebut, seperti alat-alat rumah tangga, senjata, hasil kesenian dan kerajinan. Benda-benda tersebut pada awalnya dikoleksi oleh kerajaan dan orang-orang kaya. Koleksi benda-benda tersebut disebut etnografika. Dari keberadaan benda-benda itu, muncul gagasan untuk diorganisir dalam suatu tempat yang dikenal dengan misium. Pada akhir abad XVIII, didirikan musium etnografi pertama tentang kebudayaan bangsa-bangsa di luar bangsa Eropa.
Sejak saat itu perhatian terhadap kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa terus meningkat. Pertanyaan-pertanyaan tentang mengapa ada perbedaan bentuk fisik manusia di muka bumi ini dan apa yang menyebabkan munculnya perbedaan kebudayaan manusia. Keingintahuan itu mendorong para ahli untuk mengadakan penelitian-penelitian secara ilmiah sehingga muncul istilah etnologi. Dalam penelitian etnografi, hasil-hasil pengamatan dan wawancara biasanya ditulis pada field notes dan diolah menjadi karangan etnografi, yang urutannya: bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian, sistem religi.
  1. Teori Studi Kasus
Studi kasus (case study) merupakan salah satu metode dalam penelitian sosial. Metode case study meliputi beberapa teknik riset yang digunakan untuk menginvestigasi fenomena sosial yang spesifik. Kristina Wolff, kontributor ”The Blackwell Encyclopedia of Sociology” dalam artikelnya berjudul “Method, Case Study” menjelaskan bahwa studi kasus digunakan oleh peneliti yang umunya fokus pada level mikro, mengonsentrasikan dirinya pada kajian tentang kelompok, orang-orang, komunitas, organisasi, insitusi, atau peristiwa. Tujuan penerapan metode case study dalam sosiologi adalah untuk mengungkap isu atau peristiwa sosial kontemporer dalam setting sosial tertentu. Studi kasus, selain sebagai metode juga dapat dipahami sebagai unit analisis dan juga teknik pengumpulan, pengorganisasian, dan presentasi data. Case study diterapkan untuk memahami varian dari fenomena sosial yang spesifik. Sebagai contoh fenomena spesifik misalnya, progres dari suatu peristiwa atau perubahan sosial yang terjadi akibat implementasi kebijakan, program, atau peristiwa dalam masyarakat, bisa diteliti dengan case study. Studi kasus seringkali diterapkan sebagai pendukung riset atau studi yang lingkupnya lebih besar. Contoh kongritnya misal, fenomena lumpur Lapindo yang dimulai beberapa tahun lalu. Case study dapat diterapkan untuk mengkaji bagaimana masyarakat meninggalkan kampungnya yang tenggelam dan beradaptasi dengan kehidupan baru di lingkungan barunya. Studi tersebut merupakan bagian dari studi tentang ”Bencana Lumpur Lapindo” yang lebih luas. Salah satu tujuan utama penerapan metode case study adalah memberikan penjelasan secara detail dan lengkap (thick description) terhadap suatu fenomena sosial. Penjelasan yang diberikan bisa dalam bentuk deskriptif dan atau eksploratif. Pada banyak kasus, riset case study berupaya menjawab pertanyaan ”bagaimana” dan ”mengapa” fenomena sosial terjadi di masyarakat. Studi kasus secara historis biasa diterapkan pada penelitian sosiologis yang fokus mengembangkan pengetahuan tentang masyarakat atau kelompok yang marjinal.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, studi kasus menyasar fenomena yang spesifik. Tak jarang sangat spesifik sehingga tidak bertujuan untuk generalisasi. Fokus investigasi mendalam yang dilakukan juga tak jarang pula menghasilkan teori yang membantah teori sebelumnya. Sehingga, case study selalu memiliki potensi untuk pengembangan teori baru. Case study merupakan bagian dari riset kualitatif atau kuantitatif. Observasi partisipatoris dan wawancara mendalam merupakan teknik pengumpulan data yang sering diterapkan. Salah satu kritik utama metode studi kasus adalah lingkupnya yang sempit dan potensi bias yang besar. Reduksi potensi bias biasanya dilakukan dengan triangulasi atau penerapan beberapa teknik dalam proses pengumpulan data. Analisis data juga dilakukan secara multipel, diantaranya, konten analisis, analisis sejarah, analisis wacana, analisis kebijakan, survei dan analisis dokumen sekunder yang tersedia. Teknik investigasi yang tak hanya observasi dan wawancara tersebut diterapkan untuk menunjang validitas dan reliabilitas penelitian sekaligus mengurangi resiko bias. Dengan diterapkannya berbagai macam teknik tersebut, case study berupaya mengungkap isu yang spesifik. Ketika dikonfrontasikan dengan isu lain dengan konteks lain, hasil penelitian studi kasus tidak memiliki kekuatan untuk menjelaskan karena tidak didesain untuk generalisasi.
  1. Theory First Order Understanding and Second Order Understanding
First order understanding dimaksudkan peneliti memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada pihak yang diteliti/informan penelitian tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan penelitian dan kemudian informan memberikan interpretasi (jawaban) atas pertanyaan-pertanyaan tersebut guna memberikan penjelasan yang benar tentang permasalahan-permasalahan penelitian tersebut. Second order understanding, dalam hal ini peneliti memberikan interpretasi terhadap interpretasi informan tersebut di atas sampai memperoleh suatu makna yang baru dan benar (ilmiah), tetapi tidak boleh bertentangan dengan interpretasi dari informan penelitian.
  1. Teori Sosiologi Makro
  2. Teori Strukturan Fungsion
REPORT THIS AD

Teori struktural fungsional ini akan menjelaskan mengenai bagaimana berfungsinya suatu struktur. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwasannya setiap struktur (seperti persahabatan, organisasi, dll) akan tetap ada sepanjang ia memiliki fungsi.
Tolcot Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.
Pokok-pokok pikiran para ahli telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini telah menuangkan berbagai ide dan gagasan dalam mencari paradigma tentang teori ini, sebut saja George Ritzer ( 1980 ), Margaret M.Poloma ( 1987 ), dan Turner ( 1986 ). Drs. Soetomo ( 1995 ) mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma fakta sosial. Tampilnya paradigma ini merupakan usaha sosiologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang baru lahir agar mempunyai kedudukkan sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri.
Secara garis besar fakta sosial yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Menurut teori fungsional struktural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu system sosial yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini ( fungsional – structural ) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori fungsionalisme-struktural merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan karena Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisasi yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut menurut Durkheim memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat “ patologis “. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimabangan atau perubahan social. Sebaliknya masing-masing sub-sistem itu, harus memiliki empat prasyarat fungsional yang harus mereka adakan sehingga bias diklasifikasikan sebagai suatu istem. Parsons menekankan saling ketergantungan masing-masing system itu ketika dia menyatakan : “ secara konkrit, setiap system empiris mencakup keseluruhan, dengan demikian tidak ada individu kongkrit yang tidak merupakan sebuah organisme, kepribadian, anggota dan sistem sosial, dan peserta dalam system cultural “.
Asumsi dasar teori struktural fungsional ini meurut Ralf Dahrendorf adalah:
  1. Setiap masyarakat terdiri dari berbagai elemen yang terstruktur secara relatif, mantap, dan stabil. (menurut teori ini elemen=individu)
  2. Elemen-elemen yang terstruktur tersebut terintegrasi dengan baik.
  3. Setiap elemen dalam struktur tersebut memiliki fungsi, yaitu memberikan sumbangan pada bertahannya struktur tersebut sebagai suatu sistem.
  4. Setiap struktur yang fungsional dilandaskan pada suatu konsensus nilai diantara para anggotanya. (konsensus nilai, berasal baik dari kesepakatan yang telah ada dalam suatu masyarakat, (seperti: adat istiadat, norma-norma abstrak, dll) maupun ada dikarenakan adanya pembuatan kesepakatan baru)
  1. Teori Konflik
Sebagian besar para ahli teori konflik mengakui betapa besar pengaruh Karl Marx dalam teori konflik tersebut, namun juga tidak sedikit peranan ahli teori konflok non-Marxis lainnya seperti Georg Simmel (teori superordinasi dan subordinasi, maupun konlik dengan out-group), Ralf Dahrendorf (teori otoritas dan konflik sosial, maupun teori kepentingan laten dan manifest), Lewis Coser (tentang fungsi-fungsi konflik dan macam konflik realistik dan non-realistik), maupun Randal Collins (teori konflik makro dan mikro).
Teori Konflik yang didalamya tidak mengakui kesamaan dalam suatu masyarakat. Menurut Weber, stratifikasi merupakan kekuatan sosial yang berpengaruh besar. Seperti halnya dalam sekolah, pendidikan merupakan variabel kelas atau status. Pendidikan akan mengantar sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi yang menuju kearah konsumeris yang membedakan dengan kaum buruh. Namun tekanan disini bukan pada pendidikannya melainkan pada unsur kehidupan yang memisahkan dengan golongan lain. Menuru Weber, dalam dunia kerja belum tentu mereka yang berpendidikan tinggi lebih trampil dengan mereka yang diberi latihan-latihan, namun pada kenyataanya mereka yang berpendidikan tinggi yang menduduki kelas penting. Jadi pendidikan seperti dikuasai oleh kaum elit, dan melanggengkan posisinya untuk mendapatkan status dan kekuasaannya.
Teori konflik berangkat dari asumsi awal tentang adanya suatu ketegangan di dalam masyarakat dan bagian-bagiannya yang tercipta karena adanya kepentingan yang saling bertentangan dari individu dan kelompok. Teori ini dilandasi dari tulisan Karl Marx dan Max Weber tentang teori konflik.
Marx mendasari teori konflik dari kondisi sosial para pekerja yang dieksploitasi di dalam sistem kelas sebagai akibat dari kapitalisme. Marx menyatakan bahwa kelompok-kelompok masyarakat yang bertentangan, yaitu kelompok masyarakat ‘kaya’ dan ‘miskin’ berada dalam suatu kondisi ketegangan yang konstan yang kemungkinan dapat menimbulkan pertentangan. Kelompok ‘kaya’ mengendalikan kekuasaan, kekayaan, barang-barang materi, privilese (termasuk akses terhadap pendidikan yang terbaik), serta pengaruh; sedangkan kelompok kaum ‘miskin’ menyajikan suatu tantangan yang bersifat konstan karena mereka terus berusaha mendapatkan suatu bagian yang lebih besar dari kemakmuran masyarakat.
Teori struktural konflik ini menjelaskan bagaimana latar belakang terjadinya konflik dalam setiap struktur. Teori struktural konflik ini melihat bahwasannya dalam setiap struktur, pasti memiliki elemen yang berbeda-beda. Dan dari setiap elemen tersebut pasti memiliki motif, maksud, kepentingan, dan tujuan yang berbeda-beda. Dan perbedaan inilah yang melatar belakangi terjadinya disintegrasi, konflik, dan perpecahan.
Asumsi dasar teori struktural konflik ini menurut Ralf Dahrendorf, adalah:
  1. Setiap masyarakat, dalam setiap hal, akan tunduk pada proses perubahan, dan prubahan social ada dimana-mana. (perubahan akan tetap selalu ada dimana-mana, karena setiap elemen dari sebuah struktur pasti memiliki motif-motif yang berbeda, dan setiap elemen tersebut pasti ingin memperjuangkan motifnya masing-masing).
  2. Setiap masyarakat, dalam setiap hal, memperlihatkan pertikaian dan konflik, konflik social akan selalu ada dimanapun. (selama ada perbedaan, maka akan ada konflik).
  3. Setiap elemen dalam suatu masyarakat pasti menyumbangkan disintegrasi dan perubahan.
  4. Adanya sebuah struktur, ada yang didasarkan pada paksaan dari beberapa elemen atas elemen yang lain. (kemampuan memaksa muncul dan bisa dilakukan jika memiliki kebutuhan dasar, dan akan selalu lebih kuat power dari paksaan tersebut jika kebutuhannya bersifat langka)
  1. Teori Weberian
Max Webber yang pernah menjabat sebagai guru besar di beberapa universitas antara lain di Berlin, Freiburg, dan Heidelberg. Konsep teori yang pernah dikemukakannya yaitu:
  1. Teori Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme
Menurut Max Webber, etika protestan sangat berpengaruh pada berkembangnya semangat kapitalisme. Ajaran Calvin di dalam Protestan, dianggapnya mempengaruhi perkembangan kapitalisme. Didalam ajaran tersebut tersirat bahwa nasib manusia akan masuk surga atau neraka sudah ditentukan di dunia berupa keberhasilan secara ekonomi. Keberhasilan ekonomi akan diinvestasikan untuk melakukan tindakan sosial yang lain sehingga diharapkan mampu menjadi bekal ke surga.
  1. Teori Perilaku Sosial
Menurut Max Webber perilaku manusia dalam lingkungan sosial setidaknya dibagi ke dalam empat prioritas. Empat prioritas tersebut yaitu:
  • Orientasi nilai
Manusia memiliki orientasi dalam perilakunya dikarenakan nilai dan norma yang dianutnya. Sebagai contoh, manusia hidup dalam heterogenitas satu sama lain, akan tetapi terjadi kesatuan diantara mereka. Hal ini disebabkan karena kesadaran akan pentingnya nilai kebersamaan dan kesadaran akan mahluk sosial.
  • Orientasi tujuan secara rasional
REPORT THIS AD

Manusia dibekali dengan akal dan pikiran dalam menuntun perilakunya. Keadaan ini menimbulkan perilaku manusia dilakukan karena tujuan-tujuan yang dianggapnya rasional. Sebagai contoh adalah keinginan untuk hidup mapan, maka perilaku rasional yang dilakukan adalah bekerja keras.
  • Orientasi pada afektif/perasaan
Manusia disamping dibekali akal pikiran juga dibekali dengan perasaan. Terkadang tindakan manusia seringkali didasarkan pada emosi yang ada sehingga perilakunya hanya terbawa emosi. Kejadian bunuh diri di masyarakat dapat dikategorikan dalam tindakan yang berorientasi perasaan.
  • Orientasi pada tradisional/irrasional
Max Webber menganggap perilaku yang berorientasi tradisional sekaligus tindakan yang irrasional. Dia menggabungkan antara tradisional dan irasional karena menganggap perayaan tradisional seringkali tidak berpijak pada rasionalitas yang ada. Menurutnya besarnya biaya yang dikeluarkan didalam perayaan tradisional alangkah baiknya bila diinvestasikan kepada hal-hal yang lebih bermanfaat secara rasional.
Empat prioritas tersebut berdiri sendiri-sendiri, meskipun di lapangan prioritas tersebut sering kali bercampur satu sama lain. Keadaan tersebut karena perilaku manusia seringkali memiliki lebih dari satu orientasi dalam kenyataannya.
  1. Teori Politik dan Kekuasaan
Didalam dunia politik dan kekuasaan, Max Webber memberikan setidaknya ada 3 macam legitimasi kekuasaan. Kekuasaan dapat diperoleh melalui 3 cara yaitu:
  • Kekuasaan berdasarkan keturunan
Kekuasan yang didapatkan berdasarkan garis keturunan banyak dianut oleh negara dengan sistem monarki, meskipun tidak menutup kemungkinan negara selain monarki. Sistem monarki dipimpin oleh seorang raja atau ratu yang nanti akan diturunkan kepada keturunannya yang memiliki status putra mahkota.
  • Kekuasaan berdasarkan charisma
Pemilihan penguasa berdasarkan kharisma seringkali dijumpai dalam masyarakat tradisional. Kharisma tokoh tertentu menjadi daya tarik masyarakat untuk memilihnya. Pertimbangan secara rasionalitas sering diabaikan.
  • Kekuasaan berdasarkan legalitas konstitusional
Di masa modern sekaran ini, kekuasaan pada umumnya diperoleh melalui jalur legalitas konstitusional. Pemilu merupakan contoh nyata. Disamping itu dalih aturan dan perundang-undangan juga dipakai dalam memperoleh kekuasaan.
  1. Teori Marxian
Marxisme adalah suatu teori yang dicetuskan oleh Karl Marx (1818-1883) sebagai bentuk protes atas kapitalisme. Teori ini dituangkan dalam bukunya yang berjudul “Communist Manifesto” yang dikarang bersama sahabatnya, Friedrich Engels. Asumsi dasar dari teori ini adalah tentang pertentangan kelas, dimana masyarakat pada intinya terbagi menjadi 2 kelas, yaitu mereka yang termasuk dalam para pemilik modal (kaum borjuis) dan mereka yang tidak memiliki modal dan alat-alat produksi (kaum proletariat). Karl Marx mengusulkan untuk menghapus kaum borjuis dan sistem kelas serta meninggalkan kapitalisme dan beralih ke komunisme yang menawarkan masyarakat tanpa kelas sehingga meminimalisir terjadinya konflik. Asumsi dasar perspektif marxisme dalam hubungan internasional ialah adanya proses penyatuan human race melalui dinamika globalisasi kapitalis dan kapitalisme ini dianggap sebagai driving forces dalam tingkat interdependensi internasional.Analisis globalisasi dan fragmentasi di dalam tradisi Marxist dikenal sebagai paradigma kelas dan produksi di mana tingkat pereduksiannya bergantung pada dimensi ekonomi dari keadaan sosial yang secara politis maupun normatif berpengaruh terhadap perpolitikan dunia. Jika direlevansikan dengan keadaan saat ini, adanya teori marxisme mampu melewati masa bipolaritas dengan meningkatkan dampak globalisasi dunia dan fragmentasi (perpecahan) etnis yang bertentagan dengan struktur negara secara internasional. Salah satu alasan mengapa Marxisme merupakan sistem pemikiran yang amat kaya adalah bahwa Marxisme memadukan tiga tradisi intelektual yang masing-masing telah sangat berkembang saat itu, yaitu filsafat Jerman, teori politik Perancis, dan ilmu ekonomi Inggris. Perkembangan Marxisme selanjutnya memunculkan paham Neo-Marxisme. Neo-marxisme mencoba mengembalikan Marxisme kepada prinsip-prinsip fundamentalnya yang selama ini cenderung diabaikan dan salah dinterpetasikan oleh generasi sesudah Karl Marx. Aliran ini berusaha untuk memberi kritik terhadap perkembangan yang ada  menggunakan sudut pandang Marxisme, sekaligus menyusun teori yang menyatakan kontribusi mereka terhadap perkembangan trend global. Asumsi dasar dari Neo-Marxisme sendiri tidak jauh berbeda dari Marxisme, mengingat aliran ini berusaha untuk mengembalikan Marxisme seperti yang dicita-citakan oleh  Karl Marx. Perbedaan yang cukup signifikan terletak pada objek kajiannya, dimana Marxisme berkonsentrasi terhadap kelas yang ada di masyarakat, sedangkan Neo-Marxisme lebih kepada pembagian sistem internasional berdasarkan kelas-kelas yang menghasilkan negara core, periphery dan semi-periphery. Neo-Marxis juga memunculkan teori ketergantungan (dependency theory), suatu teori yang mengkritisi ketergantungan negara-negara yang termasuk negara dunia ke 3 (periphery stateterhadap negara-negara maju pemilik modal dan teknologi (core state).
  1. Lesson Study Sebagai Model Pembinaan Guru
Lesson study mempunyai pengertian belajar pada suatu pembelajaran. Seseorang (guru atau calon guru) bisa belajar tentang bagaimana melakukan pembelajaran pada mata pelajaran tertentu melalui tampilan pembelajaran yang ada (live/real atau rekaman video). Guru bisa mengadopsi metode, teknik, ataupun strategi pembelajaran, penggunaan media, dan sebagainya yang diangkat oleh guru penampil untuk ditiru atau dikembangkan di kelasnya masing-masing. Guru lain/pengamat perlu melakukan analisis untuk menemukan positif-negatifnya kelas pembelajaran tersebut dari menit ke menit. Hasil analisis ini sangat diperlukan sebagai bahan masukan bagi guru penampil untuk perbaikan atau lewat profil pembelajaran tersebut, guru/pengamat bisa belajar atas inovasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru lain.
Lesson study dapat dipandang sebagai model pembinaan guru dalam meningkatkan profesionalitasnya. Mengapa demikian? Pada tahap penyusunan perencanaan (planning), sekelompok guru dan seorang pakar berdiskusi tentang :
  1. Kondisi dan lingkungan siswa serta fasilitas yang tersedia.
  2. Rumusan kompetensi apa yang harus dimiliki siswa serta merumuskan indikator-indikator pencapaiannya
Penentuan materi pelajaran yang berkenaan, antara lain :
  1. Pokok-pokok materi dan uraian masing-masing pokok materi,
  2. Urutan sajian materi pelajaran,
  3. Sajian materi yang disesuaikan dengan lingkungan siswa atau materi lokal atau yang berkaitan dengan life skill atau yang berkaitan dengan keimanan/agama,
  4. Pemilihan/penyusunan soal-soal latihan, soal-soal yang berkaitan dengan problem-solving dalam rangka penyusunan lembar kerja siswa (lks) dan soal-soal untuk tes formatif.
  5. Pemilihan metode/strategi pembelajaran inovatif yang menyenangkan dan memotivasi belajar siswa.
  6. Pemilihan media/alat peraga pembelajaran dan pengadaannya.
  7. Guru dalam praktek pembelajarannya (teaching guide).
  8. Penentuan indikator-indikator proses pembelajaran yang dikatakan berhasil.
Model Rencana Pembelajaran (RP) atau Satuan Acara Pembelajaran (SAP). Ada banyak model/format RP/SAP, mana yang perlu dipilih? Hal-hal apakah yang penting dan merupakan prinsip-prinsip dalam penyusunan RP/SAP, sehingga seorang guru dapat memahami dan menerapkannya dalam pembelajaran.
Materi-materi diskusi tersebut dapat diangkat sebagai materi pelatihan yang senantiasa aktual, mengingat kompleksnya perkembangan pengetahuan dalam dunia yang senantiasa berkembang. Sehingga dalam suatu kelompok guru yang merasa tertantang dengan suatu permasalahan pembelajaran dapat mengundang pakar yang dipandang dapat memberi pemecahan permasalahan tersebut. Selanjutnya, pada tahap implementasi dapat langsung diamati oleh observer, yang selanjutnya pada tahap refleksi dapat didiskusikan, apakah yang telah direncanakan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, atau ada hal-hal dalam perencanaan tersebut yang perlu diperbaiki, atau hal-hal lainnya tentang pembelajaran yang telah dilakukan, baik dari segi siswa maupun guru.
Keberhasilan lesson study dapat dilihat pada dua aspek pokok, yaitu: perbaikan pada praktek pembelajaran oleh guru, dan meningkatkan kolaborasi antar guru. Pertama, lesson study memberikan banyak hal yang menurut para peneliti dianggap efektif dalam merubah praktek pembelajaran, seperti :
  1. penggunaan materi pembelajaran yang konkret untuk memfokuskan pada permasalahan yang lebih bermakna,
  2. mengambil konteks pembelajaran dan pengalaman guru secara eksplisit,
  3. memberikan dukungan pada kesejawatan guru.
Dengan kata lain, lesson study memberikan banyak kesempatan kepada para guru untuk membuat bermakna ide-ide pendidikan dalam praktik mengajar mereka, untuk merubah perspektif mereka tentang pembelajaran, dan untuk belajar melihat praktek mengajar mereka dari perspektif siswa. Dalam lesson study, kita melihat apa yang terjadi dalam pembelajaran lebih objektif dan itu membantu kita memahami ide-ide penting dalam memperbaiki proses pembelajaran.
Kedua, lesson study juga mempromosikan dan mengelola kerja kolaboratif antar guru dengan memberi dukungan dan intervensi sistematik. Selama lesson study, para guru berkolaborasi untuk: (1)merumuskan kompetensi yang harus dimiliki siswa sebagai dasar untuk pengembangan belajar siswa; (2)merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang berdasar pada hasil penelitian dan observasi, agar siswa memiliki kompetensi yang telah dirumuskan. (3)mengobservasi secara hati-hati tingkat belajar siswa, keterlibatan mereka, dan perilaku mereka selama pembelajaran; (4)melaksanakan diskusi setelah pembelajaran bersama dalam kelompok kolaboratif mereka untuk mendiskusikan dan merevisi rencana pembelajaran.
Lesson study sebagai suatu strategi dalam meningkatkan keprofesionalan guru oleh para guru, yang sudah tentu merupakan gerakan dari para guru untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, perlu komitmen dari para guru yang didukung oleh kebijakan para pengambil keputusan, agar gerakan itu terwujud. 
Wang-Iverson dan Yoshida (2005) juga mengemukakan definisi dan hal-hal yang terkait dengan lesson study sebagai berikut.
  1. Lesson study (jugyokenkyu) is a form of long-term teacher-led professional learning, developed in Japan, in which teachers systematically and collaboratively conduct research on teaching and learning in classroom in order to enrich students’ learning experiences and improve their own teaching.
  2. A lesson study cycle generally involves a team of teachers planning collaboratively based upon a research theme, implementing the lesson in the classroom, collecting observation data, reflecting upon and discussing the data, and developing a record of their activity.
  3. Lesson study is more than a studying instructional materials and developing useful lessons. It also explores ideas for improved teaching that bring out students’ thinking and thinking processes, helps students to develop mental images for solving problem and understanding the topic, and expands those skills and abilities.
  4. Lesson study is a comprehensive approach to professional learning that helps teachers develop ways of:
  5. thinking about learning and teaching in the classroom
  6. planning lessons
  7. observing how students are thinking and learning and taking appropriate actions
  8. reflecting on and discussing teaching
  9. identifying and recognizing knowledge and skills necessary to improve their practice and seek new solutions.
  10. Lesson study supports teachers in becoming lifelong learners about how to develop and improve teaching and learning in the classroom.
Konsep dasar pelaksanaan lesson study yang dikembangkan di Jepang merupakan suatu kegiatan pembelajaran dari sejumlah guru dan pakar pembelajaran yang mencakup tiga tahap kegiatan yaitu: pal-do-see yaitu: (1) perencanaan (planning). (2) implementasai (action) atau pembelajaran dan observasi. (3) refleksi (reflection) terhadap perencanaan dan implementasi pembelajaran tersebut, dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran, Lewis dalam Subadi (2010: 35). Disamping melibatkan guru sebagai kolabolator, dalam lesson study juga melibatkan dosen LPTK dan pihak lain yang relevan dalam mengembangkan program dan pelaksanaan pembelajaran yang efektif. Secara lebih sederhana, siklus lesson study dapat dilakukan melalui serangkaian kegiatan: Planning-Doing-Seeing atau Plan-Do-See, Saito dalam Subadi (2010: 35).
Subadi (2010: 44) menyarankan empat tahap lesson study agar lesson study berfungsi sebagai model pembinaan profesi guru efektif, maka diharapkan dalam pelaksanaan lesson study para guru secara kolaboratif melakukan tahap (langkah-langkah) sebagai berikut:
  1. Melakukan kajian akademik terutama menganalisis masalah pembelajaran, baik dari aspek silabus, SK, KD, indikator, tujuan pembelajaran, penggembangan materi ajar, pengembangan penggunaan multi metode, dan multi media, serta pengembangan alat evaluasi.
  2. Selanjutnya secara kolektif pula para guru mencari solusi dan membuat perencanaan berupa RMP (Rencana Mutu Pembelajaran) yang berpusat pada kegiatan siswa.
  3. Langkah berikutnya, pelaksanaan pembelajaran dikelas sedang guru yang lain sebagai observer (mengobservasi kegiatan siswa, dan kegiatan guru).
  4. Dilanjutkan dengan diskusi pasca pembelajaran untuk merefleksikannya. Jika prinsip-prinsip lesson study ini dilakukan secara sitematik dan berkelanjutan, dimungkinkan akan berdampak pada peningkatan mutu embelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia.
  5. Penutup
Pada dasarnya, sosiologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sosiologi umum dan sosiologi khusus. Sosiologi umum menyelidiki gejala sosio-kultural secara umum. Sedangkan Sosiologi khusus, yaitu pengkhususan dari sosiologi umum, yaitu menyelidiki suatu aspek kehidupan sosio kultural secara mendalam. Misalnya: sosiologi masayarakat desa, sosiologi  masyarakat kota, sosiologi agama, sosiolog hukum, sosiologi pendidikan dan sebagainya. Jadi sosiologi pendidikan merupakan salah satu sosiologi khusus.
Perubahan sosial berimplikasi pada perubahan pendidikan. Pemahaman terhadap perubahan sosial ini menuntut adanya stakehoder di bidang pendidikan untuk melakukan perubahan menuju kemajuan. Tanpa upaya serius, pendidikan akan tertinggal oleh perubahan tersebut. Sosiologi Pendidikan di dalam menjalankan fungsinya menelaah berbagai macam hubungan antara pendidikan dengan masyarakat, harus memperhatikan sejumlah konsep-konsep umum. Sehingga sosiologi dapat dimanfaatkan dalam bidang pendidikan, untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental.
Melalui analisis sosiologis, para praktisi pendidikan bisa secara realistis peka mengkaji kekuatan-kekuatan majemuk yang berlangsung dalam konteks penyelenggaraan pendidikan. Dengan kekuatan analisis-analisis sosiologis para praktisi pendidikan bisa lebih jeli memperhitungkan faktor-faktor organisasi, budaya, dan personal di lingkungan kerjanya masing-masing.
Tujuan sosiologi pendidikan pada dasarnya untuk mempercepat dan meningkatkan pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, sosiologi pendidikan tidak akan keluar darim uapaya-upaya agar pencapaian tujuan dan fungsi pendidikan tercapai menurut pendidikan itu sendiri.
Lesson study bertujuan untuk melakukan pembinaan pembinaan profesi pendidik secara berkelanjutan agar terjadi peningkatan keprofesionalan pedidik terus menerus. Kalau tidak dilakukan terus menerus maka keprofesionalan dapat menurun dengan bertambahnya waktu. Pembinaannya melalui pengkajian pembelajaran secara terus menerus dan berkolaborasi. Pengkajian pembelajaran harus dilakukan secara berkala, misalnya seminggu sekali, karena membangun komunitas belajar adalah membangun budaya yang memfasilitasi anggotanya untuk saling belajar, saling koreksi, saling menghargai, saling bantu, dan saling menahan ego.
DAFTAR PUSTAKA
Ary H. Gunawan, 2000, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Ballantine, Jeanne H., 2001. The Sociology of Education: A Systematic Approach. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Garfinkel, Harold,1967, Studies in Ethnomethodology, Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall.
Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Cairo: Musthafa Muhammad, tt), Jil. II,
Karsidi, Ravik. 2007. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: UNS Press.
Mead, George Herbert, 1934, Mind, Self, and Society, Kata Pengantar dan editor oleh Charls W. Morris, Chicago: University of Chicago Press
Robert N. Beck, 1979, Handbook in Social Philosophy, New York: Macmillan Publishing Co., Inc
Ahmadi, Abu & Uhbiyati, Nur. 2003. Ilmu Pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta.
Damsar, 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Penerbit Kencana Prena Media Group : Jakarta.Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta. Rineka Cipta.
Tirtarahardja, Umar. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta. PT. Asdi Mahasatya.
Spencer, Metta dan Inkeles Alex, 1982, Foundations of Modern Sociology, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Subadi Tjipto, 2009, Sosiologi dan Sosiologi Pendidikan, Penerbit: Fairuz Media Duta Pertama Ilmu.
Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden (penyunting), 1986, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sosiologi pendidikan "

Posting Komentar